Pembangunan di tanah Papua dinilai belum menyentuh semua pihak. Penguatan partisipasi masyarakat adat pun diperlukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak pembangunan di Papua dinilai belum menyentuh semua pihak. Pelibatan masyarakat adat perlu diperkuat agar dampak pembangunan optimal.
Aktivis Papuan Women’s Working Group, Frida Klasin, mengatakan, perempuan belum menerima manfaat dari pembangunan di Papua. Otonomi khusus dinilai baru merangkul kaum laki-laki, sementara perempuan menerima beban ganda sebagai tulang punggung ekonomi sekaligus pengasuh anak. Aspirasi perempuan Papua kemudian dirangkum dalam buku Sa Ada di Sini.
Hal ini mengemuka pada diskusi daring ”Empat Dekade Kiprah LIPI di Tanah Papua”, Senin (3/5/2021). Selain Frida Klasin, hadir pula Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti; Deputi V Bidang Polhukam dan HAM Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani; Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi; Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; peneliti Pusat Penelitian Mayarakat dan Budaya LIPI, Dedi S Adhuri; CEO Benihbaik.com Andi F Noya; dan peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Mardyanto Wahyu Tryatmoko.
Frida mengatakan, budaya patriarki di tanah Papua menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Suara perempuan, menurut dia, belum didengar. Perempuan jadi kelompok yang menerima apa yang sudah diputuskan laki-laki di ruang publik.
Hiruk-pikuk pembangunan berbanding terbalik dengan situasi perempuan yang berjuang di ruang sunyi. Padahal, pembangunan yang baik menuntut partisipasi semua pihak, termasuk perempuan. Pembangunan juga harus bisa menjawab kebutuhan perempuan sebagai penerima manfaat.
”Hiruk-pikuk pembangunan berbanding terbalik dengan situasi perempuan yang berjuang di ruang sunyi. Padahal, pembangunan yang baik menuntut partisipasi semua pihak, termasuk perempuan. Pembangunan juga harus bisa menjawab kebutuhan perempuan sebagai penerima manfaat,” kata Frida yang juga anggota DPR Papua Barat.
Menurut kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Papua pada 2018, tingkat kekerasan terhadap perempuan di Papua tinggi. Kekerasan itu berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Akses pendidikan dan kesehatan pun belum maksimal.
Frida menambahkan, area untuk mengelola sumber daya alam juga terkikis untuk pembangunan. Padahal, itu sumber penghidupan warga, khususnya perempuan, untuk berjualan di pasar ataupun mengelola rumah tangga.
”Di situasi ini, perempuan mempertanyakan apa arti pembangunan karena tidak menjawab kebutuhan mereka,” ucapnya.
Peneliti Pusat Penelitian Mayarakat dan Budaya LIPI, Dedi S Adhuri, mengatakan, pembangunan yang melibatkan masyarakat adat diperlukan. Tujuannya adalah agar pembangunan adil dan berkelanjutan.
Pembangunan modern yang ada selama ini dinilai belum sesuai dengan karakter warga Papua. Dampaknya, masyarakat adat termarjinalisasi dan potensi kerusakan lingkungan meningkat. Padahal, masyarakat adat punya pengetahuan untuk mengelola alam secara berkelanjutan.
Menurut Dedi, pembangunan berdasar hak masyarakat adat bisa dilakukan. Hal ini pernah dilakukan lembaga swadaya masyarakat Locally Managed Marine Area (LMMA).
Mereka mempertemukan masyarakat yang wilayah adatnya tumpang tindih. Wilayah itu kemudian dijadikan wilayah kelola bersama. Pendapatan yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengelola area pesisir, beasiswa pendidikan, hingga menambah fasilitas pelayanan kesehatan.
”Pengakuan hak-hak masyarakat adat Papua adalah keniscayaan. Ini jika ingin melahirkan desain dan praktik pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan,” kata Dedi.
Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPPN/Bappenas Rudy Soeprihadi mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan afirmatif untuk Papua sejak 2001. Sejumlah kebijakan fokus pada pembangunan berbasis wilayah adat, antara lain Perpres No 18/2020, Inpres No 9/2020, dan Keppres 20/2020.
”Kebijakan afirmatif itu untuk mengurangi ketimpangan pembangunan di wilayah Papua dan wilayah lain dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan, namun tetap memperhatikan pendekatan keamanan,” kata Rudy.