Dalam pendidikan di Indonesia, mata pelajaran masih banyak, asesmen pun masih seragam. Pendidikan yang sesuai tahapan perkembangan tiap anak untuk mencapai aspirasi dan cita-cita perlu diterapkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan yang berpusat pada manusia mampu menumbuhkan segala potensi yang ada dalam diri tiap orang untuk menjadi kekuatan yang mendukung mereka meraih aspirasi dan cita-cita. Karena itu, pendidikan seharusnya dijalankan dengan memberikan kepercayaan dan kebebasan untuk belajar serta memberikan kelenturan atau fleksibilitas. Meskipun pendidikan dipersonalisasi, standar pembelajaran harus ditetapkan setinggi mungkin.
Gagasan untuk mendorong berkembangnya pendidikan dengan kurikulum yang berbasis pada keunikan individu mengemuka dalam webinar bertajuk ”Kurikulum Terpersonalisasi yang Memerdekakan”, Sabtu (1/5/2021). Webinar untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional 2021 ini digelar Komunitas Pendidikan Unggul Berkarakter (KPUB).
Doni Koesoema, pemerhati pendidikan dan anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mengatakan, kurikulum terpersonalisasi mendorong pendidik untuk memberi perhatian kepada tiap individu. Sebenarnya hal ini sudah ada dalam tradisi pendidikan Jesuit sekitar 500 tahun lalu. Fokusnya pendidikan untuk membuat indvidu yang memiliki latar belakang berbeda serta memiliki aspirasi dan insiprasi berbeda dapat bertumbuh.
Para pendidik terus membantu anak-anak dalam melihat potensinya di berbagai kegiatan sampai mereka merasa senang dan bisa fokus.
”Dengan kemajuan teknologi saat ini, implementasi kurikulum terpersonalisasi tetap bisa dijalankan di tengah dominasi kurikulum massal,” ujar Doni.
Sayangnya, kata Doni, pendidikan yang sesuai tahapan perkembangan tiap anak untuk mencapai aspirasi dan cita-cita mereka masih belum dipahami dengan baik. Dalam pendidikan di Indonesia, mata pelajaran masih banyak serta asesmen masih seragam. Pendidikan dijalankan dengan semangat satu untuk semua atau one size for all.
Meskipun pendidikan terpersonalisasi masih terbatas dijalankan para pendidik di sekolah, upaya untuk berpihak kepada pendidikan yang mendukung keunikan tiap anak mulai dikembangkan. Pendidikan mengutamakan pengembangan kompetensi dan karakter anak sebagai implementasi semangat Merdeka Belajar.
Martinus Mesarudi Gea, pendiri Panti Asuhan Keluarga Kasih, Yayasan Prima Unggul, Komunitas Pendidikan Unggul Berkarakter, mengatakan, pendidikan untuk anak-anak panti asuhan yang sudah 10 tahun dijalankan bertujuan untuk memutuskan anak-anak panti dari rantai kemiskinan. Anak-anak di panti asuhan pun dilatih karakter, mindset (cara pandang), dan keterampilan.
”Kami juga menggagas Komunitas Pendidikan Unggul Berkarakter supaya para praktisi pendidikan di Indonesia yang berjuang mewujudkan pendidikan merdeka untuk anak bisa bersatu. Kami hendak memberikan pencerahan pada masyarakat supaya misi pendidikan ke depan terpersonalisasi,” tutur Martinus.
Martinus menjelaskan, anak-anak di panti asuhan berasal dari keluarga kurang mampu atau telantar karena masalah ekonomi, tetapi punya motivasi belajar. Anak-anak ini dibantu untuk mengembangkan potensi dengan beragam pilihan kegiatan keterampilan.
Dalam perjalanan waktu, ada anak yang berubah minat atau passion dari awal. Namun, intinya, para pendidik terus membantu anak-anak dalam melihat potensinya di berbagai kegiatan sampai mereka merasa senang dan bisa fokus. Selain menguasai keterampilan sesuai minat dan talenta, anak-anak juga diberi penguatan karakter disiplin, jujur, bekerja sama, peka, serta nilai-nilai baik juga ditransformasikan ke dalam diri anak.
”Konsep Merdeka Belajar, anak bisa belajar dengan potensi dan bisa berkembang,” ujar Martinus.
Robert Dachi, Kepala Sekolah SMK Edukasi di Pulau Nias, Sumatera Utara, mengatakan, sudah tiga tahun pihaknya mengembangkan pendidikan kejuruan pertanian dan peternakan unggas untuk anak-anak keluarga tidak mampu. Pendidikan pertanian dihadirkan untuk memberikan peluang bagi generasi muda menjadi pekerja dan wirausaha di sektor pertanian yang masih minim di Pulau Nias.
Menurut Robert, komitmen menerapkan kurikulum terpersonalisasi dilakukan dengan mulai memetakan keunikan tiap anak. Meskipun dalam perjalanan waktu bisa berubah, anak tetap dioptimalkan untuk berkembang sesuai kemampuannya.
”Tidak semua juga jadi petani. Ada yang kemudian suka ke otomotif atau suka akademik untuk kuliah,” kata Robert.
Bahkan, ada siswa yang diterima dengan kemampuan akademik minimal. Namun, anak-anak ini punya potensi lain, semisal ”bertangan dingin” dalam pembibitan dan petanian.
”Bukan tidak penting untuk unggul dalam kemampuan akademik. Namun, kalau memang minim, bukan berarti selesai kehidupannya, melainkan ada talenta lain yang bisa dikembangkan,” ujar Robert.
Sementara itu, Lukman Hakim, yang mendirikan Sekolah Dolan di Malang, Jawa Timur, mengatakan, komunitas sekolah ini mendampingi keluarga yang menjalankan sekolah rumah atau homeschooling. Anak-anak dibantu untuk dikenali peta bakatnya dan bersama orangtua merancang kurikulum yang berbeda-beda untuk tiap anak.
Fokus karakter
Doni mengatakan, kurikulum terpersonalisasi akan berfokus pada kompetensi dan karakter. Metode kurikulum terpersonalisasi dimulai dengan asesmen atau profil dan data pemelajar yang bisa dilakukan secara bertahap atau dengan bantuan psikolog. Lalu, ada perencanaan pemelajaran, guru membantu pemelajaran yang tepat. Selanjutnya, evaluasi yang kurang dan dilakukan remediasi untuk memastikan, lalu refleksi.
Menurut Doni, saat ini kurikulum yang diterapkan masih terdiversifikasi pada sekolah atau daerah masing-masing. Di dalam Kurikulum 2012 sebenarnya sudah ada semangat untuk terpersonalisasi, tetapi belum dioptimalkan.
”Jika kurikulum terpersonalisasi ini bisa semakin diimplementasikan dengan baik untuk mendukung bagaimana tiap individu meraih cita-cita dan berkarier di bidang apa pun pendidikan harus semakin cair. Pendidikan formal, nonformal, dan informal tetap diberi ruang dan pengakuan yang memastikan dapat mendukung anak-anak menjadi terbaik dari dirinya,” kata Doni.