Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 membawa paradigma baru dari pelestarian menuju pemajuan kebudayaan. Empat tahun berlalu, amanat regulasi itu belum optimal dikerjakan.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang diundangkan pada 29 Mei 2017 menempatkan pemerintah sebagai fasilitator warga negara untuk memajukan kebudayaan. Perubahan paradigma ini sudah lama ditunggu. Namun, empat tahun berlalu, belum banyak amanat UU yang terealisasi.
Sesuai pasal 1 Ayat (3) UU No 5/2017, pemajuan kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Pasal 5 UU No 5/2017 menyebutkan, obyek pemajuan kebudayaan meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Berdasarkan hasil riset Koalisi Seni terhadap pelaksanaan UU No 5/2017 selama kurun waktu 2018-2019, terdapat 300 pokok pikiran kebudayaan daerah yang rampung pada 2018 sebagai naskah strategi kebudayaan. Naskah ini diserahkan kepada Presiden untuk ditandatangani, tetapi sampai sekarang belum kunjung terlaksana.
Akibatnya, isi dokumen itu tidak sepenuhnya masuk Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sebagai gantinya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas hanya bisa memasukkan isu kebudayaan ke dalam RPJMN tanpa didukung naskah strategi kebudayaan dan rencana induk pemajuan kebudayaan.
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay, Selasa (27/4/2021), di Jakarta, menyebutkan, pasal 60 UU No 5/2017 mengamanatkan penyusunan peraturan pelaksanaan tentang 17 hal, wajib selesai paling lambat dua tahun sejak UU itu diundangkan. Sejauh ini, pemerintah hanya menyelesaikan tiga yang salah satu di antaranya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Inovasi (Kemdikbud Ristek) mulai menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 5/2017 sejak akhir 2018. Namun, hingga kini harmonisasi RPP tersendat.
Penyebabnya diduga Kementerian Keuangan ingin ada ketentuan yang mengatur pencatatan Obyek Pemajuan Kebudayaan sebagai Barang Milik Negara. Padahal, hal itu tidak diatur pendelegasiannya di UU Pemajuan Kebudayaan. Penyebab lainnya, masih ada tarik ulur pengaturan insentif bagi kegiatan pemajuan kebudayaan.
Ada fenomena sejumlah kepala daerah yang lebih memilih kesenian populer. Bentuk kesenian ini dianggap bisa mendatangkan massa banyak sehingga berguna untuk kapitalisasi suara saat pemilihan umum.
Hal terpenting lainnya yang menjadi bagian pemajuan kebudayaan, yaitu Dana Perwalian Kebudayaan (DPK) yang akan mendapat anggaran Rp 5 triliun. Kenyataannya, alokasi DPK dalam APBN 2021 hanya Rp 2 triliun. Ditambah lagi, lembaga pengelola DPK belum terbentuk.
”Strategi kebudayaan yang susah payah dibuat menjadi percuma karena tidak bisa diadopsi menjadi rencana pembangunan. Pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan tidak berjalan optimal karena peraturan pelaksana acuan bergerak belum selesai. DPK juga belum bisa dimanfaatkan,” kata Hafez menjelaskan dampak dari realisasi UU No 5/2017 yang cenderung lambat.
Pemerintah daerah
Pendiri Bumi Purniati Restu Imansari menganggap, kehadiran UU No 5/2017 semestinya menyadarkan pemerintah daerah agar aktif memfasilitasi pemajuan kebudayaan. Kenyataannya, beberapa pelaku kebudayaan di daerah tetap merasa fasilitasi pemerintah daerah kurang. ”Agenda pemajuan kebudayaan seharusnya bukan acara politik sesaat,” ujarnya.
Seniman yang tergabung dalam Gapura Budaya Sidoarjo, Erma Retang, mempunyai pandangan senada. Dia pernah dipersulit oleh pejabat dinas kebudayaan ketika ingin mengajukan persetujuan dukungan mengikuti program dari pemerintah pusat. Padahal, program pemerintah pusat itu berkaitan dengan pemajuan kebudayaan.
Menurut Erma, apabila pemerintah daerah tidak paham gagasan besar pemajuan kebudayaan, ditambah lagi peraturan turunan UU No 5/2017 belum banyak dikeluarkan, seniman akan terdampak. Pada akhirnya, kondisi seperti itu akan menghambat ke ekosistem seni dan budaya lokal.
Seniman tari Heri Prasetya atau akrab disapa Heri Lentho menyebut adanya fenomena sejumlah kepala daerah yang lebih memilih kesenian populer. Bentuk kesenian ini dianggap bisa mendatangkan massa banyak sehingga berguna untuk kapitalisasi suara saat pemilihan umum.
”Situasi kepala daerah hasil pemilihan umum kepala daerah (pilkada) rata-rata membawa tim sukses yang kemudian menjadi pemborong kerjaan-kerjaan di dinas. Fenomena ini juga perlu diantisipasi sebab akan memperlambat pertumbuhan seni budaya di Indonesia,” kata Heri Lentho.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Inovasi (Kemdikbud Ristek) Hilmar Farid menjelaskan, dokumen strategi kebudayaan yang sudah selesai pada 2018 kini sudah ada di sekretariat negara. Peraturan turunan UU No 5/2017 berupa peraturan pemerintah sedang menunggu proses harmonisasi lintas kementerian/lembaga.
Adapun DPK yang mendukung pemajuan kebudayaan saat ini sudah diinvestasikan. Tingkat pengembalian investasi diperkirakan baru bisa diperoleh tahun 2022 dan saat itulah dapat dimanfaatkan.
Sambil menunggu, Direktorat Jenderal Kebudayaan mengembangkan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan atau FBK dengan skema pendanaan mirip prinsip penggunaan DPK. FBK menjalankan tujuan strategi kebudayaan yang diamanatkan UU No 5/2017.
”Ada 60 kementerian/lembaga bersinggungan dalam urusan fasilitasi pemajuan kebudayaan. Ini menjadi tantangan tersendiri saat harmonisasi regulasi belum berbicara tantangan koordinasi sampai ke tingkat kabupaten/kota,” ujar Hilmar.
Keberpihakan daerah terhadap kebudayaan bisa dilihat dari indeks kemajuan kebudayaan. Indeks itu juga melihat peran aktif kabupaten/kota terhadap pemajuan kebudayaan, seperti penganggaran khusus.
Dia mengakui ada kelemahan upaya pemajuan kebudayaan di daerah. Dari aspek dinas kebudayaan, misalnya. Dia sempat berkali-kali berbicara dengan kepala daerah agar tim dinas kebudayaan diisi individu yang mempunyai kapasitas, pengetahuan, sampai pengetahuan khusus bidang kebudayaan.
”Idealnya seperti dinas kesehatan. Tim di dalamnya berlatar belakang individu yang ahli bidang kesehatan,” katanya.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Muhadjir Effendy menerangkan, produk kebijakan turunan UU No 5/2017 diupayakan berasal dari gagasan kabupaten/kota. Daerahlah yang semestinya memahami keunggulan daerah.
Pemerintah pusat tidak bisa serta-merta langsung bertindak. Dia berkomitmen ikut membantu mengatasi hambatan penyusunan peraturan turunan amanat UU No 5/2017.
Dari sisi anggaran, Muhadjir menyampaikan sudah ada dana alokasi khusus (DAK) yang sebenarnya dapat dialokasikan pemerintah daerah untuk mendukung agenda-agenda pemajuan kebudayaan di wilayahnya. Sayangnya, sebagian besar provinsi di Indonesia belum melakukan hal itu.
Senada dengan Hilmar, dia berharap di pemerintahan daerah terdapat individu-individu pemangku kepentingan yang paham pemajuan kebudayaan. Dinas kebudayaan, misalnya, dia mengusulkan agar pimpinannya berasal dari pelaku budaya, tidak harus aparatur sipil negara (ASN). Mekanisme pengisian jabatannya melalui proses seleksi atau bidding. Muhadjir berniat mengomunikasikan idenya itu ke Kementerian Dalam Negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) nasional tahun 2019 sebesar 53,74. Dimensi ketahanan sosial budaya memperoleh nilai indeks tertinggi, yaitu 72,84, diikuti dimensi pendidikan 69,67. Dimensi ekonomi budaya meraih nilai indeks terbawah, yaitu 30,55.
Pada tahun itu terdapat 13 provinsi yang memiliki nilai IPK di atas angka nasional, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (73,79), Bali (65,39), Jawa Tengah (60,05), Bengkulu (59,95), Nusa Tenggara Barat (59,92), Kepulauan Riau (58,83), Riau (57,47), Jawa Timur (56,66), Sulawesi Utara (56,02), DKI Jakarta (54,67), Bangka Belitung (54,37), Lampung (54,33), dan Kalimantan Selatan (53,79).