Ratusan Kapal ”Beristirahat Abadi” di Perairan Indonesia
Sampai sekarang muncul berbagai macam data tentang jumlah kapal bersejarah yang tenggelam di perairan Indonesia. Sejumlah data menunjukkan 274 hingga 500 kapal karam di lautan Indonesia.
Tragedi kecelakaan kapal di perairan Indonesia sudah tercatat sejak era kolonial. Ratusan kapal dagang, kapal perang, hingga kapal selam terdeteksi tenggelam di beberapa titik perairan Indonesia.
Sampai sekarang muncul berbagai macam data tentang jumlah kapal bersejarah yang tenggelam di perairan Indonesia. Berdasarkan data Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC), misalnya, ada 274 kapal yang tenggelam. Sementara dokumen lain dari Pemerintah Belanda, Portugal, dan China mencatat ada 460 kapal yang karam di perairan Indonesia (Kompas, Senin 14 Juli 2014).
Berbeda dengan dua sumber tersebut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat sekitar 300 kapal bersejarah karam. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) bahkan menyebutkan ada sekitar 500 kapal bersejarah yang tenggelam di perairan Indonesia.
Sejak tahun 2000 hingga 2014, terdapat 42 peninggalan bersejarah bawah air yang berhasil diteliti. Sebagian besar peninggalan itu berupa kapal perang periode Perang Dunia II yang meliputi kapal perang Jepang, Belanda, Australia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Peninggalan-peninggalan bawah air di perairan Indonesia belum banyak diungkap. Setiap tahun, hanya ada empat hingga enam survei atau identifikasi di sejumlah lokasi.
Pertempuran Laut Jawa
Pertempuran Laut Jawa pada 27 Februari-1 Maret 1942 merupakan salah satu pertempuran laut terbesar dalam Perang Dunia II yang menewaskan sekitar 2.300 tentara Sekutu dan menenggelamkan sejumlah kapal perang utama. Pada waktu itu, armada gabungan Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Australia (ABDA) bertempur sengit melawan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) di perairan sebelah utara Surabaya dan Pulau Bawean, Jawa Timur. Pertempuran ini kemudian berlanjut hingga ke perairan Selat Sunda di Teluk Banten.
Dalam pertempuran tahap pertama di dekat Bawean, Belanda kehilangan kapal penjelajah ringan (light cruiser) HNLMS Java, HNLMS De Ruyter, dan kapal perusak HNLMS Kortenaer. Inggris kehilangan 1 kapal penjelajah berat (heavy cruiser), HMS Exeter, dan 3 kapal perusak, HMS Jupiter, HMS Encounter, dan HMS Electra. Sementara AS kehilangan 4 kapal perusaknya, yakni USS Alden, USS John D Edwards, USS John D Ford, dan USS Paul Jones.
Pada tahap akhir pertempuran di Teluk Banten, 28 Februari 1942, kapal penjelajah kebanggaan Angkatan Laut AS, USS Houston, ditenggelamkan bersama kapal penjelajah Australia, HMAS Perth. Satu kapal selam AS, USS Perch, juga ditenggelamkan di dekat Surabaya pada 3 Maret 1942.
”Ini adalah salah satu pertempuran laut terbesar dalam Perang Dunia II yang menewaskan sekitar 2.300 pelaut Sekutu, termasuk 220 pelaut Indonesia. Dalam tempo begitu singkat, Sekutu kehilangan sekitar 10 kapal. Titik lokasi keberadaan sebagian kapal yang karam sudah diketahui,” kata arkeolog bawah air dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Shinatria Adhityatama (Kompas, Selasa (28/2/2017).
Berdasarkan peninjauan Puslit Arkenas di lapangan dan laporan para penyelam swasta, kondisi bangkai kapal-kapal perang yang karam itu makin parah. Beberapa bagian tubuh kapal telah dipotong-potong dan dijarah orang-orang tak bertanggung jawab.
Kapal-kapal Belanda yang tenggelam pada kedalaman 70-110 meter di dekat perairan Pulau Bawean, misalnya—sebagian sudah terpotong-potong—menjadi sasaran aksi penjarahan besi tua. Kapal HMAS Perth yang karam pada kedalaman 35 meter di Selat Sunda pun tak luput dari aksi penjarahan.
Dari sekian banyak kapal perang yang tenggelam dalam Perang Dunia II di wilayah Nusantara, baru satu kapal, yaitu HMAS Perth, yang diteliti secara intensif oleh Puslit Arkenas bekerja sama dengan The Australian National Maritime Museum. Menurut rencana, kapal ini akan direkomendasikan sebagai cagar budaya nasional yang bisa jadi model awal penelitian kapal-kapal karam lain di seluruh Indonesia.
Selain perlu dikonservasi, peninggalan di bawah air ini juga perlu diamankan dari masyarakat mengingat masih banyak tersisa senjata dan amunisi yang diduga masih aktif di sana.
Sayangnya, sekitar 60 persen bagian kapal Perang Dunia II, HMAS Perth (1), yang tenggelam di ujung barat Teluk Banten telah lenyap dijarah para pencari besi tua. Kapal perang HMAS Perth (1) karam di lepas pantai Teluk Banten akibat ditembak torpedo Jepang.
Baca juga : Kisah U-Boat, ”Drum Bekas”, dan Musibah Nanggala-402
Kapal selam Jerman U-Boat
Pada 2013 lalu, Puslit Arkenas juga menemukan bagian tengah hingga depan kapal selam Jerman Nazi jenis U-Boat (unterseeboot) di perairan Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Panjang bagian kapal selam yang ditemukan sepanjang 33 meter di kedalaman 20-25 meter. Kapal selam U-Boat Jerman melaksanakan operasi rahasia di Indonesia pada masa Perang Dunia II.
Setahun kemudian, pada 2014, para peneliti Puslit Arkenas mencoba mencari buritan kapal tempat ruang mesin. ”Di ruang buritan biasanya terdapat logo identitas kapal. Diduga, kapal ini bernomor U-168 yang tenggelam pada 1944 akibat torpedo kapal selam Belanda, HrMs Zwaardvisch,” kata arkeolog senior Priyatno Hadi.
Sofwan Noerwidi, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, mengatakan, pada 2013 ditemukan 17 kerangka manusia di bagian depan U-Boat. ”Dari karakter tengkoraknya, individu di kapal itu khas populasi Jerman. Bentuk lubang hidung yang lebar dan tinggi, tulang hidung mancung, wajah lebar, serta badan tinggi,” ujarnya.
Penemuan kapal selam Jerman U-Boat sangat penting karena selama ini dalam daftar sejarah tidak pernah terungkap aktivitas tentara Jerman di Indonesia.
Karam sebelum sampai
Sejarah tragis lain dialami kapal VOC Fortuyn yang bertolak dari Pelabuhan Texel, Belanda, menuju Batavia pada 27 September 1723. Di tengah perjalanan, Fortuyn tenggelam di Samudra Hindia, yakni antara Pulau Cocos dan Pulau Christmas, Australia (Kompas, Kamis 7 April 2016).
Kapal berbobot 800 ton yang panjangnya 145 kaki itu dilengkapi dengan 36 kanon dan 8 meriam kecil. Dalam perjalanannya menuju Batavia, Fortuyn dikabarkan membawa barang-barang berharga senilai 200.000 gulden yang, antara lain, berupa perak dan koin.
Menurut catatan syahbandar, Pieter Westrik, nakhoda kapal bersama para awak kapal Fortuyn singgah di Tanjung Harapan pada 2 Januari 1724 sebelum melanjutkan pelayaran menuju Batavia pada 18 Januari 1724. Dari Tanjung Harapan, Fortuyn berlayar bersama empat kapal lain, yaitu Hogenes, Doornik, Anna Maria, dan Graveland yang baru bertolak dua minggu kemudian.
Keempat kapal itu berhasil mencapai Pelabuhan Batavia. Namun, Fortuyn tak pernah tiba di Batavia. ”Fortuyn diperkirakan tenggelam antara Pulau Cocos dan Christmas. Data tentang perjalanan Fortuyn sebelum hilang bisa ditelusuri dari catatan syahbandar di pelabuhan-pelabuhan yang disinggahinya. Dari situlah peneliti coba menelusuri keberadaan kapal itu,” tutur Shinatria yang tergabung dalam Proyek Penelitian Fortuyn.
Tahun 2016, tim proyek Fortuyn yang merupakan gabungan dari peneliti Australia dan Indonesia melakukan penyisiran jejak bangkai kapal Fortuyn di perairan dangkal antara Pulau Cocos dan Christmas yang memiliki kedalaman sekitar 30 meter dan ketinggian ombak 3-4 meter. Pencarian menggunakan alat magneto meter dan sonar yang mampu mendeteksi obyek-obyek berbahan besi di bawah laut.
”Setelah mencari beberapa hari, jejak-jejak Fortuyn tidak ditemukan. Magneto meter justru berhasil mendeteksi keberadaan dua kapal lain yang tenggelam antara Pulau Cocos dan Christmas, yaitu kapal Perang Dunia I, SMS Emden milik Jerman, dan kapal Perang Dunia II milik Jepang,” ucap Shinatria.
Karena bangkainya tak ditemukan di kawasan perairan dangkal, Fortuyn diduga kuat tenggelam di bagian perairan dalam. Maka, tim proyek Fortuyn kemudian melanjutkan penelitian di kawasan perairan dalam sekitar Pulau Cocos dan Pulau Christmas.
Penelitian tentang keberadaan Fortuyn menarik karena kapal ini adalah kapal pertama yang berlayar langsung dari Belanda menuju Batavia. Sebelumnya, untuk mencapai Batavia, pegawai VOC harus berganti-ganti kapal di beberapa pelabuhan.
Pada abad ke-18, jalur pelayaran di sekitar Samudra Hindia ramai setelah negara-negara Eropa berlomba-lomba mencari rempah-rempah ke Hindia Belanda. Batavia menjadi salah satu pelabuhan penting dalam rute perdagangan rempah-rempah.
Baca juga : HMAS Perth (I), Bangkai Kapal Perang Australia yang Nyaris Habis Dijarah Tukang Loak
Kisah-kisah tentang kecelakaan kapal di laut menyisakan begitu banyak misteri. Dari ratusan kapal yang tenggelam di perairan Indonesia, baru sedikit yang berhasil diungkap titik lokasi keberadaannya.