Kemendikbud Siapkan Aplikasi Penggabungan Perguruan Tinggi Swasta
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan wacana merger perguruan tinggi yang memiliki jumlah mahasiswa kurang dari 1.000 orang.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana penggabungan ataupun penyatuan perguruan tinggi swasta kembali disuarakan pemerintah. Pemerintah bahkan berniat memfasilitasinya. Jika wacana ini jadi direalisasikan, pemerintah harus berhadapan dengan kompleksitas perkembangan serta pengelolaan perguruan tinggi swasta sampai ke tingkat daerah.
Sesuai data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah Kemendikbud mencapai 3.021 instansi. Di antara ribuan instansi tersebut, sebanyak 19 instansi PTS memiliki total mahasiswa di atas 20.000 orang, 9 instansi PTS mempunyai 15.000-20.000 mahasiswa, dan 36 instansi PTS memiliki 10.000-15.000 mahasiswa.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Paristiyanti Nurwardani, Kamis (29/4/2021), di Jakarta mengatakan, tiga kelompok PTS seperti itu biasanya terbaik dari sisi akreditasi. Kemudian, ada 134 PTS lain yang mempunyai 5.000-10.000 mahasiswa. PTS-PTS tersebut biasanya masih bagus dan menyandang akreditasi unggul.
Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mencatat, 677 PTS mempunyai 1.001-5.000 mahasiswa, 476 PTS tercatat hanya memiliki kurang dari 100 mahasiswa, dan 912 PTS hanya mempunyai 100-500 mahasiswa. Bahkan, ada pula 336 PTS yang tidak memiliki mahasiswa.
Menyikapi kondisi tersebut, Paristiyanti mengatakan akan ada pembinaan lebih intensif. Pihaknya juga akan menggali apakah PTS-PTS tersebut ke depan akan bisa meningkatkan pengamalan tridarma perguruan tinggi.
Salah satu upaya lain yang akan dilakukan adalah mendorong PTS dengan mahasiswa kurang dari 1.000 untuk merger atau bergabung. Alasan utamanya berkaitan dengan mutu.
Paristiyanti menyebut pihaknya akan menyiapkan aplikasi program merger dalam waktu dekat. Kemendikbud akan memfasilitasi anggaran merger, termasuk biaya kebutuhan notaris.
”Kemendikbud berupaya kompak menegakkan tridarma perguruan tinggi. Kami pun sudah mempunyai kebijakan Kampus Merdeka sampai indikator kinerja utama untuk perguruan tinggi,” tegas Paristiyanti.
Dia menyampaikan pula bahwa pengurusan izin PT ataupun program studi dilakukan melalui laman silemkerma.kemdikbud.go.id dan tidak dipungut biaya. Pengurusan semi-otomatis dan otomatis seperti itu sejalan dengan reformasi birokrasi. Pembukaan prodi ataupun instansi PTS baru tetap diperbolehkan. Dengan model pelayanan yang sekarang, obyektivitas tetap dijaga. Persyaratan kualitas juga diperketat, seperti PT harus bekerja sama dengan dunia usaha/dunia industri.
Baca juga : Penggabungan Perguruan Tinggi Terganjal
Surat keputusan palsu
Menanggapi adanya temuan lima surat keputusan Mendikbud palsu terkait izin operasional PTS yang viral dibicarakan, Paristiyanti menekankan bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah bekerja sama dengan Polda Metro Jaya. Dari hasil koordinasi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi berharap agar segera dilakukan gelar perkara untuk menetapkan tersangka dalam kasus itu.
Kelima surat keputusan Mendikbud palsu meliputi, antara lain, izin perubahan nama dan lokasi salah satu PTS yang berlokasi di Jawa Timur menuju Banten, izin pembukaan prodi akuntansi sarjana, dan izin penggabungan dua sekolah tinggi menjadi universitas di Banten.
Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Madya Biro Hukum Kemendikbud Polaris Siregar mengatakan, publik sebenarnya dapat melihat perguruan tinggi legal di laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Melalui laman itu, publik bisa mendapatkan informasi gambaran umum lembaga-lembaga perguruan tinggi.
Dia menegaskan, apabila ada perguruan tinggi ilegal, pemerintah tidak mengakui layanannya. Hasil belajar mahasiswa pun tidak diakui.
Polaris menyampaikan, ketentuan legal mengenai pendirian perguruan tinggi saat ini acuannya adalah Peraturan Mendikbud Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
Pasal 2 Permendikbud No 7/2020 menyebutkan, pendirian dan perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) dan PTS bertujuan untuk meningkatkan akses, pemerataan, mutu, dan relevansi pendidikan tinggi di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan lainnya untuk meningkatkan mutu dan relevansi penelitian ilmiah serta pengabdian kepada masyarakat untuk mendukung pembangunan nasional.
Baik PTN maupun PTS mencakup bentuk universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas. Dalam Permendikbud No 7/2021 dijelaskan bahwa masing-masing bentuk perguruan tinggi tersebut harus mengikuti persyaratan wajib ketika akan membuka prodi beserta jenjang pendidikan tinggi mulai dari sarjana, magister, hingga doktoral.
Pasal 10 Permendikbud No 7/2020 mengatur mengenai pendirian PTS. Pendirian PTS harus sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi, misalnya kurikulum disusun berdasarkan kompetensi lulusan sesuai Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Lalu, dosen untuk satu prodi paling sedikit berjumlah lima orang pada program diploma atau sarjana untuk universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi. Lahan untuk kampus PTS memiliki luas paling sedikit 10.000 meter persegi untuk universitas, 8.000 meter persegi untuk institut, dan 5.000 meter persegi untuk sekolah tinggi, politeknik, akademi, ataupun akademi komunitas.
Selain itu, pendirian juga mesti mendapatkan rekomendasi dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) dan terdapat laporan keuangan badan penyelenggara. Adapun surat penyataan kesanggupan untuk menyediakan dana investasi dan operasional dari PTS yang akan didirikan harus ditandatangani oleh semua anggota organ badan penyelenggara.
Perubahan PTS, sesuai Pasal 17 Permendikbud No 7/2020, terdiri dari perubahan nama, lokasi, bentuk, pengalihan pengelolaan PTS dari badan penyelenggara lama ke badan penyelenggara baru, penggabungan dua PTS atau lebih menjadi satu, serta penyatuan satu PTS atau lebih ke dalam satu PTS lain.
Baca juga : Klusterisasi Pendidikan Tinggi Pintu Masuk Pembinaan Kampus
Isu lama
Guru Besar Universitas Katolik Soegijapranata, Budi Widianarko, secara terpisah mengatakan, wacana penggabungan atau penyatuan PTS bukanlah sesuatu yang baru. Wacana ini kerap dilontarkan oleh pemerintah.
Realitasnya, dia berpendapat, penggabungan atau penyatuan PTS sulit dilakukan. Berbagai tantangan meliputi kepemilikan yayasan, investasi, hingga pengelolaan dosen. Ditambah lagi, di Indonesia, pendirian PTS berkaitan erat dengan isu pemerataan pendidikan sampai ke pelosok.
Sejumlah korporat mapan juga merambah dengan pendirian PTS, misalnya di lahan perkotaan baru. Meski demikian, tidak semua prodi yang dimiliki punya mahasiswa berjumlah banyak.
”Sementara pada saat bersamaan, pemerintah masih memperbolehkan pendirian baru PTS,” katanya.
Pemerintah melalui Ditjen Pendidikan Tinggi telah merilis hasil klusterisasi perguruan tinggi. Berpegang hasil tersebut, pemerintah sebenarnya bisa menyelesaikan terlebih dulu permasalahan perguruan tinggi yang masuk kluster terbawah. Bersamaan dengan langkah itu, dia memandang, pemerintah bisa melakukan moratorium terlebih dulu pendirian baru.
Di wilayah-wilayah yang membutuhkan satuan pendidikan tinggi negeri, pemerintah perlu punya diskresi kebijakan. Terhadap PTS yang ingin membuka prodi baru demi tetap bertahan, pemerintah semestinya tetap mendukung.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Budi Djatmiko berpandangan senada bahwa wacana pemerintah ingin menggabungkan atau menyatukan PTS ke PTS lain pernah terlontar sejak lama. Wacana itu juga berkali-kali disertai dengan tawaran insentif. Namun, bentuk insentifnya tidak jelas.
”Bukan insentif ke notaris yang terpenting. Pemerintah ingin PTS maju, begitu pula dengan PTS. Jangan sampai wacana penggabungan atau penyatuan PTS terkesan ’proyek’,” ujarnya. Maka, insentif kepada PTS semestinya berhubungan langsung dengan kebutuhan PTS, seperti masalah kekurangan dosen dan research sharing yang mesti dibantu.
Persoalan teknis administrasi pengurusan izin di dalam internal Ditjen Pendidikan Tinggi juga mesti diperbaiki. Ini berkaca dari temuan lima surat keputusan izin operasional palsu yang ramai dibicarakan sekarang. Misalnya, reviewer yang menangani segala urusan izin operasional harus memiliki acuan terstandar dalam bekerja.