”Apa yang sudah dilakukan aparat penegak hukum di wilayah Polda Metro Jaya jadi contoh bagi kita semua bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan tugas kita bersama,” ujar Bintang Darmawati seusai menyerahkan penghargaan kepada beberapa perwakilan anggota Polda Metro Jaya.
Selain di bidang hukum, penghargaan akan diberikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kepada perorangan ataupun lembaga yang menangani perlindungan anak dari berbagai bidang, seperti bidang kesehatan, sosial, pendidikan, agama, dan bidang-bidang lain.
Apresiasi dan penghargaan terhadap aparat penegak hukum (APH) penting. Itu karena dalam beberapa tahun terakhir kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tetap tinggi. Bahkan, pada masa pandemi pun, kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, psikis, maupun kekerasan seksual serta penelantaran ekonomi terus terjadi.
Data pencatatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) selama periode Januari-Maret 2021, tercatat sebanyak 2.022 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 2.897 kasus kekerasan pada anak.
Sebelumnya, Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 yang diluncurkan awal Maret 2021, juga menunjukkan pandemi tidak menyurutkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual dalam berbagai modus. Kekerasan di ranah personal atau rumah tangga menjadi ancaman terbesar bagi perempuan.
Baca juga: Lonjakan Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Siber Terjadi Saat Pandemi Covid-19
Kekerasan seksual daring
Sementara kekerasan berbasis siber/daring serta fenomena perkawinan anak tak kalah mengkhawatirkan karena terus mengancam perempuan. Kekerasan berbasis siber di ranah KDRT naik 920 persen, yakni dari 35 kasus menjadi 329 kasus.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menggarisbawahi betapa kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang luring maupun daring. Begitu juga dengan angka perkawinan anak yang menempatkan perempuan menjadi lebih rentan terhadap kekerasan.
Sementara itu, dispensasi kawin (perkawinan anak) meningkat tajam hingga tiga kali lipat. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung pada tahun 2019 terdapat 23.126 kasus, kemudian memasuki tahun 2020 permohonan naik hampir 300 persen yakni, sebesar 64.211 kasus.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan, termasuk anak, hingga masa pandemi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Peran APH menjadi penting dalam memberikan perlindungan dan keadilan sangat penting. Pengungkapan kasus eksploitasi seksual komersial anak, yang diduga juga terkait perdagangan orang sejak tahun 2020 hingga 2021 ini, menunjukkan betapa anak-anak terus menjadi sasaran pelaku kejahatan.
Pada Maret 2021, misalnya, untuk kesekian kali Polda Metro Jaya mengungkap ada praktik eksploitasi seksual pada anak dalam kegiatan prostitusi di apartemen ataupun hotel di wilayah Jakarta. Polisi menemukan 15 anak korban prostitusi di sebuah hotel di Jakarta. Sebelumnya, polisi juga mendapati 27 anak dalam kasus yang sama.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Subkomisi Perlindungan Khusus Anak, Ai Maryati Solihah, menilai kasus tersebut sebagai kejahatan terstruktur yang mengandung unsur perekrutan anak di bawah umur. Modusnya lewat iklan aplikasi daring dan dilakukan oleh para mucikari.
Pola ini diduga kuat sebagai perdagangan orang karena setelah direkrut kemudian ada pemindahan, penempatan, penampungan, dan penerimaan di hotel dengan cara memanfaatkan anak-anak yang rentan secara ekonomi untuk tujuan eksploitasi seksual.
Pengungkapan kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa kejahatan seksual secara daring perlu mendapat perhatian serius. Kerja keras anggota kepolisian untuk mengungkap kasus-kasus eksploitasi pada perempuan dan anak patut diapresiasi.
Namun, Bintang berharap, penanganan kasus ini tentu tidak akan berhenti pada pengungkapan kasus, tetapi proses pengadilan dari kasus-kasus seperti itu harus dikawal bersama. Maka, peran kejaksaan dan hakim juga sangat penting untuk memastikan proses hukum kasus-kasus tersebut tidak berhenti di tengah jalan, pelaku mendapat hukuman yang setimpal dan korban mendapat keadilan.
Tidak hanya itu, Bintang juga berharap proses hukum kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak diharapkan berperspekif jender agar jangan sampai perempuan dan anak justru mengalami kriminalisasi berulang. Peran APH perempuan tentu akan sangat memengaruhi proses hukum.
Perempuan penegak hukum
Komisaris Polisi Endang Sri Lestari, Kepala Unit PPA Polda Metro Jaya, yang juga salah satu penerima penghargaan dari Menteri PPPA, mengatakan, di kepolisian, selain Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), berbagai sarana dan prasarana disiapkan untuk melindungi perempuan dan anak saat berhadapan dengan hukum.
Meski demikian, berbagai tantangan masih dihadapi kepolisian, terutama dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk kejahatan daring.
Saat berbicara pada Unjuk Bincang Peringatan Hari Kartini 2021 yang bertema ”Perempuan Penegak Hukum Memaknai Perjuangan RA Kartini dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia”, dia memberikan contoh bagaimana polisi berupaya keras membuktikan kekerasan seksual yang menimpa anak di bawah lima tahun.
Penegakan berperspektif jender juga kini menjadi perhatian kejaksaan. Erni Mustikasari, Jaksa Fungsional pada Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Sesjampidum) Kejaksaan, mengatakan, pada 8 Maret 2021 lalu, Kejaksaan meluncurkan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Pedoman yang diterbitkan pada 21 Januari 2021 itu diharapkan menjadi acuan bagi jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak, baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku.
Di tingkat pengadilan, Mahkamah Agung selangkah lebih maju. Sejak empat tahun lalu, MA menerbitkan Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Tak Surutkan Kejahatan pada Anak
Diah Sulastri Dewi, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lampung, juga menegaskan pentingnya perspektif jender dimiliki APH, termasuk perempuan hakim dalam mengadili perkara-perkara perempuan dan anak. Karena itu, menurut Dewi, selain sinergi dalam penanganan kasus perempuan dan anak, persepsi antara penegak hukum tentang perlindungan perempuan dan anak haruslah sama.