Proses penyusunan kamus sejarah harus melalui pengawasan dan evaluasi secara ilmiah. Ada tim penjaminan mutu dan tidak bisa dibuat secara terburu-buru.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam konteks pendidikan, Kamus Sejarah Indonesia menjadi salah satu bahan rujukan untuk mengembangkan pembelajaran di kelas. Sifatnya melengkapi keberadaan buku pelajaran dan bacaan sejarah baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta.
Ketua Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Abdurakhman dalam webinar ”Hilangnya KH Hasyim Asy’ari dari Kamus Sejarah: Manipulasi Sejarah?”, Selasa (27/4/2021), di Jakarta, mengatakan, kamus sejarah semestinya berisi informasi sejarah yang ditulis secara padat dan singkat. Apabila ingin memperoleh infomasi lebih mendalam, pembaca bisa menggali ke buku-buku sejarah lainnya.
”Kamus sejarah bukan bertujuan menanamkan karakter kepada peserta didik, melainkan membantu menanamkan informasi yang memicu orang untuk mencari lebih detail. Kamus Sejarah Indonesia karya Indonesianis Robert Cribb dan Audrey Kahin disusun seperti itu,” ujarnya.
Menurut Abdurakhman, Indonesia belum memiliki kamus sejarah yang disusun oleh akademisi dan sejarawan lokal. Oleh karena itu, penyusunan kamus sejarah Indonesia, khususnya kontemporer, sudah sangat urgen saat ini.
Hanya saja, dia berharap proses penyusunan kamus sejarah Indonesia, khususnya kamus sejarah kontemporer, semestinya dilakukan secara serius, bukan sebatas mengejar penyelesaian proyek. Pengalaman tentang kisruh draf buku Kamus Sejarah IndonesiaJilid I beberapa hari terakhir mesti menjadi pelajaran.
Proses penyusunan kamus harus melalui pengawasan dan evaluasi secara ilmiah. Ada tim penjaminan mutu. Tidak bisa dibuat terburu-buru.
”Proses penyusunan kamus harus melalui pengawasan dan evaluasi secara ilmiah. Ada tim penjaminan mutu. Tidak bisa dibuat terburu-buru,” kata Abdurakhman.
Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Agus Mulyana menyampaikan, guru memakai acuan kurikulum sejarah saat menggunakan buku pelajaran ataupun pelengkap lainnya. Sebagai gambaran, pada Kurikulum 2013, mata pelajaran Sejarah memiliki konten tentang sejarah Indonesia yang bersifat wajib di semua peminatan. Materi-materinya sarat berideologi. Peserta didik diharuskan memiliki pengetahuan masa lampau.
Perjalanan penyusunan buku pelajaran Sejarah oleh pemerintah mengalami sejumlah dinamika, misalnya pencantuman sejarah kontroversial terkait peristiwa 1965. Di sisi lain, buku-buku bacaan sejarah yang diterbitkan oleh swasta juga bermunculan di pasar.
”Penyusunan kamus sejarah bukan mengacu kepada lengkap tidaknya, melainkan kekayaan sumber informasi. Proses penyusunan kamus harus melalui kaidah keilmuan. Saat hendak digunakan, guru tetap mengacu arahan substansi kurikulum,” katanya.
Wakil Ketua Forum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI Albany menyampaikan hal senada. Ukuran kamus sejarah adalah kekayaan informasi dan menjadi semacam buku babon. Selain sekolah, ada kemungkinan masyarakat luas dari berbagai latar belakang juga akan turut memanfaatkan kamus sejarah sebagai rujukan sumber informasi.
”Oleh karena itu, penyusunan kamus sejarah semestinya tidak menekankan politik identitas tertentu. Dewan redaksi juga harus wawas diri,” ujar Albany.
Belum diterbitkan
Sebelumnya, menanggapi banyaknya kritik tentang hilangnya jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratus Syech Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid dalam pernyataan resmi, Senin (19/4/2021), menegaskan, buku Kamus Sejarah IndonesiaJilid I tidak pernah diterbitkan secara resmi. Dokumen tidak resmi yang sengaja diedarkan di masyarakat oleh kalangan tertentu merupakan salinan lunak naskah yang masih perlu disempurnakan.
”Naskah tersebut tidak pernah kami cetak dan edarkan kepada masyarakat,” ujar Hilmar.
Menurut Hilmar, naskah buku itu disusun pada 2017, sebelum masa kepemimpinan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim. Selama periode kepemimpinan Nadiem, kegiatan penyempurnaan belum dilakukan dan belum ada rencana penerbitan naskah itu.
”Kami selalu berefleksi kepada sejarah bangsa dan tokoh-tokoh yang ikut membangun Indonesia, termasuk Hadratus Syech Hasyim Asy’ari dalam mengambil kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan,” ujarnya.
Meskipun naskah itu dirancang sebelum Nadiem menjadi menteri, Nadiem berkomitmen bahwa hal tersebut tetap menjadi tanggung jawabnya. ”Kami akan segera melakukan revisi naskah,” kata Nadiem.