Beberapa tahun lalu, Ibu Sinta Nuriyah, istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menyerahkan sajadah milik Gus Dur kepada Romo Sindhunata,. Sajadah itu kini diletakkan di Langgar Tombo Ati, Omah Petroek.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Puluhan santri melantunkan doa dan puja-puji. Mereka menggelar tawasulan ketika sebuah sajadah beludru hitam ditempatkan di mihrab Langgar Tombo Ati, Sabtu (21/3/2021), dalam acara Istighotsah untuk Keselamatan Bangsa dan Gelar Seni Budaya dan Religi. Di tengah segala macam ketidakpastian, doa menjadi pegangan.
Kehadiran sajadah ini memiliki kesan tersendiri. Beberapa tahun lalu, Ibu Sinta Nuriyah, istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menyerahkan sajadah itu kepada Romo Sindhunata, pengelola Omah Petroek, di Karangkletak, Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, DIY.
Itulah sajadah milik Gus Dur, yang kemudian dibingkai dan ditempatkan di Langgar Tombo Ati. Di teras langgar, ”Gus Dur” duduk sembari tertawa. Patung karya seniman Wilman Syahnur itu benar-benar mengobati siapa pun yang kangen dengan sosok ulama sekaligus presiden pejuang pluralisme tersebut.
Selain tempat peribadahan umat Muslim, di Omah Petroek juga dibangun beragam rumah ibadah lain, seperti kapel, pura, dan kelenteng. Siapa saja dapat berdoa di sana.
Kiai Haji Roikhan Zainal Arifin Al Makky, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Sabiilul Muttaqiin Yogyakarta, memimpin langsung tawasulan di Langgar Tombo Ati. ”Semoga dengan tawasulan ini, doa kita didengarkan Tuhan dan kita diberi keselamatan lahir dan batin. Indonesia aman dan damai, keluar dari marabahaya,” ucapnya.
Bagi para jemaah, Gus Dur menjadi sosok panutan di tengah segala macam ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Maka, para jemaah pun wadul (mengadu) kepada Gus Dur, memohon perantaraan doa kepada Allah supaya pandemi segera berakhir.
Jujur dan tulus
Romo Sindhunata mengatakan, umat dari berbagai agama ikut berdoa dalam Istighotsah untuk Keselamatan Bangsa di Omah Petroek. ”Kita meyakini, doa yang kita mohonkan dengan jujur dan tulus secara bersama-sama akan didengar oleh Tuhan,” ujarnya.
Kejujuran dan ketulusan menjadi hal utama dalam doa. Menurut Romo Sindhunata, sering kali kita terlihat rajin berdoa, gereja dan masjid penuh, tapi mengapa kehidupan sosial justru mundur ke belakang? Para politisi saling berebut posisi, orang tak punya rasa malu untuk korupsi, dan banyak rakyat kian telantar. Mengapa doa tidak berefek pada moral bangsa?
”Mungkin doa kita mandul karena kita terpisah dari masalah-masalah sosial dan moral bangsa. Doa kita hanya menjadi ritual pribadi, pokoknya aku tentrem dan aman secara pribadi. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, kita ingin memohon pertolongan Tuhan lewat Gus Dur agar di tengah pandemi para politisi memperhatikan betul masyarakat, tidak justru ribut memikirkan kepentingan sendiri-sendiri, juga agar pandemi segera berlalu, masyarakat bisa beraktivitas seperti sedia kala,” paparnya.
Selepas tawasulan, sajadah Gus Dur yang telah dipigura diangkat Kiai Haji Roikhan dan Romo Sindhunata, kemudian diletakkan di dinding bagian dalam langgar Tombo Ati.
Rombongan penyanyi hadroh kemudian bergeser ke lapangan Taman Yakopan. Di sela istighotsah, Komunitas Sang Indonesia memvisualisasikan kegundahan masyarakat menghadapi pandemi melalui sebuah monolog tentang si Tukang Cerita, seorang korban PHK yang bingung tujuh keliling selepas diberhentikan kerja akibat pandemi Covid-19.
Saat ketemu Pak Lurah, Tukang Cerita mengeluh tentang perutnya yang lapar dan uang kuliah anaknya yang belum terbayar. Sialnya, Pak Lurah tak bisa memberikan solusi karena sudah pusing sendiri dengan berbagai macam urusan administrasi.
Ia kemudian pergi ke tempat Pak Bupati untuk kembali bertanya, siapa tahu ada solusi. ”Saya itu juga bingung, perda itu membuat saya jadi bingung, politik juga membuat bingung, saya bingung membantu rakyat karena sering dituduh korupsi,” ujar Pak Bupati.
”Lurah saja bingung, Pak Bupati pusing. Lalu saya harus ke menteri? DPR? presiden? Saya semakin bingung dan lapar,” kata Tukang Cerita.
Pada akhirnya, di tengah keputusasaan, dia hanya bisa berdoa dan berharap. ”Semoga semuanya baik-baik saja dan Tuhan mendengarkan doa kami,” ucapnya.
Selepas penampilan monolog, pelawak Marwoto mewakili para seniman menyampaikan unek-unek sekaligus harapan. ”Di pertunjukan ketoprak, saya sering didapuk (ditunjuk) menjadi tokoh batur (jongos). Tapi, selama pandemi saya didapuk jadi rayap, bisanya ngrokoti (memakan) apa pun yang ada. Mesin jahit yo bablas, lemari bablas, isi rumah jadi bersih karena situasi seperti ini,” ungkapnya.
Marwoto hendak menceritakan bagaimana pandemi Covid-19 membuat para seniman kehilangan mata pencarian. Pertunjukan sepi, permintaan tampil nyaris tak ada selama pandemi. Akibatnya, para seniman harus menjual berbagai macam aset di rumahnya untuk bisa bertahan hidup bersama keluarga.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah belakangan untuk membuka kembali kesempatan bagi para seniman bisa tampil dengan protokol kesehatan ketat menjadi setitik harapan bagi para seniman setelah sekian lama susah mencari nafkah. ”Semoga dengan protokol kesehatan yang ketat, kami bisa aktif kembali. Walaupun sudah divaksin, protokol kesehatan tetap harus dipatuhi,” kata Marwoto.