Rezim Represif Menguat, Virus Sensor dan Disinformasi Meluas
Virus sensor dan disinformasi meluas di kawasan Asia Pasifik seiring menguatnya pemerintahan yang represif di negara-negara di kawasan tersebut.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Praktik sensor dan pengawasan atas informasi terus meluas di negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Rezim diktator di kawasan ini menggunakan pandemi Covid-19 untuk memperkuat kontrol mereka atas informasi. Sementara sejumlah negara lain memberlakukan peraturan yang represif untuk membatasi infomasi dan kebebasan berpendapat.
Survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021 oleh Reporters Without Borders yang dipublikasi pada 20 April 2021 menunjukkan, virus sensor atas informasi di China (kebebasan persnya di peringkat ke-177 dari 180 negara) telah menyebar ke negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik. Ini dimulai dari Hong Kong (peringkat ke-80) ketika Pemerintah China ikut campur melalui undang-undang keamanan nasional yang menimbulkan ancaman bagi jurnalisme.
Penggunaan teknologi baru secara besar-besaran, pasukan sensor, dan troll memungkinkan Pemerintah China memantau dan mengontrol arus informasi, memata-matai, menyensor warga Hong Kong secara daring, dan menyebarkan propaganda di media sosial. Pemerintah China juga memperluas pengaruhnya ke dunia internasional untuk memaksakan narasinya kepada khalayak internasional.
Vietnam (peringkat ke-175) juga memperkuat kontrolnya atas konten media sosial saat menangkap sejumlah wartawan menjelang kongres lima tahunan Partai Komunis pada Januari 2021. Wartawan yang ditangkap termasuk Pham Doan Trang yang mendapat anugerah Press Freedom Prize for Impact dari RSF pada 2019.
Sebagaimana China, Korea Utara (naik 1 poin di peringkat ke-197) juga tetap menerapkan kontrol yang ketat atas informasi dan masyarakatnya. Seorang warga Korea Utara bisa ditahan hanya karena melihat situs web media yang berbasis di luar negeri. Kenaikan peringkat indeks kebebasan pers di Korea Utara ini lebih karena penurunan indeks kebebasan pers di Eritrea (Afrika) sebanyak dua poin ke posisi ke-180.
Sementara Thailand (naik 3 poin di peringkat ke-137), Filipina (turun 2 poin di peringkat ke-138, Indonesia (naik 6 poin di peringkat ke-113), dan Kamboja (peringkat ke-144) dinilai menggunakan pandemi untuk memperkuat pembatasan kebebasan informasi. Negara-negara ini tetap memberlakukan undang-undang dan peraturan yang dapat mengkriminalisasi mereka, termasuk wartawan, yang mengkritik pemerintah.
Malaysia (turun 18 poin di peringkat ke-119) dan Singapura (turun 2 poin di peringkat ke-160) menerapkan peraturan yang memungkinkan pemerintah atau pihak berwenang di pemerintahan untuk mengoreksi informasi yang dianggap salah. Pemerintah juga menghukum mereka yang dinilai bertanggung jawab atas informasi tersebut.
Kontrol militer
Di Myanmar (turun 1 poin di peringkat ke-140), pemerintahan yang represif terus menguat. Sejak pemerintahan Aung San Suu Kyi memblokir 221 situs web, termasuk situs web berita, dengan dalih memerangi berita palsu selama pandemi, kebebasan pers di negara ini terus menurun dan memburuk secara dramatis sejak kudeta militer pada Februari 2021. Kondisi ini membuat Myanmar mundur 10 tahun, ke situasi ketika junta militer berkuasa hingga Februari 2011.
Kontrol oleh militer terhadap wartawan juga terjadi di Pakistan (peringkat ke-145). Badan intelijen militer di negara ini, Inter Services Intelligence (ISI), sangat kuat dan terus menggunakan berbagai upaya untuk membungkam kritik. Banyak jurnalis dan bloger yang tinggal di pengasingan menjadi sasaran aksi ISI. Badan intelijen ini juga terus mengontrol media sosial, satu-satunya ruang di mana suara kritis mendapat tempat.
Sementara di India (peringkat ke-142) media terpecah. Media pro-pemerintah memberikan tempat yang baik pada informasi pemerintah yang berbentuk propaganda. Di sisi lain, media atau wartawan yang berani mengkritik pemerintah dicap sebagai antinegara, antinasional, bahkan proteroris oleh pendukung partai yang berkuasa. Ini menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Wartawan independen juga mendapat tekanan di Bangladesh (turun 1 poin di peringkat ke-152), Sri Lanka (peringkat ke-127), Nepal (naik 6 poin di peringkat ke-106). Kenaikan peringkat kebebasan pers di Nepal lebih disebabkan kejatuhan negara lain daripada peningkatan nyata pada kebebasan pers.
Selain pemerintah yang represif, platform digital global juga menjadi ancaman bagi kebebasan pers. Di Australia (naik 1 poin di peringkat ke-25), Facebook-lah yang melakukan sensor informasi. Facebook sempat melarang media Australia menerbitkan atau mendistribusikan konten jurnalistiknya di halaman Facebook ketika ada usulan undang-undang yang mewajibkan platform digital global membayar konten jurnalistik yang mereka didistribusikan,
Ancaman lainnya adalah intoleransi dan kekerasan ekstrem terhadap wartawan, terutama wartawan perempuan. Di Afghanistan (peringkat ke-122), enam jurnalis dan pekerja media terbunuh pada 2020 dan empat lainnya terbunuh sejak awal 2021. Ini membuat Afghanistan terus menjadi salah satu negara paling mematikan bagi media.
Cédric Alviani, Kepala Biro RSF Asia Timur, mengatakan, ”Asia-Pasifik memiliki tradisi menjadi wilayah yang sangat sulit untuk kebebasan pers dan dalam beberapa tahun terakhir ada penurunan (kebebasan pers) di hampir setiap wilayah.”
Alviani, sebagaimana dikutip time.com pada Selasa (20/4/2021), menilai ada peran pengaruh China dalam hal ini. Beberapa negara di Asia Pasifik yang menerapkan kontrol atas informasi telah mengadopsi peraturan yang hampir sama dari China seperti kontrol atas internet dan peraturan antiberita palsu.
Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire mengatakan, penutupan akses informasi bertentangan dengan prinsip dasar jurnalisme. Ketika wartawan dibatasi, masyarakat pun tidak mendapat informasi yang benar, maka disinformasi akan lebih bebas menyebar.
Di tengah-tengah banyak negara yang membatasi kebebasan pers tersebut, praktik baik yang mendukung kebebasan pers dilakukan negara-negara demokrasi muda di Asia Pasifik. Bhutan (naik 2 poin di peringkat ke-65), Mongolia (naik 5 poin di peringkat ke-68), dan Timor Leste (naik 7 poin di peringkat ke-71) dinilai mampu menempatkan independensi media berhadapan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selandia Baru (naik I poin di peringkat ke-8), Australia, Korea Selatan (peringkat ke-42), dan Taiwan juga mengizinkan wartawan melakukan tugas jurnalistiknya dan menyampaikan informasi yang diperoleh kepada masyarakat tanpa ada campur tangan ataupun tekanan.