Jurnalisme merupakan vaksin yang terbaik untuk melawan disinformasi, terutama di masa pandemi ini. Namun, banyak negara justru menggunakan pandemi Covid-19 untuk membatasi akses wartawan ke sumber informasi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menghadirkan tantangan bagi wartawan di seluruh dunia. Di sebagian besar negara, pemerintah menjadikan pandemi sebagai alasan untuk membatasi bahkan memblokir akses wartawan ke sumber informasi dan pemberitaan.
Hasil survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021 oleh Reporters without Borders (RSF) menunjukkan, 73 negara memblokir dan 59 negara lainnya menghalangi akses wartawan untuk mendapatkan informasi. Sebanyak 132 negara atau 73 persen dari 180 negara yang disurvei ini dikategorikan memiliki lingkungan sangat buruk, buruk, atau bermasalah untuk kebebasan pers.
Bahkan, di Norwegia yang menempati peringkat pertama IKP Dunia selama lima tahun terakhir pun, media mengeluhkan kurangnya akses ke informasi yang dimiliki negara tentang pandemi. ”Jurnalisme adalah vaksin terbaik melawan disinformasi. Sayangnya, produksi dan distribusinya terlalu sering terhalang oleh faktor politik, ekonomi, teknologi, bahkan terkadang budaya,” kata Sekretaris Jenderal RSF Christophe Deloire dalam laporan IKP Dunia 2021 yang dipublikasi pada Selasa (20/4/2021).
Kondisi tersebut tidak hanya membuat wartawan semakin sulit menyelidiki dan melaporkan berita-berita sensitif, termasuk terkait Covid-19, tetapi juga membatasi akses informasi ke masyarakat. Padahal, penting memiliki akses ke informasi yang dapat diandalkan untuk mengatasi pandemi dan memerangi informasi salah terkait Covid-19.
Indonesia masuk kategori 132 negara tersebut. Meski peringkat indeks kebebasan persnya naik enam poin dari posisi ke-119 pada 2020 menjadi ke-113 pada 2021, Indonesia termasuk negara yang memblokir jurnalisme. Laporan IKP Dunia 2021 yang dipublikasi pada Selasa menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang mengadopsi undang-undang dan peraturan yang mengkriminalisasi wartawan/media ketika mengkritik pemerintah.
Regulasi tersebut mulai dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah direvisi, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan. Pernyataan bahwa pemerintah mendukung dan menghormati kebebasan pers terbantahkan oleh pembatasan akses internet di Papua Barat, yang berarti juga pembatasan akses media ke wilayah tersebut.
Kekerasan terhadap wartawan juga terus terjadi dan meningkat, dan sebagian besar dilakukan oleh aparat keamanan. Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, selama 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan. Jumlah kasus tersebut terbanyak dalam sepuluh tahun terakhir, menunjukkan tidak ada perbaikan kebebasan pers.
Kasus-kasus tersebut belum dituntaskan oleh kepolisian. Belasan kasus yang kami laporkan (ke polisi) juga tidak ditangani dengan baik. Kasus kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa, kekerasan digital, tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang.(Sasmito)
”Kasus-kasus tersebut belum dituntaskan oleh kepolisian. Belasan kasus yang kami laporkan (ke polisi) juga tidak ditangani dengan baik. Kasus kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa, kekerasan digital, tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito ketika dihubungi Kompas, Kamis (22/4/2021).
Terus terjadi
Kasus kekerasan terhadap wartawan berlanjut pada 2021. Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, selama triwulan pertama 2021 terjadi 16 kasus kekerasan terhadap wartawan, termasuk kasus penganiayaan terhadap Nurhadi, wartawan Tempo di Surabaya, Jawa Timur, yang sedang melakukan tugas jurnalistiknya pada 27 Maret. Intimidasi dan teror terhadap wartawan yang juga Pemimpin Umum Tabloid Jubi Victor Mambor di Jayapura, Papua, Rabu (21/4), juga diduga terkait pemberitaan.
”Kami mengapresiasi langkah pemerintah memberikan relaksasi ekonomi untuk membantu industri pers meski ini bukan kebijakan khusus karena juga dilakukan untuk sektor usaha lainnya. Namun, kami belum melihat itikad baik pemerintah untuk mendukung kebebasan pers. Kami berharap ada peraturan Kepala Polri tentang perlindungan terhadap wartawan, juga komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus yang ada,” ujar Sasmito.
Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan, peningkatan peringkat kebebasan pers Indonesia belum berarti meningkatkan iklim kebebasan pers. Ditambah lagi, peningkatan peringkat Indonesia juga dipengaruhi penurunan peringkat indeks kebebasan pers Malaysia yang sangat tajam, mencapai 18 poin, dari peringkat ke- 101 pada 2020 menjadi peringkat ke-119 pada 2021.
Penurunan peringkat Malaysia yang paling tajam dibandingkan negara-negara lain tersebut terkait pembentukan pemerintahan koalisi baru pada 2020. Ini mengarah pada penerapan apa yang disebut dekrit ”berita antipalsu” yang memungkinkan pihak berwenang di Malaysia untuk memaksakan kebenaran versi mereka.
Ketentuan serupa juga dilakukan Singapura, yang turun 2 poin ke peringkat ke-160. Dua tahun terakhir Singapura memberlakukan undang-undang yang mengizinkan pemerintah mengoreksi informasi apa pun yang dianggap salah dan menuntut mereka yang memproduksi/menyebarkan informasi tersebut.
Kondisi di negara-negara ASEAN lainnya tidak jauh berbeda. Sebagaimana Indonesia, Thailand (peringkat indeks kebebasan pers naik 3 poin menjadi ke-137), Filipina (turun 2 poin menjadi ke-138), dan Kamboja (tetap di posisi ke-144) juga termasuk negara yang memblokir jurnalismenya. Sementara Myanmar (turun 1 poin menjadi ke-140), situasi kebebasan persnya memburuk secara drastis sejak kudeta militer pada Februari 2021.
IKP Dunia dihitung melalui berbagai indikator, seperti independensi media, transparansi, dan lingkungan media secara umum. Tahun ini hanya 12 negara yang menyatakan menawarkan lingkungan yang mendukung jurnalisme, pada tahun lalu ada 13 negara. Secara global tingkat kebebasan pers pada 2021 turun 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi hal ini memperburuk 12 persen sejak IKP Dunia dibuat pada 2013.