Masyarakat Indonesia memiliki kesadaran untuk tumbuh menjadi bangsa lebih baik. Gotong royong, demokrasi, dan penegakan hak asasi manusia merupakan nilai bangsa Indonesia yang selalu warga inginkan untuk dijaga.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran untuk hidup bermasyarakat dengan lebih baik tanpa meninggalkan nilai budaya yang ada terus tumbuh. Hal itu ditandai dengan semangat warga memelihara nilai-nilai gotong royong, keberagaman, dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana diperjuangkan Kartini.
Demikian benang merah temuan survei Nenilai yang dilakukan pada 2 Juli-31 Desember 2020 kepada 50.452 orang. Nenilai merupakan program yang diinisiasi Unit Staf Ahli Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas; Indika Energy; DayaLima; Pantarei; dan Stoik Trisula.
Sebanyak 50.452 responden dalam survei berasal dari sejumlah daerah, 30.388 orang di antaranya berusia 15-20 tahun. Lebih dari setengah total responden atau 32.292 orang baru lulus SMA.
Menurut Ketut Saguna, penggerak program Nenilai, di sela diskusi daring ”Kartini Bukan Sekadar Hari” yang diadakan Nenilai bekerja sama dengan Yayasan Cahaya Guru, Rabu (21/4/2021), di Jakarta, survei tersebut bertujuan untuk mengetahui nilai individu serta budaya yang ada dan diharapkan warga. Survei memakai asesmen nilai dari model Barret.
Responden diminta menjawab nilai-nilai pribadi yang dimiliki serta budaya yang berkembang dan diharapkan di Indonesia. Nilai pribadi yang dianggap penting terbanyak meliputi bertanggung jawab, diikuti hidup sederhana atau bersahaja, dipercaya atau memercayai, dan keadilan.
Responden ingin agar gotong royong, demokrasi, dan hak asasi manusia terjaga. Nilai pribadi individu yang diharapkan selalu hadir melingkupi adil, bertanggung jawab, dan kejujuran.
Mayoritas responden berpandangan, nilai budaya di Indonesia adalah gotong royong, birokrasi berbelit-belit, mematuhi norma agama, korupsi, keberagaman, diskriminasi, dan hak asasi manusia. Responden berharap tumbuhnya nilai budaya keadilan, keadilan sosial, hak asasi manusia, gotong royong, demokrasi, dan kejujuran.
”Responden ingin agar gotong royong, demokrasi, dan hak asasi manusia terjaga. Nilai pribadi individu yang diharapkan selalu hadir melingkupi adil, bertanggung jawab, dan kejujuran,” kata Ketut.
Hasil survei itu menunjukkan, responden memiliki kesadaran untuk tumbuh dalam masyarakat lebih baik, tanpa meninggalkan nilai budaya yang ada. Untuk menjadi masyarakat lebih baik, antarwarga mesti berdialog dan menerima keragaman pandangan, tetapi justru terjadi dialog demi memenangkan kebenaran nilai masing-masing.
Secara terpisah, dalam diskusi daring ”Talk to Scientists: Talenta Perempuan untuk Kemajuan Riset Indonesia”, sejumlah perempuan peneliti menceritakan upaya mereka berkontribusi terhadap sains dan ilmu humaniora di dalam dan luar negeri. Diskusi daring itu untuk memperingati Hari Kartini.
Sebagai contoh, peneliti jender dan politik Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurniawati Hastuti Dewi mengatakan, bagi dirinya, hidup itu harus berkontribusi terhadap masyarakat. Dia yang semula berkutat meneliti otonomi daerah dan desa, lalu mendalami riset jender. Ini bermula dari masukan pengunjung perempuan yang hadir dalam seminar di Makassar dan Kurniawati jadi narasumber.
”Kejadiannya saat kami makan siang. Dia mengatakan hal yang menyentuh, yakni sebagai perempuan peneliti semestinya harus ikut melihat isu-isu perempuan. Pernyataan yang menyentuh itu menjadi titik awal,” ujarnya.
Kurniawati mengakui, kajian jender di Asia Tenggara yang minim dikeluhkan sejak lama. Hal itu jadi peluang bagi Indonesia berkontribusi aktif. Ia telah melakukan berbagai riset seperti topik perspektif jender dalam politik lokal Indonesia. Tahun 2015, dia menginisiasi tim peneliti jender dan politik di LIPI.
Sementara peneliti Bio Industri Laut LIPI Dwi Listyo Rahayu mengatakan, ekspedisi untuk mengeksplorasi keragaman biota laut di Indonesia dimulai pada awal abad ke-19, antara lain Challenger (1872-1876), Siboga (1899-1900), dan Albatross (1909). Ekspedisi tersebut tanpa melibatkan orang Indonesia. Setelah kemerdekaan RI, ekspedisi yang dilakukan menyertakan bangsa Indonesia, seperti ekspedisi Baruna (1964), Alpha Helix (1977), dan Rumphius (1972-1980).
Dari ekspedisi tersebut banyak diperoleh spesies baru, dideskripsikan dan dipublikasikan. Untuk mampu mengenali dan mendeskripsikan, peneliti harus dibekali dengan pengetahuan taksonomi atau sistematik. Dwi ahli di bidang ini. Dia menekuni taksonomi biota laut sejak 1988.
Sejak tahun itu, dia mengaku telah mendeskripsikan 2 genus dan 71 spesies baru kelomang, serta 6 genus dan 76 spesies baru kepiting ke 88 artikel ilmiah yang berhasil terbit, baik di jurnal nasional maupun internasional.
”Di dunia taksonomi, perempuan peneliti kerap dianggap tidak mampu. Saya mengakui medan penelitian sering kali berat, seperti harus berhadapan dengan cuaca tak menentu. Namun, ketika saya berhasil menemukan koleksi biota laut dan memublikasikannya, tantangan berat tersebut terjawab semua,” kata Dwi.