Desakan agar pemerintah menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan terus mengemuka. Caranya dengan sejumlah alternatif pilihan dengan berbagai pertimbangannya masing-masing.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Warga berunjuk rasa di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Selasa (24/11/2020). Warga Kota Surabaya dari sejumlah organisasi masyarakat berunjuk rasa menolak ormas yang radikal. Mereka mengangap ormas tersebut merusak semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan nilai-nilai Pancasila ke dalam pendidikan terus mengemuka. Di masyarakat, kini berkembang opsi agar Pendidikan Pancasila dipisahkan dari struktur Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn, penambahan bobot materi Pancasila dalam PPKn dan mata pelajaran lain, serta kembali ke era Pendidikan Moral Pancasila.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo Pr saat kunjungan ke Menara Kompas, Jakarta, Selasa (20/4/2021), di Jakarta, memandang, dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), nilai-nilai keutamaan Pancasila yang diberikan kepada siswa tidak utuh. Sementara dalam Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sempat terlaksana melalui ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pancasila diajarkan secara utuh.
”PMP mengajarkan mulai dari Pancasila sebagai dasar negara, falsafah, ideologi, kepribadian, dan karakter bangsa,” ujarnya.
Jika tidak disertai kajian, mata pelajaran Pancasila yang terpisah akan tumpang tindih dengan PPKn atau Sejarah yang secara substansi ada irisan materi yang juga memuat narasi tentang Pancasila.
Romo Benny mengklaim, BPIP telah mengusulkan PMP masuk ke dalam kurikulum dan sedang mempersiapkan buku. Pakar pendidikan akan dilibatkan lalu sosialisasi dan pelatihan kepada guru. Usulan ini tidak membuat harus ada guru mata pelajaran baru.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi dan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo berdiskusi bersama Kompas, di kantor Kompas, Jakarta, Selasa (20/4/2021).
”Arahan presiden, harus menunggu revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kalau menunggu revisi terlalu lama, presiden bisa mengeluarkan intruksi,” katanya.
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Sumardiansyah Perdana Kusuma, secara terpisah, mengatakan, dalam konteks muatan kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah, implikasinya selain persoalan hukum, jika Pancasila dimasukkan sebagai muatan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, dikhawatirkan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 Ayat (1) yang hanya memuat Kewarganegaraan. Konteksnya berbeda dengan di perguruan tinggi yang menyatakan ketentuan Pancasila sebagai muatan mata kuliah wajib diatur juga secara terpisah dalam UU Nomor 12 Tahun 2012.
”Wacana penambahan Pancasila, selain Kewarganegaraan, dalam muatan kurikulum untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah secara tidak langsung mengesankan akan ada penambahan mata pelajaran Pancasila di luar mata pelajaran PPKn,” ujarnya.
Dia menyampaikan, kajian tentang perlunya mata pelajaran Pancasila yang terpisah dari PPKn hingga sekarang belum dibuat oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud sebagai pihak yang berwenang.
Jika tidak disertai kajian, mata pelajaran Pancasila yang terpisah akan tumpang tindih dengan PPKn atau Sejarah yang secara substansi ada irisan materi yang juga memuat narasi tentang Pancasila.
Menurut dia, apabila mau memperkuat karakter Pancasila dalam diri siswa, hal yang perlu dijadikan sebagai mata pelajaran wajib adalah Sejarah. Sebab, narasi tentang Pancasila hadir dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Opsi lainnya, Pancasila tetap ditempatkan dalam PPKn dengan opsi penambahan jumlah jam dan muatan materi.
”Melihat muatan Pancasila harus selaras dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Maka, menurut kami, sudah sepatutnya posisi mata pelajaran Sejarah juga diperkuat sebagai muatan wajib, terutama di jenjang menengah atas dan kejuruan dengan jumlah jam yang proporsional,” kata Sumardiansyah.
Kompas/AGUS SUSANTO
Lambang negara Indonesia Garuda Pancasila di Taman Kebhinnekaan di pintu air Kanal Timur di Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (7/7/2018). Pengenalan dan peneguhan kembali nilai-nilai Pancasila serta kebinekaan, kini ditampilkan di ruang publik.
Disiplin keilmuan
Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia Satriwan Salim, secara terpisah, berpendapat, muatan Pendidikan Pancasila secara esensial termuat dalam struktur mata pelajaran PPKn. Ini sudah ada dalam Kurikulum 2013. Secara filosofis dan pedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia berdasarkan dasar negara Pancasila.
”Jika ingin memperkuat nilai-nilai Pancasila, revisi muatan pelajaran PPKn sehingga Pancasila menjadi lebih diarusutamakan,” ujarnya.
Opsi lain memperkuat penanaman nilai Pancasila adalah menjadikannya sebagai mata pelajaran sendiri atau terpisah dari struktur PPKn. Hanya saja, hal itu akan menambah beban mata pelajaran baru bagi siswa.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mural tentang penghormatan perbedaan di sebuah tembok di Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (6/3/2020). Penghargaan terhadap perbedaan ini selaras dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, bahwa perbedaan merupakan keniscayaan yang tumbuh berkembang berdampingan di Indonesia.
Menurut dia, di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), PKn menjadi program studi tersendiri hingga sekarang. Artinya, PKn diakui sebagai disiplin ilmu. Menghadapi wacana pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran terpisah atau berdiri sendiri, kebanyakan guru setuju agar Pendidikan Pancasila dipisahkan dari struktur PPKn sehingga ada dua mata pelajaran baru, bukan kembali ke era Pendidikan Moral Pancasila (PMP) saat Orde Baru.
”PMP lekat dengan doktrinasi. Terlepas dari hal ini, apa pun keputusan pemerintah tetap harus menggandeng dan mendengar pendapat Asosiasi Guru PPKn Indonesia dan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia saat perumusan kebijakan,” kata Satriwan.