Kartini dan Momentum Perkuat Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak
Perkawinan anak adalah isu yang disuarakan sejak jaman RA Kartini yang masih terus terjadi hingga kini. Perlu ada gerakan bersama mencegah perkawinan anak demi melindungi masa depan generasi bangsa, terutama perempuan.
JAKARTA, KOMPAS — Perjuangan Kartini lebih dari satu abad yang lalu untuk membebaskan perempuan dari segala bentuk ketidakadilan agar perempuan bisa memilih dan menentukan masa depan. Karena itu, Peringatan Hari Kartini 2021 hendaknya menjadi momentum untuk melanjutkan perjuangan Kartini, dengan memperkuat gerakan pencegahan perkawinan anak.
Upaya perlindungan terhadap anak perempuan agar tidak menjadi korban perkawinan anak, semestinya jauh lebih kuat dibandingkan zaman Kartini yang dalam belenggu penjajahan dan feodalisme. Sebab, kemerdekaan, kebebasan berekrespresi yang didukung dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, seharusnya bisa melampaui perjuangan Kartini.
”Kartini telah merintis sekolah untuk anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa, agar mereka mendapat pendidikan yang membawa perubahan cara berpikir menjadi lebih kritis sehingga kelak menjadi individu perempuan yang otonom menentukan hidupnya,” kata Misiyah, Direktur Lingkaran Pendidikan Alternatif (Kapal) Perempuan, di Jakarta, Selasa (20/4/2021).
Keistimewaan perjuangan Kartini, lanjut Misiyah, terletak pada perlawanannya terhadap penjajahan atas tubuh perempuan yang saat itu dilakukan melalui pingitan, perkawinan, dan perjodohan paksa. Semangat itu hendaknya menjadi energi besar bagi generasi saat ini untuk begerak nyata menghentikan perkawinan anak di mana pun dan kapan pun.
Baca juga: Perkawinan Anak, Potret Buram pada Masa Pandemi
Oleh karena itu, selain menggerakkan perempuan akar rumput di sekolah perempuan untuk mencegah perkawinan anak, selama beberapa tahun terakhir Kapal Perempuan juga mendorong perempuan kepala desa serta pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan terkait pencegahan perkawinan anak.
Kartini telah merintis sekolah untuk anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa agar mereka mendapat pendidikan yang membawa perubahan cara berpikir menjadi lebih kritis.
Pada masa pandemi Covid-19, kampanye stop perkawinan juga digencarkan melalui Radio Perempuan-Darurat Siaga Covid-19 di wilayah kepulauan dan pegunungan terpencil, yakni di Pulau Sabutung, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Sulawesi Selatan) dan Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara (Nusa Tenggara Barat).
Berbagai regulasi
Pencegahan perkawinan anak sebenarnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah, dengan menerbitkan sejumlah regulasi dan kebijakan. Pada akhir 2019, melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun dinaikkan jadi 19 tahun (sama dengan usia laki-laki).
Pada awal 2020, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak yang menjadi panduan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai tingkat pemerintah desa.
Baca juga: Kartini dan Feminisme di Indonesia
Melihat kasus perkawinan anak yang terus terjadi, pada Januari 2020, Menteri PPPA juga meluncurkan kembali Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak yang diinisiasi Kementerian PPPA sejak Tahun 2017.
”Pencegahan Perkawinan Anak merupakan satu dari lima arahan Presiden yang hingga tahun 2024 akan menjadi agenda utama Kementerian PPPA. Isu ini harus dijawab dan direspons cepat oleh kita semua sebagai bentuk ”negara hadir”. Untuk itu, berbagai kebijakan, program dan kegiatan konkret yang telah dirintis, akan terus kita pertajam,” kata Bintang Darmawati.
Baca juga: Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Selain menggandeng berbagai lembaga/organisasi serta organisasi masyarakat sipil, Kementerian PPPA mengajak organisasi keagamaan untuk bersama-sama mencegah perkawinan anak. Pertengahan Maret 2092 bersama Majelis Ulama Indonesia, Kementerian PPPA mendeklarasikan Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan.
”Melalui Forum Anak kami melibatkan anak-anak dalam pencegahan perkawinan anak, dengan mendorong anak-anak menjadi pelopor dan pelapor atau P2P,” ujar Bintang yang pekan lalu menggelar dialog dengan forum anak terkait pencegahan perkawinan anak.
Di tingkat daerah, berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah daerah terkait pencegahan perkawinan anak. Pada 2014, misalnya, Gubernur NTB saat itu Muhammad Zainul Majdi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan.
Surat edaran itu merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun. Pada akhir 2021, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah NTB mengesahkan Perda tentang Pencegahan dan Perkawinan Anak.
Di tingkat kabupaten, juga diterbitkan Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak. Begitu juga di Lombok Barat memiliki Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pendewasaan Usia Pernikahan.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur Muhammad Juani Taufik Sabtu (17/4/2021) mengatakan selain perda, saat ini ada 257 desa dari 499 desa di Lombok Timur yang memiliki Peraturan Desa tentang Penundaan Perkawinan Usia Anak. Meski baru disahkan, Perda itu telah mulai memperlihatkan dampak. Sejumlah kepala dusun sebagai pemegang kunci tidak berani menikahkan anak di kampungnya, sebaliknya melakukan upaya belas atau memisahkan mereka.
Baca juga: Profil RA Kartini
Gerakan mencegah perkawinan anak juga dilakukan forum anak nasional maupun daerah. ”Kami melakukan berbagai kampanye bahaya perkawinan anak lewat media sosial yang kami namain ’Time to Know’,” ujar Tristania Faisa Adam, Ketua Forum Anak Nasional.
Di desa, Forum Anak Pandawa di Desa Pandan Wangi, Kecamatan Jerowaru, NTB juga gencar mencegah perkawinan anak. Ketua Forum Anak Pandawa Cindy Purnama Putri (16) mengatakan, sepanjang 2020 setidaknya mereka telah menangani 13 kasus pencegahan perkawinan salah satunya lewat pembelasan atau memisahkan pasangan anak yang menikah.
Dalam melaksanakan pembelasan, Forum Anak Pandawa bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari kepala dusun, desa, tokoh masyarakat, kepolisian, hingga dinas terkait. ”Kami bertemu dengan anak-anak yang akan menikah. Lalu, kami jelaskan berbagai hal, termasuk dampaknya. Itu berhasil membuat mereka mau membatalkan rencana menikah. Sementara dari pihak orangtua, pendekatan dilakukan oleh kader dan pihak terkait,” tutur Cindy.
Batasi dispensasi nikah
Melihat besarnya dampak perkawinan anak, Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah DKI Jakarta Anna Surti Ariani di Jakarta mendesak agar pemerintah lebih tegas dalam mengatur perkawinan anak. Dispensasi nikah perlu dibatasi, salah satunya dengan menerapkan denda bagi mereka yang mengajukan dispensasi nikah.
Selain itu, komunitas atau lingkungan remaja perlu diberdayakan hingga mampu menampung dan mewadahi remaja dengan berbagai kegiatan yag positif. Berbagai aktivitas positif itu bisa membantu mengubah pola pikir remaja hingga mereka tidak lagi menganggap perkawinan sebagai satu-satunya solusi atas persoalan kehidupan yang dihadapi remaja.
”Biarkan anak memiliki cita-cita setinggi-tingginya terlebih dahulu, mengenal luasnya pergaulan dan dunia, serta berkenalan dengan berbagai lingkungan hingga mereka tidak buru-buru menikah,” katanya.
Kelompok orangtua juga perlu diberdayakan hingga mereka mampu membangun rumah tangga yang lebih baik bagi tumbuh kembang anak remaja mereka. Banyak anak remaja menjadikan perkawinan sebagai sarana keluar dari rumah orangtua yang dianggap tidak nyaman. Berjalannya fungsi keluarga dengan baik bisa turut menekan jumlah perkawinan anak yang meningkat akibat pandemi.
Pendidikan seksualitas
Executive Director Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti menilai pentingnya pendidikan seksualitas, khususnya di ranah formal/satuan pendidikan. ”Kita harus mengakui pentingnya pendidikan seksualitas bagi anak-anak dan remaja kita. Kita harus mengakui bahwa pendidikan seksualitas itu perlu. Kita mungkin bisa berbicara panjang mengenai pernikahan usia anak, tetapi kita tidak bisa terus-terusan membohongi diri kita bahwa seks bebas (di luar pernikahan) di kalangan anak ataupun remaja itu tidak ada,” kata Dini.
Baca juga: Perlu Kolaborasi untuk Memutus Rantai Perkawinan Anak
Education Officer United Nations Children’s Fund Indonesia Country Office (Unicef Indonesia) Anissa Elok Budiyani, secara terpisah, mengatakan, pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang komprehensif terbukti dapat meningkatkan keterampilan remaja dalam mengambil keputusan yang lebih didasarkan informasi serta meminimalisasi perilaku berisiko, termasuk mencegah pernikahan usia anak.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo juga sependapat bahwa pendidikan seksualitas perlu diajarkan sesuai usia ataupun perkembangan anak, sesuai rekomendasi global, seperti ITGSE. Selain guru di sekolah ataupun orangtua, anak pun belum semuanya nyaman membicarakan pendidikan seksualitas.
”Anak mesti ditumbuhkan rasa percaya diri untuk membicarakan kegundahan ataupun keingintahuannya tentang perkembangan seksualitas pada orang dewasa terdekat mereka. Meyakinkan anak bahwa kelas atau rumah merupakan ruang nyaman yang harus terus diupayakan guru dan orangtua,” kata Henny. (ISMAIL ZAKARIA/M ZAID WAHYUDI/MEDIANA/SONYA HELLEN SINOMBOR)