Film-film Memerangi Perkawinan Anak
Melalui sejumlah film, penyadaran akan bahaya dan risiko perkawinan anak diperkenalkan. Tampilan audiovisual yang menceritakan kehidupan sehari-hari itu membantu membuka mata masyarakat untuk memberi masa depan anak.
Siti masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas ketika dia menikah dengan kakak kelasnya, Wira yang duduk ke kelas 2 SMA di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Selain karena cinta, Wira menikahi Siti juga karena ingin membuktikan sekaligus memenangi taruhan dengan temannya jika ia berani menikah.
Setelah menikah, mereka tinggal berdua di sebuah rumah sederhana. Beberapa bulan kemudian, Siti hamil, sementara Wira menganggur. Siti kemudian menopang ekonomi keluarga dengan mencuci pakaian tetangga.
Sikap Wira pun berubah dan menjadi ringan tangan. Ia bahkan kerap memukuli Siti yang sedang hamil besar. Siti hampir setiap hari menangis.
Film ini dibuat karena saat kenaikan ke kelas III, jumlah siswanya selalu berkurang karena berhenti sekolah.
Karena tak punya pekerjaan tetap, Wira kemudian bergabung dengan sindikat pencuri kendaraan bermotor (curanmor). Hasil mencuri tidak ia gunakan untuk keluarganya, tetapi berkencan dengan perempuan lain.
Saat Siti melahirkan, Wira tidak mendampinginya, malah berkelahi dengan sindikat curanmor. Siti melahirkan anaknya dibantu tetangga. Setelah Siti melahirkan, Wira tidak pernah pulang dan menghilang.
Kisah perkawinan anak tersebut merupakan film berjudul Salaq Kejarian karya sutradara Imam Pratama (43), yang diperankan Krismonita Deriseptian (Siti) dan Ali Akbar (Wira). Film yang diproduksi Pratama Pictures merupakan inisiatif Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
Film berdurasi hampir 45 menit itu bisa disaksikan di platform Youtube dan laman filmlombok.com. Sejak penayangan perdananya pada 20 Mei 2017 lalu, film yang mengambil latar Lombok Utara itu telah ditonton hampir 200.000 kali.
”Film tentu saja bukan satu-satunya pilihan, melainkan setidaknya ada upaya dan itu penting. Salah satunya yang bisa saya lakukan adalah lewat film,” ujar Imam Pratama.
Baca juga: Hentikan Perkawinan Usia Anak
Baca juga: Jalan Keprihatinan Perkawinan Anak
Baca juga: Mengapa Pernikahan di Usia Anak Ditentang?
Imam, yang pernah mengajar di SMPN 3 Kayangan, mengatakan, film ini dibuat karena saat kenaikan ke kelas III, jumlah siswanya selalu berkurang karena berhenti sekolah. Saat kunjungan belajar, ia pun menemukan siswanya yang dulu menikah tengah menggendong anak.
”Mereka berhenti sekolah bukan karena tidak mampu secara ekonomi, melainkan memilih menikah dengan kekasihnya yang juga tidak jauh umurnya dengan mereka. Ada juga siswanya yang kelas tiga berhenti sekolah karena dilarikan (menikah cara Sasak) atau dipinang kekasihnya,” ujar Imam.
Film tersebut mendapat perhatian karena menggunakan bahasa Sasak, bahasa daerah setempat. ”Ketika film ini menggunakan bahasa daerah, saya meyakini masyarakat, khususnya Lombok Utara, akan merasa diwakili, diapresiasi, diperhatikan, dan mereka akan bangga hingga kemudian mereka akan menyukai film ini,” kata Imam.
Penggunaan bahasa Sasak ternyata mendapat respons positif. Selain tingginya jumlah penonton untuk film-film tersebut, komentar yang mereka terima juga bagus.
”Saya mendapat respons yang sangat positif. Banyak yang menanyakan kelanjutan film itu karena akhir cerita itu saya menggantung kisah Wira. Banyak yang ingin saya lanjutkan film itu. Tetapi, saya terkendala biaya produksi cukup besar,” kata Imam.
Salaq Kejarian bukan satu-satunya film yang mengangkat cerita perkawinan anak di Lombok. Ada banyak film dengan tema serupa dari berbagai wilayah di Pulau Lombok. Baik yang diproduksi dengan dukungan pemerintah daerah atau lembaga terkait, juga yang produksi mandiri.
Pada 2018, Forum Pemuda Peduli Pendewasaan Usia Perkawinan (FPP PUP) Desa Kekait, Gunung Sari, Lombok Barat, di bawah binaan Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) dan didukung Oxfam-Pemerintah Desa Kekait memproduksi film berjudul Masak Odaq (matang muda) karya Rizal Ceper.
Masak Odaq mengisahkan pernikahan antara Jamilah (16) yang masih kelas I SMA dengan Ismail (28). Tetapi seperti kisah dalam Salaq Kejarian, pernikahan itu tidak berjalan mulus.
Jamilah yang masih anak-anak kerap dimarahi ibu mertua. Juga dipukuli suaminya yang ternyata anggota jaringan perdagangan orang. Jamilah bahkan akan dikirim suaminya itu ke Arab Saudi. Namun, Jamilah menolak dan membuatnya menjadi bulan-bulanan suaminya. Film ini diakhiri perceraian keduanya.
Baca juga: Ketika Film Jadi Sarana Kampanye Stop Perkawinan Anak
Di Lombok Tengah, ada juga film tentang perkawinan anak berjudul Merariq Kodeq (Menikah Dini) karya Rahwadi, sutradara muda asal Lombok. Film berdurasi sekitar 11 menit diproduksi Pinaqfilms Community didukung lembaga Gugah Nurani Indonesia, mengisahkan perkawinan usia anak antara Amiruddin dan Ika yang masih duduk di bangku SMA.
”Lewat film ini, saya ingin bercerita bagaimana dampak ketika putus sekolah dan memilih menikah dini. Keluarga yang terbentuk akan prematur karena belum siap secara mental ataupun pengetahuan tentang berumah tangga,” kata Rahwadi.
Jika mencari dengan kata kunci Merariq Kodeq di Youtube, misalnya, ada belasan film yang bisa ditemukan. Film-film itu juga sudah ditonton hingga ratusan ribu kali.
Suara Kirana
Tidak hanya di Lombok, film kampanye stop perkawinan anak juga dibuat sejumlah lembaga/organisasi masyarakat sipil. Pada tahun 2019, Yayasan Plan International Indonesia (PII) juga memproduksi film pendek bertema stop perkawinan anak bagi kaum remaja Indonesia, berjudul Suara Kirana. Film yang mengangkat kisah Kirana, remaja putri yang kandas cita-citanya karena menikah di usia anak, yang dibintangi Laras Sardi, Jourdy Pranata, dan Dhea Seto.
Baca juga: ”Suara Kirana”, Film yang Mengusung Kampanye Stop Perkawinan Anak
Film berdurasi 30 menit yang diluncurkan 9 Oktober 2020 dapat ditonton di kanal Plan Indonesia Official Channel (Youtube.com/PlanIndonesiaOfficialChannel). Film Suara Kirana dinilai sangat penting untuk membuka ruang diskusi bagi remaja terkait isu perkawinan anak, misalnya soal keputusan menikah pada usia anak dan dampak buruknya, terutama bagi anak perempuan
”Kami ingin remaja di seluruh Indonesia bisa menikmati film ini dengan membawa pulang pesan bahwa perkawinan usia anak akan merugikan mereka di masa depan,” ujar Evi Cecilia, produser Suara Kirana, beberapa waktu lalu.
Dalam rangka Kampanye Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (PKTA) pada tahun 2018, Wahana Visi Indonesia (WVI) juga meluncurkan film pendek terkait pencegahan perkawinan anak, yang berjudul ”Sari”. Film yang dibuat oleh anak-anak yang didampingi WVI tersebut mengangkat kisah Sari, siswa SMP yang berprestasi tetapi harus berhenti sekolah, dan menikah, karena dihamili pacarnya. Keputusan menikah justru membuat dia jauh dari cita-citanya.
Film menjadi salah satu media yang efektif untuk mencegah perkawinan anak. Film-film tersebut juga muncul dari berbagai daerah dengan latar belakang kondisi yang sama.
Sejumlah film ini muncul dengan latar keprihatinan yang sama. Melalui film, ada harapan agar praktik perkawinan anak tak lagi terjadi.
Baca juga: Perkawinan Anak Tingkatkan Risiko Penyakit dan Kematian
Baca juga: Perkawinan Anak Rentan Lahirkan Permasalahan Baru
Baca juga: Rentetan Panjang Dampak Perkawinan Anak