Perkawinan Anak Rentan Lahirkan Permasalahan Baru
Beberapa menilai bahwa menikah dini bisa menjadi solusi agar terlepas dari belenggu kemiskinan. Namun,tidak ada yang bisa menjamin hal demikian. Sebaliknya, banyak pasangan belia gagal membangun rumah tangga.
Menikah muda dianggap bisa menjadi jalan keluar untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Namun, kenyataannya kadang justru jauh dari harapan.
Ketidaksiapan akan berbagai hal mengantarkan para pasangan muda pada situasi yang menyulitkan mereka, salah satunya persoalan ekonomi. Masalah ekonomi banyak memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, ada pula yang terjerumus dalam perdagangan manusia karena iming-iming gaji besar.
Pekerja migran asal Karawang, Carminah (50), awalnya berat hati merelakan anak perempuan keduanya menikah dini pada usia 15 tahun. Kala itu, kondisi keuangan keluarganya memang tidak baik.
Anaknya tidak melanjutkan sekolah dan memilih menikah. Carminah sendiri bekerja sebagai asisten rumah tangga, sementara suaminya bekerja serabutan yang tengah sakit batuk berdarah.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya obat suami, dia pun berangkat ke Arab Saudi dan Oman sebagai pekerja migran. Ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang saat itu masih kecil untuk diurus suaminya.
Tentu tak mudah berjarak dengan keempat anaknya. Keputusan putrinya untuk menikah dini dianggap dia sebagai buah dari kurangnya perhatian akibat sibuk bekerja dan keterbatasan biaya.
Kami tidak bisa menolak meski berat (merelakan). Tapi keadaannya begini, kami tidak bisa mencukupi secara ekonomi. Semoga dia bisa lebih mandiri dan tercukupi setelah menikah. (Carminah)
”Kami tidak bisa menolak meski berat (merelakan). Tapi keadaannya begini, kami tidak bisa mencukupi secara ekonomi. Semoga dia bisa lebih mandiri dan tercukupi setelah menikah,” ucapnya.
Carminah masih memiliki satu anak perempuan yang duduk di kelas VII SMP. Dia berharap bisa terus membiayai kebutuhan putrinya hingga lulus SMK sehingga anaknya bisa sukses di kemudian hari. Dia tidak ingin putri ketiganya mengulang pengalaman kakaknya yang menikah dini. Saat ini, Carminah memilih bekerja di Indonesia agar bisa terus mengawasi keluarganya.
”Semoga putri saya bisa sekolah tinggi dan dapat penghidupan yang lebih baik dari saya,” ujar Carminah.
Baca juga: Muda Menikah Rawan Mengundang Mara
Pekerja migran
Ketua Pelaksana Harian Yayasan Salman Karawang, organisasi yang melayani kemanusiaan, Wiharti Ade Permana, mengatakan, praktik perkawinan anak terkadang diketahui saat ada kasus pekerja migran yang muncul ke permukaan. Misalnya, para pekerja migran dulunya merupakan korban perkawinan anak atau anak perempuan dari pekerja migran yang nikah muda.
Menurut Wiharti, ada beberapa faktor yang menyebabkan perkawinan anak terjadi, yakni budaya, sosial, dan ekonomi. Pola pikir masyarakat terhadap konsep menikah harus diluruskan. Semestinya, masyarakat berpegang, menikahlah ketika semua siap karena ketidaksiapan pada salah satu faktor bisa memicu munculnya persoalan lain dalam rumah tangga.
Ia mencontohkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berpotensi muncul karena faktor ekonomi yang belum matang. Penelantaran ekonomi karena ketergantungan pada salah satu pasangan dan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga memicu permasalahan kian panjang.
Apabila terjadi KDRT atau terdesaknya kebutuhan, korban atau salah satunya, terutama perempuan akan mencari peluang lain untuk keluar dari masalah. Tak sedikit warga yang tertarik dengan iming-iming gaji besar untuk bekerja di luar negeri.
Akan tetapi, ketidaktahuan mereka dalam mencari informasi sponsor atau agen rentan mengantar mereka pada langkah yang salah. Alih-alih mendapatkan duit, mereka justru tertimpa masalah lain, seperti tidak mendapatkan upah atau disiksa majikan.
Anak-anak pekerja migran yang ditinggal bekerja oleh salah satu orangtuanya rentan mendapatkan pengasuhan kurang baik, putus sekolah, hingga terlibat pergaulan bebas. Kurangnya pengawasan dan perhatian bisa mengantar mereka pada perkawinan anak.
Ditambah pola pikir bahwa menikah dianggap membebaskan mereka dari berbagai beban, terutama masalah ekonomi keluarga. Kondisi ini bagaikan lingkaran setan yang tidak ada ujungnya, mereka berpotensi mengulang situasi yang sama.
Wiharti berharap pemerintah mendorong kebijakan untuk memberikan akses dan kemudahan bagi anak perempuan agar bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sejauh ini, sosialisasi perihal perkawinan anak belum dilakukan secara khusus oleh pihaknya. Biasanya, materi tersebut disampaikan sebagai salah satu penyebab kasus perdagangan manusia.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Karawang pada kurun 2019 hingga 2020 jumlah kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat, tahun 2019 ada 15 kasus kekerasan terhadap perempuan, 47 kasus kekerasan terhadap anak, dan 3 kasus perdagangan manusia. Tahun 2020, kekerasan terhadap perempuan ada 28 kasus, kekerasan terhadap anak 48 kasus, dan 1 kasus perdagangan manusia.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kabupaten Karawang Amid Mulyana mengatakan, tren peningkatan jumlah bukan berarti menggambarkan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi. Hal itu justru menandakan mereka berani bersuara. Menurut dia, persoalan kekerasan pada perempuan dan anak bagaikan feomena gunung es. Ia meyakini masih banyak kasus yang belum terekspos karena mereka takut bersuara.
Mereka yang mengalami KDRT rata-rata merupakan pasangan muda di bawah usia 30 tahun. Banyak faktor yang menjadi pemicu, salah satunya adalah ekonomi. Beberapa menilai bahwa menikah dini bisa menjadi solusi untuk terlepas dari belenggu kemiskinan. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin hal demikian.
Sejak tahun 2017, Dinas P3A Karawang membentuk Forum Anak Singaperbangsa di setiap kecamatan. Anggotanya adalah para remaja berumur minimal 15 tahun yang akan menjadi pelopor dan pelapor terkait kasus kekerasan, pelecehan anak, dan perempuan. Kegiatan ini diharapkan bisa memberikan aktivitas positif bagi remaja, harapannya, mampu mencegah mereka terjerumus pada pernikahan dini, pergaulan bebas, dan obat-obatan terlarang.
Baca juga: Seandainya Waktu Bisa Diputar Ulang...
Untuk memudahkan layanan pengaduan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Karawang bakal meluncurkan aplikasi Sipelapor pada akhir tahun 2021. Semula ditargetkan selesai pada awal 2020. Akan tetapi, pengembangannya sempat tertunda karena pandemi. Sipelapor menjadi langkah awal bagi para korban untuk melaporkan pengaduan, kemudian ditindaklanjuti dengan mendatangi lokasi korban kekerasan dengan membawa tenaga ahli.