Kelas Intensif Ramadhan menjadi saluran baru berbasis teknologi bagi perempuan ulama untuk menyampaikan pemikiran dan pandangannya kepada para santri. Di era sekarang, mengaji tidak lagi bergantung pada waktu dan tempat.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·2 menit baca
Tradisi pengembaraan ulama mencari ilmu sudah ada sejak awal perkembangan Islam. Kehadiran perempuan ulama meninggalkan jejaknya di Nusantara sejak abad ke-19. Pandemi Covid-19 membuka bentuk pengembaraan baru perempuan ulama yang tidak bergantung pada ruang dan waktu.
Tradisi pengembaraan ilmu itu bertemu dengan tradisi Islam Nusantara. Pada bulan Ramadhan, dikenal istilah ngaji pasaran, yaitu kesempatan bagi para santri bebas memilih mempelajari hingga tamat kitab yang menarik minatnya dengan bimbingan ulama di pondok, di dalamnya termasuk perempuan ulama sejalan dengan terdapatnya pondok pesantren yang dipimpin perempuan ulama.
Dalam pembukaan menngaji secara daring Kelas Intensif Ramadhan 1442 Hijriah 20 Hari Bersama 20 Ulama Perempuan Nusantara, Jumat (16/4/2021), Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia Hj Badriyah Fayumi mengatakan, kelas intensif Ramadhan menjadi saluran baru berbasis teknologi bagi perempuan ulama untuk menyampaikan pemikiran dan pandangannya kepada para santri. Teknologi internet membantu perempuan ulama tidak bergantung waktu dan tempat.
Ke-20 perempuan ulama yang akan mengisi Kelas Intensif Ramadhan selama 20 hari secara daring, antara lain, pengasuh pesantren, rektor, dan kepala pusat studi kajian Islam. Kelas mengaji ini diselenggarakan oleh Rahima, Fahmina, dan Mubadala.
Peminat mengaji Kelas Intensif Ramadhan terdaftar 700 orang dari sejumlah daerah. Kitab yang dibahas adalah Manbau’ssa’adah karya Dr Faqihuddin Abdul Kodir dengan topik hubungan kesalingan dalam membangun keluarga. Faqihuddin menulis buku itu pada 2010 berdasarkan hasil kajian ulang bersama Kitab Kuning yang diketuai HJ Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Kitab Kuning adalah kitab yang biasa diajarkan di pesantren.
Menurut Faqihuddin, kitab Manbau’ssa’adah membahas hubungan dalam keluarga, terutama relasi suami-istri dalam kesalingan atau kesetaraan dengan penekanan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia. Karena itu, harkat istri dan suami harus dihargai berdasarkan kemanusiaannya, bukan jenis kelaminnya.
Pada masyarakat yang masih kuat unsur patriarkinya, langkah perempuan sering dihambat dengan menggunakan alasan-alasan non-kodrati.(Hj Badriyah Fayumi)
Badriyah, yang juga Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengatakan, pada masyarakat yang masih kuat unsur patriarkinya, langkah perempuan sering dihambat dengan menggunakan alasan-alasan non-kodrati.
Hal kodrati yang membedakan perempuan dan laki-laki adalah alat dan fungsi reproduksi masing-masing. Di luar yang kodrati, perempuan dan laki-laki dapat sama-sama melakukannya sepanjang mendapat akses yang sama.