Pemerintah Revisi PP, Pancasila dan Bahasa Indonesia Masuk Kurikulum
Pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021. Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia dipastikan tetap ada.
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan siap mengajukan revisi Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Keputusan ini diambil setelah munculnya banyak kritik yang menyebut PP tersebut tidak merujuk pada prinsip lex specialis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menggunakan tiga dasar regulasi . Pertama, pasal 5 ayat (21) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketiga, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam UU No. 20/2003 pasal 37 ayat (1), kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Keterampilan/Kejuruan, dan Muatan Lokal. Kemudian, dalam pasal 37 ayat (2) UU No. 20/2003 tertulis, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa.
Sementara pada Pasal 35 Ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.
Adapun Pasal 40 Ayat (2) PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Pendidikan Nasional tertulis, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Keterampilan/Kejuruan, dan Muatan Lokal. Pasal 40 Ayat (3) PP No. 57/2021 tertulis, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam pernyataan resmi, Jumat (16/4/2021) mengapresiasi masukan dari berbagai elemen masyarakat. Menurut Nadiem, PP No. 57/2021 sebenarnya sudah disusun dengan merujuk ke UU No. 20/2003 dan substansi kurikulum wajib tertulis persis sesuai UU itu.
Kami tegaskan kembali bahwa Pancasila dan Bahasa Indonesia memang selalu ada dan akan tetap diwajibkan dalam kurikulum.(Nadiem Makarim)
"Pengaturan kurikulum wajib pendidikan tinggi telah diatur di UU No. 12/2012 dan kami menyadari perlu dipertegas. Kami tegaskan kembali bahwa Pancasila dan Bahasa Indonesia memang selalu ada dan akan tetap diwajibkan dalam kurikulum. Untuk mencegah kesalahpahaman berlanjut lebih jauh, kami akan ajukan revisi PP No. 57/2021," ujar Nadiem.
Dia menyampaikan, pengajuan revisi PP No. 57/2021 merujuk kepada tiga konsideran regulasi yang sudah tertuang dalam PP. Kemendikbud mengucapkan terima kasih atas atensi masyarakat dan mohon restu agar harmonisasi PP di level kementerian/lembaga bisa berjalan lancar dan segera selesai.
Baca juga: Pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia Tak Wajib, Peraturan Pemerintah Diusulkan Dicabut
Kepala Bidang Advokasi dan Kerja Sama Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Diasma Sandi Swandaru, secara terpisah, mengatakan, saat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih berlaku, isi kurikulum semua jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Lalu, pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Pancasila dihapus sebagai mata kuliah/pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sebagai gantinya, Pendidikan Pancasila "dititipkan" pada Pendidikan Kewarganegaraan.
Untuk perguruan tinggi di Yogyakarta secara umum, seperti UGM, institusinya tetap mengadakan Pancasila sebagai mata kuliah wajib di semua fakultas. Menurut dia, hal itu menjadi komitmen kampus masing-masing untuk menjaga dan melestarikan Pancasila melalui pendidikan tersendiri.
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudiah pecah. Pendidikan tinggi diatur tersendiri melalui UU No. 12/2012. Dalam UU No. 12/2012 tertulis, Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia menjadi mata kuliah wajib. Maka, semua kampus kembali mengajarkan Pancasila secara mandiri, tidak "dititipkan" ke mata kuliah Kewarganegaraan.
"PP No. 57/2021 seharusnya mengikuti UU No. 12/2012 karena telah meletakkan UU itu sebagai dasar mengingat penyusunan PP. Dalam konteks hukum, hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum atau lex specialis derogat legi generali. Penyusun sejak awal berarti tidak melakukan singkronisasi peraturan perundang-undangan dengan baik," ujar dia.
Ketua Umum Asosiasi Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Unro mengatakan, di jenjang pendidikan tinggi, Pancasila secara tegas dipisahkan dari mata kuliah Kewarganegaraan. Payung hukumnya berupa UU No. 12/2012. Konsekuensinya sampai sekarang, kedua mata kuliah wajib itu diampu oleh dosen yang berbeda.
Menurut Unro, mengembalikan mata kuliah Pancasila sebagai mata kuliah wajib tidak cukup dengan siaran pers kementerian, pemerintah harus konkrit mau revisi PP No. 57/2021. Dia berpendapat, sebagai negara hukum, segala sesuatunya harus nyata sesuai kaidah hukum, tidak bisa hanya lewat pernyataan.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai sudah tepat bila akhirnya pemerintah (Kemendikbud) berkomitmen mau mengajukan revisi PP No. 57/2021. Kedua UU yang dijadikan dasar pengingat PP No 57/2021 bukan bertentangan, tetapi UU No. 12/2012 mengatur lebih khusus dan jauh lebih belakangan. Maka, PP No. 57/2021 harus mengikuti UU yang lebih khusus.
Ketua Pengurus Harian Forum Rektor Penguat Bangsa, Karomani, dalam siaran pers, mengingatkan, Pendidikan Pancasila yang termuat dalam kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi berkaitan erat dengan nilai-nilai kebangsaan, persatuan nasional, dan cinta tanah air. Oleh karena itu, Pendidikan Pancasila harus dituangkan dalam kurikulum nasional untuk meneguhkan karakter kebangsaan, persatuan nasional, dan cinta tanah air.
"Sebab, akhir-akhir ini, tantangan radikalisme dan kurangnya pemahaman terhadap Pancasila terus mencuat," kata dia.
Guru Besar Emeritus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan berpendapat, apabila pemerintah mengambil opsi nilai-nilai Pancasila dikejawantahkan seluruh mata kuliah ataupun mata pelajaran, mulai dari standar kompetensi lulusan (SKL) juga semestinya tercantum Pancasila. Dia mengistilahkan "ada hitam putih".
"Sudah benar apabila PP No. 57/2021 mau dikaji ulang. Selain menyangkut pendidikan Pancasila dan Bahasa Indonesia, masih ada konten lain dalam PP itu yang butuh diperjelas. Misalnya, ketidakjelasan peran pengawas sekolah," ujar dia.
Berganti-ganti
Lebih jauh mengenai jenjang pendidikan dasar dan menengah, Unro menambahkan, selama ini sudah berkali-kali terjadi perubahan nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ataupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sejak tahun 1957 hingga 2013.
Tahun 2013, muncul Kurikulum 2013. UU No. 20/2003 tetap terpakai. Peraturan tentang Kurikulum 2013 menyebutkan nama mata pelajaran PPKn, meskipun di UU No. 20/2003 hanya menyebutkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Menurut Unro, materi yang diajarkan dalam PPKn sudah cukup komprehensif. Di jenjang sekolah menengah atas, misalnya, materi melingkupi hak asasi manusia, demokrasi, persatuan dan kesatuan, norma hukum, kebutuhan warga negara, kekuasaan dan politik, serta Pancasila.
"Apabila pemerintah mau tegas, seperti wajib ada PPKn, regulasi harus tegas pula mulai dari peraturan perundang-undangan sampai peraturan menteri harus tercantum "PPKn"," ujar Unro.
Kepala Bidang Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Fauzi Abdillah memandang, muatan pendidikan Pancasila secara esensial termuat di dalam struktur mata pelajaran PPKn, seperti amanah dalam Kurikulum 2013. Secara filosofis dan pedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan khususnya, tetap berdasarkan dasar negara Pancasila, bukan ideologi lain. Namun, substansi nilai-nilai Pancasila dalam mata pelajaran PPKn belum maksimal diarusutamakan.
"Jika Pendidikan Pancasila mau dijadikan mata pelajaran tersendiri, atau terpisah dari struktur PPKn, siswa di setiap jenjang sekolah akan mengalami penambahan beban mata pelajaran," tutur dia.
Baca juga: Wacana Pendidikan Pancasila Jadi Pelajaran Khusus Kembali Mengemuka
Konsekuensi lainnya, ideologisasi Pancasila melalui mata pelajaran yang berdiri sendiri di sekolah berpotensi mengembalikan memori kurikulum sekolah di zaman Orde Baru. Ketika struktur kurikulum menjadikan mata pelajaran PMP sebagai pelajaran wajib, tetapi isinya hanya doktrinasi dan anti-dialog.