Dampak Pandemi, Perlu 135 Tahun untuk Mencapai Kesetaraan Jender
Pandemi Covid-19 yang berdampak lebih parah pada perempuan dibandingkan laki-laki menyebabkan penutupan kesenjangan jender global meningkat satu generasi, dari 99,5 tahun menjadi 135,6 tahun.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Krisis kesehatan dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 berdampak lebih parah pada perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan menghadapi tantangan yang tak terduga dan semakin meningkat di pasar tenaga kerja, di garis depan, dan di rumah.
Penguncian wilayah dan otomasi yang dipercepat oleh pandemi membuat lebih banyak perempuan kehilangan pekerjaan daripada laki-laki. Penutupan sekolah dan ketersediaan layanan perawatan yang terbatas membuat banyak perempuan harus menjalani kerja ganda lebih lama, bekerja (berbayar) dana melakukan pekerjaan perawatan rumah yang tidak berbayar.
Kondisi ini menghentikan kemajuan menuju kesetaraan jender di bidang ekonomi dan industri, dan menyumbang penurunan kesetaraan jender global. Laporan Kesenjangan Jender 2021 oleh Forum Ekonomi Dunia yang dipublikasi pada 30 Maret 2021 menunjukkan, tingkat kesetaraan jender global menurun dari 68,6 persen menjadi 68 persen.
Jika sebelumnya perlu 99,5 tahun untuk menutup kesenjangan jender global, kini waktu yang dibutuhkan mencapai 135,5 tahun.
Penurunan tingkat kesetaraan jender sebesar 0,6 persen tersebut membuat kesenjangan jender global meningkat satu generasi. Jika sebelumnya perlu waktu 99,5 tahun untuk menutup kesenjangan jender global, kini waktu yang dibutuhkan 135,5 tahun.
Dari 156 negara yang dikaji dalam laporan ini, tingkat kesetaraan jender paling tinggi di Islandia dengan indeks 89,2 persen. Indonesia berada di peringkat ke-101 dengan indeks 68,8 persen atau turun 16 poin dibandingkan pada 2020. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia di peringkat ke-85 dari 153 negara yang dikaji (Kompas, 1/2/2020).
Di tingkat ASEAN, peringkat Indonesia di bawah Filipina (peringkat ke-17), Thailand (79), dan Vietnam (87). Sementara itu, posisi Indonesia masih di atas Kamboja (103), Myanmar (109), Brunei (111), dan Malaysia (112). Timor Leste di peringkat ke-64, dan merupakan satu dari lima negara yang indeks kesetaraan jendernya meningkat signifikan. Timor Leste, Lituania, Serbia, Togo, dan Uni Emirat Arab berhasil mempersempit kesenjangan jender sebesar 4,4 persen atau lebih.
Empat dimensi
Pengukuran indeks kesetaraan jender global ini menggunakan empat dimensi, yaitu partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, serta pemberdayaan politik. Dari empat dimensi ini, kesenjangan jender dalam pencapaian pendidikan, serta kesehatan dan kelangsungan hidup hampir tertutup.
Kesetaraan jender dalam bidang pendidikan telah mencapai 95 persen, bahkan 37 negara telah mencapai kesetaraan penuh di bidang pendidikan. Namun langkah menutup 5 persen kesenjangan berjalan lambat, dibutuhkan 14,2 tahun lagi untuk menutup kesenjangan ini. Kesetaraan jender pada dimensi kesehatan dan kelangsungan hidup telah mencapai 96 persen, tetapi waktu untuk menutup kesenjangan ini belum bisa ditentukan.
Hingga tahun ini, kesenjangan jender dalam pemberdayaan politik tetap yang terbesar, mencapai 78 persen. Kesetaraan jender dalam dimensi ini baru mencapai 22 persen, menurun 2,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari 156 negara yang dikaji, perempuan hanya mewakili 26,1 persen dari sekitar 35.500 kursi parlemen dan hanya 22,6 persen dari 3.400 lebih menteri di seluruh dunia. Hingga 15 Januari 2021, di 81 negara belum pernah dipimpin perempuan. Dengan laju kemajuan saat ini, diperkirakan butuh 145,5 tahun untuk mencapai kesetaraan jender dalam politik.
Kesenjangan jender dalam partisipasi dan peluang ekonomi juga tetap menjadi kedua yang terbesar, yaitu mencapai 48 persen. Kesetaraan jender global di bidang ini baru mencapai 58 persen, dan butuh waktu 267,6 tahun untuk mencapai kesetaraan jender secara penuh di bidang ini.
Lambatnya kemajuan untuk mencapai kesetaraan jender dalam partisipasi dan peluang ekonomi merupakan hasil dari dua tren yang berlawanan. Proporsi perempuan yang memiliki keahlian/terampil meningkat, demikian pula upahnya hampir setara dengan upah pekerja laki-laki. Namun secara keseluruhan masih terdapat disparitas pendapatan dan posisi kepemimpinan perempuan masih kurang, baru 27 persen untuk posisi manajer.
Dampak buruk
Kesenjangan jender dalam partisipasi angkatan kerja juga semakin lebar sejak pandemi. Secara global, kesenjangan jender di bidang ekonomi berkisar 1 persen hingga 4 persen lebih lebar dari yang dilaporkan.
Proyeksi awal Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan 5 persen perempuan kehilangan pekerjaan, dibandingkan dengan 3,9 persen laki-laki yang kehilangan pekerjaan. Data LinkedIn menunjukkan penurunan yang nyata dalam perekrutan perempuan untuk peran kepemimpinan, membalikkan 1-2 tahun kemajuan di berbagai industri.
Pandemi juga mempercepat otomasi dan digitalisasi yang mempercepat gangguan pasar kerja. Tantangan signifikan untuk kesetaraan jender karena meningkatnya pemisahan jender dalam pekerjaan. Hanya dua dari delapan kelompok pekerjaan masa depan yang telah mencapai kesetaraan jender, sebagian besar menunjukkan kurangnya representasi perempuan.
Kesenjangan jender lebih mungkin terjadi di sektor-sektor yang membutuhkan keterampilan teknis. Di komputasi awan (cloud computing), misalnya, perempuan hanya 14,2 persen dari angkatan kerja, di bidang teknik hanya 20 persen di bidang data dan kecerdasan buatan hanya 32,4 persen.
Pandemi ini diperkirakan berdampak buruk pada peluang ekonomi masa depan bagi perempuan, meningkatkan potensi kehilangan pekerjaan dan penurunan pendapatan yang terus-menerus. Kebijakan dan praktik pemulihan yang berprespektif jender dapat mengatasi dampak buruk tersebut.
Laporan ini merekomendasikan investasi lebih lanjut di sektor perawatan dan akses yang setara ke cuti perawatan untuk laki-laki dan perempuan. Kebijakan dan praktik juga perlu pro-aktif berfokus pada upaya mengatasi segregasi pekerjaan berdasarkan jender. Selain itu, praktik perekutan dan promosi karisi yang sehat dan tidak memihak akan membuka jalan bagi masa depan pekerjaan yang lebih setara jender.
Saadia Zahidi, Direktur Utama dan Kepala Pusat Ekonomi dan Masyarakat Baru Forum Ekonomi, dunia mengajak para pemimpin negara menanamkan kesetaraan jender untuk mengelola pemulihan pasca pandemi, untuk kepentingan ekonomi dan masyarakat.
Natalie Lacey, Kepala Bagian Riset Ipsos dan Darrel Bricker, CEO Global, Urusan Publik Ipsos, dalam artikel mereka di weforum.org, 31 Maret, mengatakan terus mengukur bagaimana perempuan mengalami dampak pandemi akan sangat penting untuk kembali ke jalur yang tepat guna menangani ketidakadilan berbasis jender yang diperburuk oleh pandemi.