Riset dan inovasi dapat membantu meningkatkan perekonomian nasional. Sayangnya, pengembangan riset dan inovasi masih belum menjadi prioritas utama kebijakan.
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perumusan kebijakan riset dan inovasi kerap terjebak nostalgia situasi geopolitik dan mengalami subordinasi. Hal itu mengakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tertinggal dari negara lain. Padahal, hasil riset bisa digunakan untuk meningkatkan pembangunan nasional.
Anggota Steering Committee Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Robertus Robet, di sela-sela diskusi publik bertema ”BRIN: Belenggu Riset dan Inovasi oleh Negara?”, Jumat (16/4/2021), di Jakarta, menegaskan, subordinasi riset dan inovasi malah kerap terjadi. Ada sejumlah faktor penyebab, di antaranya sejarah geopolitik.
”Dalam merumuskan kebijakan riset dan inovasi masih dijumpai terjebak nostalgia geopolitik tertentu. Ini cara berpikir yang membuat ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia ketinggalan,” ujarnya.
Robertus mencontohkan kejadian vaksin Nusantara. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mempersoalkan uji klinis vaksin itu. Meski demikian, sejumlah politisi terus menjadi sukarelawan dengan argumentasi nasionalisme. Kejadian ini menambah daftar kasus ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu bisa dikalahkan dengan quasi yuridis yang berpijak pada nasionalisme.
Dalam merumuskan kebijakan riset dan inovasi masih dijumpai terjebak nostalgia geopolitik tertentu. Ini cara berpikir yang membuat ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia ketinggalan.
Nasionalisme sempit semacam itu, lanjut dia, juga terjadi pada sejumlah kasus sensor topik peneliti asing hingga pengusiran mereka.
Tidak terencana
Anggota Kelompok Kerja Sains dan Kebijakan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Yanuar Nugroho, berpendapat, perombakan kabinet di tengah perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin menunjukkan keputusan tak terencana.
Apalagi, perombakan itu turut berdampak pada penggabungan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ”Sinyal lainnya, riset dan inovasi belum menjadi prioritas kebijakan nasional,” katanya.
Perombakan kabinet itu bisa berdampak jangka panjang terhadap substansi tata kelola riset dan inovasi. Pada saat bersamaan, visi Indonesia tahun 2045 adalah menjadi negara maju. ”Apabila menjadi negara maju, modalnya mesti berbasis ilmu pengetahuan dan inovasi. Perumusan kebijakan publik harus berbasis data, yakni riset,” imbuhnya.
Ketua Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Mayling Oey-Gardiner mengatakan, selama ini keluhan riset akademisi yang kerap muncul mencakup dana. Nominal bantuan dana dari negara terbatas sampai kucuran terlambat. Keluhan berikutnya, dari bantuan seperti itu menuntut laporan administrasi yang cepat.
Mayling menyoroti perombakan kabinet belakangan ini terkait sumber daya manusia serta tata kelola riset dan inovasi. Setelah penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi institusi terpisah.
”Apakah sumber daya manusia yang akan mengisi badan itu semuanya peneliti atau bukan? Ketika penggabungan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bagaimana program riset pendidikan tinggi ? Masih jadi prioritas nasional tidak?” kata Mayling.