Masuk Kampus dan Lingkungan Baru, Calon Mahasiswa Dituntut Lebih Mandiri
Dengan memasuki kampus, anak muda mulai belajar mandiri dan bertemu lingkungan yang lebih beragam.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian anak muda menganggap kehidupan kampus sebagai masa peralihan. Mereka akan menghadapi realitas yang lebih kompleks dibanding masa SMA. Di sisi lain, mereka juga mulai belajar mandiri dengan hidup terpisah dari orangtua.
Aulia Hindun Abibah (17) akan mengikuti ujian tertulis berbasis komputer (UTBK) minggu depan. Dia memilih jurusan Statistik Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah. Pilihan keduanya Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, dengan jurusan yang sama.
Jika lulus di salah satu kampus ini, Hindun harus indekos. Sebab, rumahnya berada di Blora, Jawa Tengah. Meski lulus di Undip sekalipun, dia tetap harus menyewa rumah kos karena waktu tempuh Blora-Semarang mencapai 3 jam.
”Salah satu kekhawatiranku ketika ngekos adalah selama ini aku belum bisa mandiri. Pas berangkat sekolah, sarapan disiapkan. Aku tinggal makan. Aku tahu beres, gak pernah cuci baju sendiri juga,” katanya ketika dihubungi, Jumat (16/4/2021). Karena itu, jika jadi indekos, dia harus mulai belajar memasak sendiri.
Selain penguasaan akan keterampilan hidup yang masih minim, dia mengaku susah bergaul dengan orang baru. Sementara di kampus, lingkungan lebih kompleks. Banyak perjumpaan dengan orang baru dari berbagai latar belakang.
”Aku susah bersosialisasi, gak gampang kenal orang. Untuk ini mungkin harus belajar menyesuaikan diri dengan berkenalan sama orang baru sebanyak mungkin,” tambahnya.
Kesulitan berinteraksi dengan orang baru juga dirasakan Carmelia Rosa Ikaputri (17). Perempuan asal Tabanan, Bali, ini terbilang pasif mencari teman. Dia lebih bersifat menunggu.
”Biasanya orang lain yang mendekati aku duluan. Kalau orangnya nyambung, baru aku berani aktif buat cari topik dan berinteraksi lebih lanjut. Kadang ada beberapa hal yang lebih suka aku lakuin sendiri. Makanya dari dulu circle pertemananku gak begitu luas karena aku berpikir buat let it flow saja, sih,” ujarnya.
Pada akhir April nanti, dia akan mengikuti UTBK dan memilih jurusan Komunikasi di Universitas Udayana, Bali. Baginya, kecanggungan dalam menghadapi orang baru tidak masalah. Sebab, dia berprinsip lebih baik punya teman sedikit asal bisa dipercaya dan diandalkan.
Dia justru khawatir akan nasibnya setelah tak lagi tinggal bersama orangtua. Karena tinggal di Tabanan, dia juga harus indekos bila kemudian lulus di Universitas Udayana.
”Bakal banyak yang berubah (kalau sudah ngekos) dan mau gak mau harus siap, sih. Aku lagi berusaha buat mengaturuang jajan akhir akhir ini dan beli sesuatu kalau diperlukan saja. Aku juga sambil jalanin bisnis daring kecil-kecilan dan lumayan buat menambah uang jajan,” katanya.
Selama SMA, dia tidak mendapat uang jajan per bulan. Biasanya, dia hanya meminta uang ketika ingin jajan saja. Belajar dari pengalaman saudaranya yang sudah pernah kuliah, Carmelia kemungkinan juga diberi uang jajan per bulan. Masa transisi ini harus dia siapkan. Dia harus mengatur pengeluaran agar tak tekor di akhir bulan.
Indira (17), warga Bekasi, Jawa Barat, berpendapat, pembelajaran di kampus kemungkinan lebih luas cakupannya daripada masa SMA. Pembelajaran masa SMA sebagian besar berpusat pada buku dan guru. Sementara di kampus, setiap mahasiswa didorong untuk belajar dari berbagai sumber.
Selain pembelajaran yang makin kompleks, dia meyakini lingkungan kampus juga lebih beragam. Karena itu, setiap orang harus bisa beradaptasi.
”Untungnya aku cukup mudah berbaur. Jadi, aku yakin pasti bisa dan dari pengalaman juga aku selama dari TK sampai SMA sekolahnya beda-beda jadi temannya juga selalu teman baru,” kata gadis yang melamar jurusan Komunikasi di Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, ini.
Salah satu kegamangannya saat menjadi mahasiswa adalah berpisah dari orangtua. Dia termasuk anak rumahan dan merasa berat tinggal sendiri. ”Menurut rencana, nanti mau punya teman kos biar tidak sepi banget dan mencari orang yang satu jurusan biar bisa berangkat dan pulang kampus bareng dan bisa diskusi bikin tugas,” jelasnya.
Farel (18), pelamar jurusan Hubungan Internasional di Universitas
Brawijaya, menjelaskan, kuliah di luar kota tempat tinggal justru kesempatan
untuk berkembang. Lebih besar peluang bertemu orang baru dari berbagai latar suku dan budaya.
Farel tinggal di Solok, Sumatera Barat. Jika kuliah di kampung halaman, dia tak bisa mengenal daerah lain. Padahal, sebagai orang yang berminat terhadap isu-isu internasional, dia harus terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.
”Dari dulu sudah pengen kuliah di luar. Kalau jauh dari orangtua, rasanya enggak keberatan juga, orangtua juga mengizinkan kuliah di luar Sumbar,” ujarnya.