Penyusunan skema uji sertifikasi kompetensi melibatkan pelaku industri, asosiasi profesi, dan perguruan tinggi vokasi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejak setahun terakhir, lahir dan berkembang 149 skema uji kompetensi pendidikan vokasi yang berlaku nasional. Penyusunannya melibatkan 81 program studi dari 54 perguruan tinggi vokasi, 117 perusahaan, dan 77 asosiasi profesi.
Dekan Fakultas Vokasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) M Sigit Darmawan, Rabu (14/4/2021), di Jakarta, menjelaskan, terobosan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Penyusunan difasilitasi oleh Direktorat Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2020 melalui hibah.
Dalam proses penyusunan skema uji kompetensi ini, pihak industri sebagai pengguna lulusan perguruan tinggi vokasi wajib dilibatkan. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga turut mengawal langsung proses ini.
"Pihak industri dan asosiasi profesi dilibatkan agar kompetensi vokasi sesuai kebutuhan mereka. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi mereka tidak mengakui skema kompetensi," ujar Sigit yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Pendidikan Tinggi Vokasi Indonesia.
Pihak industri dan asosiasi profesi dilibatkan agar kompetensi vokasi sesuai kebutuhan mereka. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi mereka tidak mengakui skema kompetensi.(M Sigit Darmawan)
Sebanyak 149 skema nasional yang telah mengacu ke Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sangat memudahkan perguruan tinggi vokasi. Mereka tidak perlu lagi membuat skema sendiri-sendiri.
Skema tersebut mencakup lima bidang kompetensi prioritas, yakni permesinan, konstruksi, ekonomi kreatif, hospitality, dan layanan perawatan. Sebagai contoh, skema sertifikasi Okupasi Ahli Sistem Manajemen Mutu Konstruksi dibuat oleh ITS, Universitas Diponegoro, dan Universitas Gadjah Mada (UGM) serta beberapa mitra industri konstruksi, seperti PT Wijaya Konstruksi. Skema ini sekarang sudah dapat digunakan oleh semua perguruan tinggi vokasi dan berlaku secara nasional.
"Masing-masing perguruan tinggi tidak perlu mengusulkan sendiri-sendiri lagi. Selama ini, sertifikasi kompetensi menjadi salah satu masalah utama perguruan tinggi vokasi, khususnya non politeknik," kata Sigit.
Sebelum 2020, skema sertifikasi kompetensi yang berlisensi BNSP masih terbatas. Pembuatan skema tidak mudah dan butuh biaya yang besar. Dia mencontohkan, ITS baru mempunyai tiga skema berlisensi, sementara jumlah skema yang dibutuhkan untuk delapan program studi minimal delapan.
Direktur Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Beny Bandanadjaja menyampaikan, pemetaan permasalahan pendidikan tinggi vokasi dilakukan oleh internal kampus. Sebab, setiap perguruan tinggi vokasi punya penjaminan mutu.
Menurut dia, pemerintah memiliki anggaran untuk membantu mengatasi permasalahan perguruan tinggi vokasi. Dalam konteks sertifikasi kompetensi mahasiswa vokasi, selain hibah penyusunan skema uji, Kemendikbud memfasilitasi pelaksanaan sertifikasi. Ini diharapkan meringankan beban mahasiswa.
"Target tahun ini terdapat 12.000 mahasiswa vokasi bisa kami fasilitasi sertifikasi kompetensi. Satu lulusan satu sertifikasi kompetensi," ujar Beny.
Program fasilitasi lainnya menyasar magang selama satu semester. Fasilitasi ini bersifat insentif kepada mahasiswa vokasi. Dengan total anggaran hampir Rp 1 miliar, target fasilitasi menjangkau 800 mahasiswa.
"Program fasilitasi itu diperuntukkan kepada mahasiswa kurang mampu. Kami terus mendorong agar urusan permagangan ini dibuat dalam nota kesepahaman antara perguruan tinggi vokasi dengan industri sehingga jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak," kata dia.
Adanya nota kesepahaman kerja sama perguruan tinggi vokasi-industri semestinya membahas pula mengenai kewajiban dan hak mahasiswa. Misalnya, upah untuk mahasiswa jika mereka ikut membantu pekerjaan di perusahaan tujuan magang. Menurut Beny, hal itu bisa mengacu ke regulasi ketenagakerjaan ataupun dari kementerian perindustrian.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto mengatakan, program fasilitasi seperti itu memiliki keberlanjutan jangka panjang. Pemerintah akan selalu mengevaluasi sesuai pelaksanaan.
Dia berharap, dengan fasilitasi pemerintah seperti yang dilakukan oleh sekarang, semakin banyak pelaku usaha/industri (DUDI) mendukung taut dan sesuai (link and match) pendidikan vokasional. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan sudah memiliki kebijakan super tax deduction yang bisa dimanfaatkan oleh DUDI yang mau mendukung program vokasi.