Selama Pandemi, Ancaman Bermunculan di Ruang Virtual
Ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang virtual cenderung menguat selama masa pembatasan sosial karena pandemi Covid-19.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membuat negara cenderung menjadi represif menyikapi protes warga terhadap kebijakan penanganan pandemi. Ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang virtual pun terus bermunculan sehingga warga semakin takut bersuara.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto, dalam diskusi daring bertema ”Kebebasan Ekspresi, Hukum, dan Dinamika Perkembangannya”, Rabu (14/4/2021), di Jakarta, mengatakan, pada tahun 2020, SAFEnet mengeluarkan laporan ”Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2019: Bangkitnya Otoritarian Digital”. Laporan itu memotret situasi tahun 2019. Menurut catatan SAFEnet, kondisi Indonesia siaga satu terkait meningkatnya intimidasi di ruang maya.
Kondisi itu tak lebih baik sepanjang tahun 2020. Pandemi Covid-19 memaksa sebagian besar aktivitas warga dilakukan dari rumah. Namun, sejumlah kelompok masyarakat kurang beruntung sehingga tidak bisa berkegiatan secara daring akibat keterbatasan akses internet.
Pemutusan akses internet (internet shutdown) yang pernah terjadi pada tahun 2019, kata Damar, terulang terjadi pada 2020. Kejadian itu setidaknya berlangsung empat kali di wilayah Papua. Pada 2021, kejadian serupa juga terulang.
Menurut dia, sepanjang 2020, terdapat dua pesan di Telegram dari Kepolisian RI. Pesan pertama berisi ancaman pidana kepada warga yang mengkritik kebijakan penanganan pandemi Covid-19. Pesan kedua berisi ancaman penangkapan kepada warga yang berani mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja.
Selain itu, Damar menyebutkan, SAFEnet menemukan 147 insiden serangan digital sepanjang 2020. Sebanyak 85 persen ditujukan kepada kelompok kritis, seperti akademisi.
”Dari temuan riset kami, orang-orang dalam posisi kekuasaan menikmati represi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kalau tahun 2020, kami memberikan penilaian siaga satu, kini siaga dua terhadap otoritarian digital,” imbuh dia.
Dari temuan riset kami, orang-orang dalam posisi kekuasaan menikmati represi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kalau tahun 2020, kami memberikan penilaian siaga satu, kini siaga dua terhadap otoritarian digital. (Damar Juniarto)
Menurut Indeks Demokrasi 2020, yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 3 Februari 2021, skor Indonesia tercatat turun 6,30, turun dibandingkan skor pada 2019, yakni 6,48. Skor tahun 2020 itu menjadi yang terendah untuk Indonesia sepanjang 14 tahun terakhir atau sejak indeks ini disusun EIU tahun 2006.
Skala pengukuran yang dipakai adalah 0-10. Semakin tinggi skor, semakin baik kondisi demokrasi sebuah negara.
Dengan skor rata-rata 6,30, Indonesia tergolong flawed democracy (demokrasi yang cacat). Indonesia menempati urutan ke-64 dari 167 negara yang dikaji. Dari lima aspek demokrasi yang diukur EIU, penurunan tajam dialami Indonesia pada indikator budaya politik yang hanya memperoleh 4,38 poin. Skor ini anjlok dari tahun 2019, yakni 5,63 (Kompas, 7/2/2021).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Herlambang P Wiratraman, mengatakan, dari sisi konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Fondasi ini semestinya dijunjung tinggi.
”Walaupun pada saat perumusan Soekarno dan Hatta sempat berbeda pendapat. Hatta berpandangan, pasal kebebasan berpendapat dan berekspresi harus ada sehingga Indonesia sejahtera, sedangkan Soekarno punya pandangan lain,” tuturnya. Namun, setahun setelah ditetapkan, penyimpangan sudah terjadi, seperti pengusiran jurnalis.
Komunitas intelektual akademisi semestinya punya jaminan kebebasan meneliti apa saja dengan metode apa pun untuk menguji pengetahuan baru. Akan tetapi, ancaman kebebasan akademik yang pernah terjadi, institusi perguruan tinggi tidak melindungi sivitas akademika.
Dia mencontohkan, diskusi mengenai putusan hukum terhadap kasus izin pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Sejumlah akademisi harus sampai mencari tiga kampus untuk ruang penyelenggaraan.
Contoh lain, teror diskusi Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) bertemakan pemberhentian presiden pada 2020. Panitia hingga narasumber diskusi mendapat intimidasi secara digital.
Penasihat di Centre for Innovation Policy and Governance, Yanuar Nugroho, menyampaikan, hasil Survei Indikator Politik Indonesia pada 25 Oktober 2020 menunjukkan mayoritas publik (79,6 persen) cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat. Sementara survei terbarunya pada 8 Februari 2021 menunjukkan kepuasan publik pada demokrasi hanya 53 persen dan kepada presiden 62,9 persen, terendah sejak 2016.
Dia mengatakan, majalah The Economist tahun lalu menurunkan artikel bahwa rata-rata kualitas demokrasi di dunia menurun. Pandemi Covid-19 cenderung membuat negara menjadi represif, bahkan protes warga terhadap kebijakan penanganan pandemi.
”Sikap pemerintah seperti itu memperluas kekuasaan. Para pendengung turut bertindak di ruang virtual. Akibatnya, situasi ini tampak seperti enggan kembali ke demokrasi,” ujarnya.