Evokasi dari Tiga Perpaduan
Dari bangunan rumah dan pengaturan permukiman yang diwariskan nenek moyang, terkandung perpaduan arsitektur, budaya, dan alam. Ketiganya ini memperkuat kohesi sosial masyarakat. Sayangnya, hal-hal itu mulai ditinggalkan.
Paradigma yang memandang bahwa bangunan adat daerah ataupun tradisional lainnya sebagai produk ketinggalan zaman dinilai sebagai salah satu penyebab utama punahnya arsitektur Nusantara. Padahal, bangunan yang berdiri atas dasar tiga perpaduan, yakni arsitektur, budaya, dan alam, akan menghadirkan evokasi atau penggugah rasa serta dapat menjadi potensi arsitektur di masa depan.
Dalam diskusi secara daring, Sabtu (3/4/2021), fotografer etnik senior Don Hasman menceritakan setiap foto yang ia ambil saat melakukan Ekspedisi Baduy pada 2019 silam. Mulai dari aktivitas sosial budaya, morfologi permukiman, tatanan kehidupan masyarakat, hingga arsitektur yang dibangun suku di pedalaman wilayah Banten ini tidak luput dari bidikan kameranya.
Dari setiap arsitektur yang difoto Don di Baduy, tampak tidak ada satu pun bangunan yang berdiri dari komponen semen dan batu bata. Semua bangunan, seperti jembatan dan rumah penduduk, dibangun dengan komponen kayu, akar pohon, ataupun material alam lainnya.
Don yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabadikan obyek dengan aspek antropologi ini menuturkan, setiap rumah yang dibangun suku Baduy atau disebut Sulah Nyanda selalu memiliki makna filosofis dan tujuan-tujuan tertentu. Foto atap rumah suku Baduy, misalnya. Menurut Don yang mendapat informasi langsung dari pemimpin adat, atap rumah Baduy terdapat sejenis rotan berbentuk lingkaran untuk penolak bala dari roh jahat.
Tidak ada satu tiang pun dapat berdiri jika tidak melalui gotong royong. (Yori Antar)
Dalam ekspedisi tersebut, Don juga mengabadikan foto deretan permukiman Baduy yang dibidiknya dari puncak perbukitan. Tampak beberapa rumah dibangun di lahan yang lebih tinggi dibandingkan rumah lainnya. Bangunan yang terletak paling tinggi dan paling selatan di setiap permukiman merupakan kediaman sang pemimpin adat.
Selain topografi permukiman, Suku Baduy juga memperhatikan orientasi dalam mendirikan suatu bangunan yang ditunjukkan dari arah mata angin. Rumah pemimpin adat ditandai dengan pintu yang menghadap ke timur. Sementara pintu rumah masyarakat lainnya ada yang dibangun dengan menghadap ke utara dan selatan.
”Rumah pemimpin adat menghadap ke timur karena dia selalu mengamati rasi bintang. Jadi semua waktu ritual yang dilangsungkan berdasarkan rasi bintang. Tetapi, sejak 1998 pengamatan rasi bintang sudah meleset karena cuaca kita yang sudah berubah,” ujarnya.
Konsep pembuatan rumah adat Sulah Nyanda dengan cara gotong royong dengan bahan baku yang berasal dari alam masih dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pembangunan fondasi menggunakan bahan kayu. Adapun batu kali atau umpak dijadikan sebagai bagian dasar fondasi atau landasan.
Baca juga: Baduy, Antara Wisata dan Wasiat
”Orang Baduy luar ataupun dalam memang masih sangat menghormati peran pemimpin adat. Jadi mendirikan rumah juga tetap harus melapor dan diberikan waktu serta arahan. Pembangunan rumah ini tidak main-main karena menjadi tempat bernaung,” katanya.
Arsitek dan pendiri Rumah Asuh, Yori Antar, memandang arsitektur, budaya, dan alam bukanlah tiga hal yang terpisah, melainkan suatu kesatuan. Namun, ia menyayangkan dalam arsitektur modern, tiga hal tersebut justru terpisah. Pola pikir inilah yang menurut Yori perlu diubah dalam disiplin ilmu arsitektur.
Yori mengemukakan, salah satu hal utama mengubah pola pikir ini dapat dilakukan dengan cara melihat dan meningkatkan wawasan Nusantara. Melalui cara ini, semua pihak akan memandang bangunan tradisional tidak lagi sebagai produk masa lalu, tetapi sebagai perwujudan arsitektur masa depan.
Selama ini, kata Yori, kepunahan arsitektur Nusantara terjadi karena adanya pemahaman bahwa bangunan tradisional merupakan produk yang ketinggalan zaman. Bahkan, tidak sedikit juga yang beranggapan arsitektur Nusantara sebagai peninggalan zaman kebodohan, tidak sehat, dan tidak layak huni.
Perbedaan
Yori menjelaskan, dari sejumlah sisi, arsitektur modern dan Nusantara memang memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Dari sisi sumber pembangunan, arsitektur modern diwariskan melalui media tulisan, sedangkan arsitektur Nusantara lewat lisan. Arsitektur Nusantara dibangun secara oral dan turun-temurun atau dari satu generasi ke generasi lain.
Arsitektur modern juga dibangun dari sejumlah komponen industri dan material pabrik. Konstruksi arsitektur ini dilakukan secara tektonik atau masuk ke dalam tanah. Sementara arsitektur Nusantara dibangun dengan material alam oleh para perajin dan konstruksi di atas tanah sehingga tidak melukai Bumi.
”Arsitektur modern dibangun dengan budaya proyek dari top down (atas ke bawah), dari kontraktor ke mandor dan ke tukang. Tetapi, di arsitektur Nusantara dibangun secara gotong royong bottom up (bawah ke atas). Tidak ada satu tiang pun dapat berdiri jika tidak melalui gotong royong,” katanya.
Selain itu, arsitektur modern yang berorientasi pada negara empat musim akan memusatkan semua aktivitas di dalam ruangan karena adanya musim dingin. Adapun arsitektur Nusantara yang dibangun di negara dua musim berorientasi pada aktivitas luar ruangan sehingga menciptakan kegiatan sosial ataupun gotong royong.
”Secara bahan baku atau pembentuk genetiknya, sebenarnya kita sudah memiliki cara membangun arsitektur sendiri. Ini yang sekarang dilupakan dan tidak menjadi pembelajaran di perguruan tinggi. Ibaratnya kita belajar arsitektur modern hanya mengisi sisi otak sebelah kiri dan sebelah kanan kosong,” ungkapnya.
Potensi
Mengembangkan arsitektur Nusantara telah dilakukan Yori sejak puluhan tahun lalu. Ia mulai dikenal luas saat membangun kembali rumah-rumah di Desa Adat Waerebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Di desa adat ini hanya terdapat tujuh rumah utama atau disebut Mbaru Niang yang senantiasa terus dijaga kelestariannya oleh para warga.
Yori menceritakan, untuk pertama kali dalam sejarah, dokumentasi pembangunan arsitektur tradisional diabadikan dalam film yang diambil secara timelapse atau dari waktu ke waktu. Setelah proses pembangunan selesai, warga juga menyelenggarakan acara berupa tarian adat caci sebagai bentuk kebahagiaan dan rasa syukur. Ini menunjukkan arsitektur Nusantara dibangun dengan gotong royong dan saling menghargai satu sama lain.
Pembangunan kembali Mbaru Niang mulai membangkitkan potensi wisata Desa Adat Waerebo. Kunjungan wisatawan asing ataupun domestik terus meningkat sejak mendapatkan penghargaan warisan budaya dunia dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2012. Bahkan, data Lembaga Pelestarian Budaya Waerebo menunjukkan, tingkat kunjungan wisatawan telah mencapai 10.000 orang pada Desember 2019 atau sebelum pandemi Covid-19.
”Sesuatu yang didapatkan dari masyarakat tentunya keuntungan ekonomi dengan datangnya para turis. Ini karena setiap uang dari porter, penunjuk jalan, penginapan, kuliner, dan sauvenir dipastikan 99 persen masuk ke masyarakat adat. Semua hal tersebut membuat Waerebo menjadi prototipe desa wisata,” kata Yori.
Yori mengakui bahwa setelah membangun kembali Waerebo, ia dan timnya mendapat suatu formula dalam melestarikan kembali desa-desa adat lainnya di Indonesia. Selain itu, ia juga mendapat sebuah formula dalam mencari donatur agar desa-desa adat tersebut bisa bertahan saat ini maupun masa yang akan datang.
Baca juga: Bangkitkan Kembali Kejayaan Arsitektur Indonesia
Salah satu arsitektur Nusantara yang akan dibangun dan dikembangkan adalah di daerah masyarakat adat Dayak Iban, Dusun Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dua arsitektur Nusantara yang akan dibangun adalah satu bangunan panjang sebagai rumah budaya dan satu bangunan untuk ibadah. Pembangunan ini akan tetap dilakukan dengan gotong royong dan melibatkan masyarakat.
Pembangunan Waerebo ataupun desa adat lainnya menjadi sebuah pembelajaran agar selalu mempertahankan arsitektur Nusantara dengan konsep asli tanpa satu pun intervensi komponen lain. Pembangunan juga perlu mempelajari dan menghormati setiap budaya yang ditetapkan seperti upacara adat, mencari kayu sebagai komponen bangunan, menutup atap, dan ritual peresmian.
”Mahasiswa yang kami kirim untuk membangun Waerebo selalu bilang bahwa yang dilihat bukanlah arsitektur, melainkan sebuah harta karun. Ketika mereka kembali ke perguruan tingginya, perubahaan pola pikir akan terjadi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang bilang telah mengetahui untuk apa mereka belajar arsitektur,” katanya.
Arsitektur Nusantara yang memadukan perpaduan arsitektur, budaya, dan alam, telah menjadi sebuah bagian dari identitas bangsa. Eksistensinya sudah selayaknya dipertahankan dan dilestarikan. Sebab, arsitektur Nusantara tidak muncul tiba-tiba, tetapi mengalami penyempurnaan yang berkesinambungan. Kearifan lokal yang terkandung di dalamnya akan menjadi acuan arsitektur pada masa yang akan datang.