Selama pandemi, anak muda kerap dituding sebagai kelompok yang paling abai terhadap protokol kesehatan, kurang peduli terhadap kesehatan sekitar. Padahal, jiwa anak muda tergolong yang paling rentan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Setahun pandemi Covid-19 membuat manusia hidup dalam ketidakpastian dan memengaruhi kesejahteraannya. Meski risiko anak muda mengalami keparahan akibat Covid-19 lebih rendah dibandingkan dengan kelompok populasi lain, jiwa mereka justru paling menderita gara-gara korona. Isolasi, pudarnya cita-cita, hilangnya penghasilan, hingga suramnya masa depan membayangi langkah mereka ke depan.
Stres beruntun dialami Timothy Jose (22), lulusan sastra Inggris salah satu perguruan tinggi di Jakarta tahun 2020. Bimbingan skripsi selama pandemi, wisuda, dan mencari pekerjaan harus dia lalui secara daring. Beruntung, dua bulan terakhir dia sudah mendapat pekerjaan.
Rasa cemas juga muncul saat melihat orangtuanya masih harus bekerja di luar rumah walau sedang pandemi dengan penghasilan berkurang. ”Ayah bekerja di bidang jasa perbaikan dan jual-beli printer, sedangkan ibu menjadi perawat kucing,” ujarnya, di Jakarta, Jumat (9/4/2021).
Namun, mengawali karier di masa pandemi tetap tak mudah. Bretha Celia (24) sudah dua kali mengajukan surat pengunduran diri dari perusahaannya meski belum genap enam bulan bekerja. Beban kerja berat yang dilakukan dari tempat kos dan komunikasi terbatas dengan rekan kerja membuatnya putus asa.
”Saya tambah stres karena sebagai anak rantau tidak memiliki siapa-siapa di Jakarta,” ujarnya, Minggu (11/4). Belum lagi pembatasan sosial yang diberlakukan membuatnya kesepian. Padahal, selama ini ia terbiasa berkumpul dengan teman-temannya untuk melepas stres.
Situasi yang menekan itu membuatnya menangis hampir setiap hari. Akibatnya, pekerjaan pun tak kunjung selesai, nafsu makan berkurang, hingga akhirnya ia menjadi lebih sering merenung.
Budi Setiono (22), sarjana ekonomi dari sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, sudah enam bulan menganggur. Sudah banyak surat lamaran ia kirim, tetapi tanpa jawaban. Situasi itu kerap membuatnya sia-sia menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi karena tetap sulit mencari kerja.
Karena malu jika masih meminta uang kepada orangtua, sejak awal tahun ini Budi memilih berjualan nasi bungkus. Jika semua terjual habis, untung yang didapat Rp 50.000 per hari. ”Saya ingin menjadi wirausaha, tapi tidak ada modal. Belum lagi rasa waswas jika nanti tidak mendapat pekerjaan yang layak,” tambahnya.
Kecemasan menyebar lebih cepat daripada korona. Perubahan kehidupan, bertambahnya beban, dan ketidakpastian membuat mereka yang tak terjangkit korona pun terbeban berat akibat pandemi.
Psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Jakarta, Maharani Ardi Putri, mengatakan, pandemi berdampak lebih signifikan pada kesehatan mental penduduk usia produktif, khususnya usia pekerja.
Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada Agustus 2020 terhadap anak muda berumur 18-29 tahun di 112 negara menunjukkan, dampak pandemi pada anak muda bersifat sistematis, mendalam, dan tak proporsional. Dampak lebih besar dialami pada usia lebih muda, perempuan, dan mereka yang berasal dari negara-negara berpenghasilan rendah.
”Situasi itu tak mengherankan karena tugas perkembangan utama orang dewasa muda adalah mulai bekerja, membangun karier, dan membangun rumah tangga,” katanya.
Tanpa pandemi pun, usia dewasa muda merupakan masa-masa penuh konflik. Pada masa ini, pergerakan dan interaksi sosial mereka sangat tinggi. Namun, isolasi dan pemberlakuan pembatasan sosial membuat mereka harus terkurung di rumah dan kesepian.
Seseorang yang kesulitan mengikuti siklus berduka, yaitu terkejut, menyangkal, marah, depresi, frustrasi, melepaskan diri, penawaran, dialog, dan penerimaan, butuh pertolonga1n psikologis.
Bagi yang baru mulai bekerja, bekerja di rumah dengan jam kerja sangat lentur serta kesulitan memisahkan antara dunia kerja dan rumah membuat mereka stres dan mengalami keletihan. Itu membuat mereka lebih sensitif hingga kerap berpikir untuk berhenti bekerja.
Guru Besar Psikologi Universitas Airlangga Surabaya Nurul Hartini mengatakan, respons individu menghadapi kejadian atau peristiwa tidak diinginkan seperti dalam pandemi ini biasanya adalah berduka atau tertekan. Namun, duka teramat dalam dan berlarut akan menyulitkan mereka untuk menerima keadaan dan berpotensi mendorong mereka menempuh cara-cara ekstrem.
”Seseorang yang kesulitan mengikuti siklus berduka, yaitu terkejut, menyangkal, marah, depresi, frustrasi, melepaskan diri, penawaran, dialog, dan penerimaan, butuh pertolongan psikologis,” kata Nurul.
Namun, mendapat layanan psikologi tidaklah mudah. Layanan kesehatan jiwa masih terbatas di kota-kota besar saja. Biaya untuk mengakses layanan pun tidak murah. Belum lagi stigma buruk tentang layanan kesehatan jiwa membuat orang enggan mencari pertolongan pada profesional kesehatan.
Tekanan jiwa yang berat itu membuat sebagian orang mengembangkan pikiran untuk bunuh diri. Analisis hasil swaperiksa 4.010 orang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia pada 2020 menunjukkan, 1 dari 5 orang memiliki pikiran untuk lebih baik mati.
Mayoritas yang berpikiran tentang kematian itu berumur 18-29 tahun. Semakin panjang pandemi berlangsung dikhawatirkan akan membuat mereka yang cemas, depresi, hingga berpikiran bunuh diri semakin bertambah.
Psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Adityawarman Menaldi, berpendapat, kunci untuk bisa bertahan dalam situasi yang serba sulit ini tak lain adalah beradaptasi dan bersikap fleksibel.
Pandemi menekan semua orang tanpa kecuali. Sikap adaptif dan fleksibilitas membuat seseorang mampu melihat peluang di tengah situasi sesulit apa pun. Dengan peluang itu, seseorang bisa menggunakannya untuk mencapai kondisi lebih baik. ”Semua bisa dilakukan asalkan ada kemauan adaptif dan fleksibel,” katanya. (SKA/DNA/TAN/BRO/MZW)