Segala Penggunaan Lagu dan Musik untuk Komersial Wajib Bayar Royalti
PP Nomor 56 Tahun 2021 memberikan penegasan hukum bahwa segala penggunaan lagu dan musik secara komersial, baik luring maupun daring, wajib bayar royalti. Potensi pendapatan royalti mencapai triliunan rupiah.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan lagu dan musik, baik ciptaan dalam maupun luar negeri, untuk semua kebutuhan layanan publik komersial wajib membayar royalti. Penegasan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Freddy Haris, Jumat (9/4/2021), di Jakarta, mengatakan, bagi musisi yang biasanya santai/acuh dengan pemasukan royalti, kini tidak bisa. Bagi musisi yang karya lagu atau musiknya sering diputar di fasilitas layanan publik komersial, individu bersangkutan semestinya sadar akan haknya.
”Kalau ada musisi mau menerapkan free royalty, satu kafe ada tidak yang hanya memutarkan karyanya saja? Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik memberikan jaminan keadilan semua musisi mendapatkan haknya,” ujarnya.
Freddy menegaskan, kebutuhan layanan publik komersial berarti mencakup penggunaan lagu dan musik secara luring ataupun daring. Sebagai contoh, seorang individu menyanyikan ulang lagu yang sudah memiliki hak cipta, lalu diunggah di platform digital. Individu bersangkutan memasang pendapatan iklan. Maka, individu itu wajib bayar royalti.
Contoh lain, individu atau kelompok tampil di muka umum, lalu menyanyikan ulang lagu yang tercatat hak ciptanya. Penampilannya secara luring itu mendatangkan pemasukan, maka bersangkutan wajib bayar royalti.
”Ketentuan di PP ini berlaku juga buat lagu dan musik asing yang memang digunakan untuk layanan publik komersial,” ujarnya.
Freddy memperkirakan, potensi pendapatan royalti lagu dan musik bisa mencapai triliunan. Pada saat ini, sebagai gambaran, pendapatan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sudah mencapai Rp 100 miliar.
PP No 56/2021 mengamanatkan pendirian pusat data lagu dan musik yang berasal dari e-Hak Cipta yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham. Pusat data itu akan dapat diakses oleh LMKN, pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, dan pengguna secara komersial.
Kemudian, LMKN akan mengelola royalti berdasarkan data yang telah terintegrasi antara pusat data musik dan/lagu milik Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dengan Sistem Informasi Lagu/Musik (SILM) yang dikelola oleh LMKN.
Pendirian pusat data akan dilakukan dengan kerja sama pemerintah-swasta. Ditargetkan, dua tahun harus selesai, termasuk dengan SILM.
”Sambil menunggu kedua infrastruktur itu jadi, besaran harga tarif royalti masih mengacu pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kepmenkumham) Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Kami sebenarnya membebaskan juga penentuan tarif dengan skema bisnis ke bisnis. Kalau kemahalan, pengguna bisa mendiskusikannya dengan LMK,” ujarnya.
Kepastian kepatuhan
Marketing Director PT Indomarco Prismatama (Indomaret) Wiwiek Yusuf mengatakan, PP No 56/2021 memberikan ketegasan hukum bagi semua perusahaan ritel yang menggunakan lagu dan musik agar patuh bayar royalti. Peritel mau tidak mau harus dapat menghargai hak cipta lagu dan musik.
”Menariknya, PP No 56/2021 memberikan keringanan bagi pengguna berskala usaha mikro, kecil, dan menengah. Artinya, PP ini memberikan kepastian bahwa semua harus patuh,” ujarnya.
Wiwiek berharap pusat data nasional beserta SILM yang kelak hadir akan membuat pencatatan karya semakin tertib. Dengan demikian, administrasi pembayaran dan pembagian royalti lagu dan musik semakin tertata.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menerangkan, pihak yang membayar royalti di pusat perbelanjaan terdiri dari pengelola dan penyewa. Dari sisi pengelola, ada dua jenis royalti yang dibayar, meliputi musik atau lagu latar dan pertunjukkan musik/lagu. Masing-masing memiliki ketentuan nilai perhitungan pungutan royalti yang berbeda.
Tidak ada perbedaan perhitungan antara sebelum dan selama pandemi Covid-19. Dia mengklaim, sejak ada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, rata-rata pusat perbelanjaan anggota APPBI taat membayar royalti.
”Selama ini kami tidak ada kendala urusan pungutan membayar royalti lagu dan musik. Kami selalu mendukung kebijakan pemerintah, termasuk kehadiran PP No 56/2021. Kami bahkan mendapat penghargaan di ajang Indonesia Intelektual Property Award tahun 2019,” klaim Alphonsus.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, saat dihubungi terpisah, mengatakan, PHRI tidak keberatan dengan PP No 56/2021. PHRI bahkan sudah memiliki nota kesepahaman dengan LMKN.
Hanya saja, PHRI berharap pemerintah berani memberikan kepastian hukum yang tegas. Sebagai gambaran, Pasal 3 PP No 56/2021 bentuk layanan publik komersial disebutkan mencakup, antara lain, restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotek, hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel. Menurut dia, PHRI berharap pemerintah mengelompokkan lebih detail bentuk layanan yang bergantung langsung dengan penggunaan lagu dan musik. Sebab, ada bentuk layanan hospitality yang sebenarnya bisa mendapat pemasukan tanpa mengandalkan lagu dan musik.
”Agar tidak bias,” ujarnya.
Maulana menyampaikan, PHRI juga berharap pemerintah tetap terlibat dalam penentuan formula penghitungan tarif pungutan royalti. Misalnya, dari PP No 56/2021 dibuatkan peraturan petunjuk teknis. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya konflik jika mekanisme penentuan tarif royalti diserahkan sepenuhnya dengan mekanisme bisnis ke bisnis (B2B).
Pasal 12 PP No 56/2021 mengatur bahwa pemungutan royalti bukan hanya berlaku untuk penggunaan lagu dan musik milik pencipta lagu yang telah terdaftar sebagai anggota LMK. Karya para pencipta lagu yang belum tergabung ke dalam LMK pun akan dipungut royaltinya oleh LMKN.
Pasal 15 PP No 56/2021 mengamanatkan, LMKN wajib mengumumkan royalti terkumpul kepada publik agar diketahui para pencipta lagu yang belum tergabung ke dalam LMK. Apabila ingin mengklaim royalti tersebut, mereka harus mendaftarkan diri menjadi anggota LMK terlebih dahulu.
Jika selama dua tahun sejak diumumkan ke publik hasil pemungutan royalti tidak diklaim oleh pencipta lagu yang bersangkutan, dana itu akan dimasukkan sebagai dana cadangan yang bisa dipakai oleh LMKN.
”Kalau tidak ditegaskan semua karya lagu dan musik harus didaftarkan hak cipta, lalu muncul konflik, mekanisme penyelesaiannya bagaimana? Pemerintah harus hadir,” kata Maulana.
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay berpendapat, ketentuan tersebut berpotensi mencederai hak para pencipta lagu yang belum tergabung dalam LMKN. Dia berharap pemerintah gencar melakukan sosialisasi pentingnya menjadi anggota LMKN bagi semua pencipta lagu di Indonesia. Pemerintah juga mesti menjamin kemudahan akses bagi mereka yang ingin mendaftarkan diri.
”LMKN juga harus memungut dan menyalurkan royalti para pencipta lagu yang tidak terdaftar di LMKN secara transparan. Jangan sampai ada praktik jahat yang sengaja menutupi informasi royalti pencipta lagu yang bukan anggota LMKN, demi mengumpulkan dana cadangan untuk kepentingan sepihak bagi LMKN,” kata Hafez.