Lembaga penyiaran hanyalah pengelola, bukan pemilik frekuensi. Frekuensi merupakan milik publik dan sifatnya terbatas. Karena itu, penggunaannya pun harus sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Kualitas sinetron yang masih di bawah standar menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan dalam mural di kawasan Cisauk, Tangerang, Banten, Senin (15/3/2021).
Polemik pernikahan selebritas yang ditayangkan di stasiun televisi swasta dengan durasi berjam-jam baru-baru ini segera mereda seiring waktu berjalan. Tayangan acara pribadi menggunakan frekuensi milik publik ini bukan kali pertama, sebelumnya beberapa kali terjadi kasus yang sama.
Tayangan pernikahan selebritas tersebut juga bukan satu-satunya tayangan yang dinilai melanggar kepentingan publik. Setiap kali pemilihan umum, sejumlah tayangan, baik berupa pemberitaan, iklan, maupun unjuk bincang sarat kepentingan politik tertentu, terutama jika pemilik stasiun televisi juga politikus.
Pada Pemilihan Presiden 2014, misalnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menemukan pelanggaran oleh beberapa stasiun televisi swasta terkait netralitas dan kecenderungan berita yang berpihak kepada peserta atau calon tertentu. Surat teguran pun dilayangkan, tetapi kasus serupa terulang lagi pada Pilpres 2019, bahkan oleh stasiun televisi yang sama.
Dalam kasus tayangan pernikahan selebritas pun KPI memberikan peringatan keras kepada stasiun televisi terkait. Namun, sebagaimana terjadi selama ini, teguran ataupun peringatan tertulis hanya menjadi selembar kertas tanpa makna karena kasus serupa selalu terulang. Tidak ada efek jera ataupun pertanggungjawaban kepada publik sebagai pemilik frekuensi.
Tayangan-tayangan tersebut jelas-jelas melanggar kepentingan publik. Pasal 1 Ayat 24 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3 dan SPS) menyebutkan bahwa kehidupan pribadi tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Pasal 11 Ayat 2 juga menyebutkan bahwa penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.
Kompas
Berbagai siaran televisi yang disalurkan melalui layanan televisi berbayar Groovia TV dipantau oleh petugas di Advance, Video, dan Media Center (Avatar) PT Indonusa Telemedia (Telkomvision) di Jakarta, Selasa (9/10/2012).
Lembaga penyiaran dan juga pemilik stasiun televisi, kata pakar penyiaran dan media dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahayu, Kamis (8/4/2021), bukanlah pemilik melainkan pengelola frekuensi yang mereka gunakan untuk penyiaran. Pemberian hak pengelolaan frekuensi publik ini tentu saja setelah lembaga penyiaran memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain komitmen untuk melayani dan melindungi kepentingan publik dalam penyiaran.
Karena itu, lembaga penyiaran mempunyai kewajiban menyampaikan informasi yang berguna untuk publik, yaitu informasi yang jika tidak diinformasikan akan berimplikasi ke publik, misalnya soal penanganan kasus korupsi atau cuaca. ”Bukan informasi privat, melainkan informasi yang berkualitas, yang berguna dan bisa memberikan referensi kepada publik untuk bertindak, berpikir, mengambil keputusan, ataupun berekspresi,” katanya.
Bukan informasi privat, melainkan informasi yang berkualitas, yang berguna, dan bisa memberikan referensi kepada publik untuk bertindak, berpikir, mengambil keputusan, ataupun berekspresi.(Rahayu)
Memfasilitasi publik
Lembaga penyiaran juga mempunyai kewajiban memberikan edukasi kepada publik. Dalam kasus tayangan pernikahan selebritas, KPI menyatakan sama sekali tidak ada unsur edukasi. Rahayu mengatakan, konten pendidikan itu khusus, ada upaya lembaga penyiaran untuk memfasilitasi publik dengan memberikan konten yang berkualitas dan bersifat mendidik. Dalam masa pandemi ini, misalnya, lembaga penyiaran menyediakan informasi yang dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan Covid-19 dan upaya penanganannya.
Selain informasi dan edukasi, lembaga penyiaran juga mempunyai kewajiban memberikan hiburan kepada masyarakat. Hiburan ini seharusnya mempunyai nilai guna untuk masyarakat, bukan sekadar yang populer ataupun sensasional. Bukan pula bersandarkan pada pemeringkatan (rating) karena rating merupakan representasi pasar, bukan representasi kepentingan publik.
”Kalau bicara hak publik atas penyiaran, bukan hanya bicara pasar, bukan hanya bicara para orang yang selama ini mengonsumsi acara televisi, melainkan seluruh masyarakat Indonesia. Kalau kemudian rating diklaim sebagai representasi keinginan publik, tidak betul. Rating-nya berapa, 260 jutakah?” kata Rahayu.
Pemeringkatan yang selama ini dilakukan sebuah lembaga pemeringkatan pun tidak mewakili publik karena hanya dilakukan di 11 kota besar dan sebagian besar di antaranya berada di Pulau Jawa. Ini, kata pegiat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), Lestari Nurhajati, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2 April lalu, menunjukkan keterwakilan publik tidak ada.
Alasan bahwa publik juga menggemari tayangan-tayangan tersebut lebih pada alasan pembenar karena publik tidak mendapatkan pilihan. Lestari mencontohkan, awalnya sinetron Si Doel Anak Sekolahan ditolak banyak stasiun televisi karena sedang ”tren” cerita-cerita horor. ”Sampai ada satu stasiun televisi yang mau menayangkan dan ternyata laku ditonton. (Cerita) ini membawa nilai-nilai yang bagus,” katanya.
Pasal 12 Ayat 2 P3 dan SPS memang memberikan kewenangan lembaga penyiaran untuk menentukan format, konsep, dan kemasan program layanan publik sesuai dengan target penonton dan pendengar masing-masing. Namun, ini tetap harus bersandar pada kepentingan publik, bukan kepentingan lembaga penyiaran ataupun kepentingan pemilik stasiun televisi semata.
Mengacu Keputusan KPI Nomor 45 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, Iklan, dan Pemilu, kepentingan publik adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di luar kepentingan pribadi dan/atau kelompok dalam pemanfaatan spektrum frekuensi radio sebagai ranah publik di bidang penyiaran. Mengenai kepentingan publik ini pun termaktub dalam P3 dan SPS yang menjadi dasar bagi lembaga penyiaran dalam menyajikan program siaran.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
(Ilustrasi). Beragam tayangan acara televisi di sebuah kantor swasta di Jakarta, Minggu (19/6/2016).
Namun, apa yang terjadi selama ini, kata Rahayu, kepentingan publik telah terkooptasi kepentingan ekonomi dan juga kekuasaan, baik pemilik modal maupun mereka yang mempunyai kuasa atas kapital (uang). ”Kasus tayangan pernikahan selebritas bukan hanya ekspresi selebritas, melainkan juga ekspresi kekuasan. Orang-orang yang mempunyai uang mempunyai kuasa menukar ruang publik dengan uang. Ruang publik telah terkooptasi. Publik yang mempunyai ruang publik akan dikemanakan, siapa yang akan memenuhi informasi yang berkualitas, juga pendidikan,” katanya.
Konglomerasi media, di mana puluhan media televisi hanya dimiliki segelintir pengusaha, juga semakin meminggirkan kepentingan publik. Lebih berbahaya lagi ketika pemilik media juga politikus. Pada akhirnya, kata Lestari, kepentingan-kepentingan industri, pemilik modal, partai politik yang menguasai penyiaran, bukan kepentingan publik.
Pengambil kebijakan yang lemah menjadi penyempurna. Regulasi yang ada pun, kata Lestari, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, telah ketinggalan zaman dan sangat tidak akomodatif dengan kondisi saat ini. Terkait sanksi, misalnya, lebih banyak mengatur pelanggaran administrasi, tidak secara jelas mengatur pelanggaran kepentingan publik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 36. Dengan berbagai alasan, pelanggaran selalu terulang.
Karena itu, perlu tindakan yang lebih tegas untuk menjaga ruang publik ini digunakan untuk kepentingan publik. Kesadaran bahwa frekuensi publik untuk melayani kepentingan publik harus menjadi landasan semua pemangku kepentingan. Kalau tidak, baik Rahayu maupun Lestari mengkhawatirkan kasus tayangan pernikahan selebritas dan tayangan-tayangan lain yang tidak berkualitas serta mengabaikan kepentingan publik akan semakin sering terjadi.