Perempuan dan anak dapat berada dalam tiga posisi pusaran terorisme, yakni sebagai kelompok rentan terpapar, sebagai korban, dan sebagai pelaku. Penyebabnya, antara lain, budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Perempuan dan anak-anak kini menjadi sasaran dari kelompok radikalisme, estremisme, dan terorisme untuk melancarkan aksinya, seperti yang terjadi baru-baru ini di Makassar dan Jakarta. Oleh karena itu, upaya mencegah perempuan dan anak-anak agar tidak terpapar dalam pusaran radikalisme/terorisme harus dilakukan bersama-sama, pemerintah, masyarakat, termasuk sejumlah lembaga dan organisasi masyarakat sipil.
Gerakan bersama yang juga melibatkan semua pihak, termasuk lembaga keagamaan, seperti Mejelis Ulama Indonesia (MUI), untuk mencegah perempuan dan anak terpapar paham radikalisme/terorisme. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga memberikan perhatian pada upaya pencegahan dengan menyiapkan keluarga, terutama perempuan, agar memiliki ketahanan.
”Kita juga akan melakukan strategi komunikasi kelompok perempuan melalui Perempuan Pelopor Perdamaian. Ini akan kita aktifkan lagi sampai di tingkat desa, dan mudah-mudahan proses pencegahannya ini bisa jauh lebih kuat lagi. Tentunya bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,” ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA Valentina Gintings dalam diskusi dalam Media Talk tentang ”Perlindungan Perempuan dari Paham Terorisme dan Ekstremisme”, Rabu (7/4/2021), yang diselenggarakan Kementerian PPPA secara daring.
Selain Valentina, tampil sebagai pembicara Direktur Pencegahan Terorisme Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Akhmad Nurwakhid dan Ketua Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI Amany Lubis.
Pencegahan terhadap perempuan dan anak semakin mendesak menyusul serangan di Katedral Makassar dan Markas Polri yang korbannya perempuan dan pelaku. Kementerian PPPA menilai, posisi perempuan sebagai ibu sangat strategis dalam transmisi ideologi radikal dengan mempersiapkan anak-anak mereka menjadi martir. Karena itulah, Kementerian PPPA terus mendorong perempuan menjadi pelopor perdamaian.
Itu karena perempuan dan anak dapat berada dalam tiga posisi pada pusaran terorisme, yakni sebagai kelompok rentan terpapar, sebagai korban, dan sebagai pelaku. Adapun faktor penyebab perempuan rentan dilibatkan dalam aksi terorisme, antara lain, adalah faktor budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.
”Ada titik-titik lemah (perempuan) yang mereka (teroris) itu sudah paham cara memengaruhinya. Isu perempuan masuk ke dalam terorisme dan ekstremisme ini sebenarnya bukan hal baru, tapi kok sepertinya semakin banyak. Artinya, di proses pencegahan dan penanggulangannya kita harus pastikan,” kata Valentina.
Selain, kuatnya budaya patriarki, ketergantungan perempuan kepada suami dari sisi ekonomi, karena tidak punya pegangan dari segi ekonomi, juga menjadi faktor perempuan terpaksa ikut perintah suami. Tak hanya itu, perempuan yang berada dalam ruang lingkup yang kecil juga terkadang tidak mendapat informasi yang luas terkait dengan radikalisme sehingga mereka gampang dipengaruhi.
Jadi sasaran kelompok radikal
Akhmad Nurwakhid mengungkapkan, perempuan rentan terpapar ideologi radikalisme karena lebih peka dan perasa yang memunculkan sikap militan, taat, dan patuh kepada suami atau tokoh agama. Perempuan berpotensi direkrut kelompok radikal karena dinilai bisa membuat lalai aparat keamanan, seperti yang terjadi di Mabes Polri. ”Terlepas lalai atau kecolongan memang realitas seperti itu. Karena, kalau laki-laki akan lebih ketat ketika perempuan ada sikap enggan,” katanya.
Kendati setiap orang berpotensi terpapar radikalisme secara cepat itu relatif, untuk perempuan lebih cepat dan kecenderungannya lebih sulit untuk di deradikalisasi. Ideologi yang radikal merupakan akarnya, kemudian dipicu oleh faktor lainnya.
Adapun Amany Lubis Fatwa menegaskan, fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme, MUI menegaskan bahwa segala tindakan teror yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat hukumnya haram.
Terkait dengan terorisme, berbagai upaya pencegahan dilakukan pemerintah dan sejumlah pihak, terutama saat menghadapi perempuan dan anak yang terlibat.
”Upaya pencegahan ini ternyata masih kurang karena tantangan hidup meningkat sehingga ancaman keamanan juga meningkat, ini yang harus kita waspadai. Masa pandemi covid-19 adalah masa yang krusial,” kata Amany yang sepakat perlu gerakan bersama yang lebih masif untuk mencegah perempuan dan anak terpapar terorisme.