Keindahan Batik Jawa, Catatan Perempuan Australia Tahun 1930-an
Kain batik Jawa selalu memesona. Wartawati Australia, Harriet Winifred Ponder, menuliskan kesan mendalam tentang batik Jawa dalam perjalanannya di Pulau Jawa semasa dekade 1920-an dan 1930-an.
Kain batik Jawa selalu memesona, sebuah hasil karya seni yang memerlukan ketekunan dan keteguhan hati para perempuan Jawa yang membuat aneka pola batik yang indah dan penuh makna filosofis. Wartawati Australia, Harriet Winifred Ponder, menuliskan kesan mendalam tentang batik Jawa dalam perjalanannya di Pulau Jawa semasa dekade 1920-an dan 1930-an.
Harriet Winifred Ponder yang bermukim di Melbourne, Australia, berulang kali berkunjung ke Jawa pada awal abad ke-20. Menurut Ponder, batik melekat dengan sejarah masyarakat Jawa yang menjadi identitas masyarakat di tengah gempuran modernisasi. Batik dengan desain yang klasik dan menggambarkan legenda masa silam merupakan seni yang tidak ada duanya di dunia.
Proses pembuatan batik tulis dengan menggambar pola yang sama berulang kali, proses pencelupan untuk pewarnaan, pengeringan, pewarnaan lanjut, berulang kali untuk membuat selembar kain selendang, sarung, hingga ikat kepala adalah bukti kesabaran, ketekunan, dan keuletan para pembatik seantero Pulau Jawa.
Ponder mencatat, ada beragam teori asal-usul batik di Jawa. Namun, satu yang pasti, batik adalah salah satu seni asli yang tercatat paling tua pada 1518 di Kerajaan Galuh, selatan Cirebon, yang sudah berbentuk kesultanan. Meski demikian, secara umum diyakini seni batik berasal dari periode yang lebih lampau lagi.
Pembuatan kain batik diawali dengan kain yang belum diputihkan, masih dilakukan oleh pembatik yang membuat kain katun sendiri. Lalu motif batik yang dibuat di kain tersebut dinamakan lawon atau kain ketel. Jenis batik tersebut dikenali dari pola yang tidak seragam ukuran dan pola yang mengikuti bentuk material kain dasarnya.
Dengan segala perkecualian, Ponder melanjutkan tulisannya, hampir semua kain batik yang dibuat dan digunakan di Jawa pada zaman itu dibuat dengan kain dasar buatan pabrik. Bahan baku kain secara umum diimpor dari Lanchashire, Inggris, juga Jepang, dan India.
Para pembatik Jawa umumnya menggunakan pola klasik yang cantik di lembaran batik yang dibuat dan diwariskan turun-temurun ratusan tahun. Pengetahuan mengenai pola-pola batik klasik, membuat Harriet W Ponder kagum. Dia mendapati, rakyat jelata di Jawa pun mengenal pola-pola dan nama dari beragam kain batik yang ada.
Aneka desain batik dibagi dalam beberapa kelompok dengan nama yang khas dengan motif pusat di kain batik, seperti kelompok semen, berupa pola bertumbuh atau menjalar. Pola semen menampilkan sulur daun dan bunga menjalar ke sana kemari ditambah pola lain.
Dalam pola semen nogobiskan, tergambar pola burung merak yang oleh Ponder disebut lyre bird—sejenis merak yang hidup di Australia. Pada pola semen rejoenowidjojo tergambar beberapa tanduk dan segerombol buah-buahan, sedangkan pola semen goenong menggambarkan gunung yang dinaungi payung. Sementara pada pola semen groedo menggambarkan merak mengepak sayap dan kawanan burung terbang, dan semen remeng menggambarkan di tengah rentangan sayap muncul dari bentuk persegi di tengah kain dan aneka pola kurva dan lain-lain.
Kelompok pola kain batik lainnya yang populer di tahun 1930-an adalah kembang kentang, djonggrong, djlamprang, dan tjakar wok.
Baca juga: Selisik Batik ”Kompas”
Bagi orang Eropa, pola batik yang familiar di mata mereka adalah kelengan yang menggunakan padanan warna biru dan putih yang diwarnai dengan bahan indigo. Kain batik jenis kelengan sangat populer, dalam catatan Harriet W Ponder, digunakan kaum perempuan peranakan Tionghoa di Jawa. Pada masa sebelumnya, kaum perempuan Eropa dan Indo Eropa sangat menggemari batik motif kelengan yang digunakan bersama kebaya.
Motif batik yang lebih langka adalah latar iring dengan warna dasar hitam sesuai makna nama latar iring dan pola warna hijau kuning yang disebut pare anom atau padi muda yang sangat gampang dikenali, bahkan oleh mata orang Eropa.
Kain pradan atau kain batik dengan prada keemasan menghiasi aneka pola di bentangan kain, masih dan hanya digunakan bagi golongan bangsawan Jawa. Kain batik prada pada masa itu harganya mencapai 200-300 gulden selembar.
Pembuatan batik dengan pewarnaan kain dasar putih yang disebut orang Jawa kain blanco—atau kain blacu—yang diserap dari bahasa Portugis, merupakan teknik yang diwariskan ratusan tahun silam. Desain di kain batik dibuat dengan tangan menggunakan lilin panas di canting. Lilin dipanaskan di piringan logam yang disebut wajan yang diletakkan di atas kompor tanah liat yang disebut anglo—serapan dari dialek Hokkian.
Proses penggambaran kain sarung batik dengan motif yang rumit memakan waktu berminggu-minggu untuk diselesaikan. Tamun, tidak ada target tenggat waktu bagi perajin batik di Jawa. Kecuali jika itu diselesaikan dalam setahun, tentu memengaruhi penghasilan yang diterima, yang biasanya seorang perajin mendapat upah sebulan sekali dari penyelesaian selembar kain batik tulis.
Para perempuan pembatik Jawa sangat tekun dan ulet, mencelup kain, membuat pola dengan canting, mencampur air gula aren, jeruk, cairan asam, dan beragam bahan pencelup, kemudian dijemur. Berulangkali proses sama dilakukan untuk menghasilkan selembar kain batik tulis yang indah.
Penggunaan lilin atau malam membentuk pola pada kain yang dicelup lalu dikeringkan, yang kemudian lapisan lilin dikikis. Selanjutnya, proses pelapisan lilin yang sama dilakukan untuk menghasilkan warna lain di kain yang sama.
Proses seni yang lambat dan sangat memakan waktu sungguh berbeda dengan konsep industri orang Eropa, yang tentu saja tidak menjalankan industri tradisional yang membutuhkan ketekunan seperti pembatik Jawa. Para pembatik Jawa pun menciptakan karyanya sebagai pekerjaan sampingan untuk menambah uang saku rumah tangga. Sebagian besar batik dihasilkan oleh pabrikan milik usahawan Tionghoa di Jawa.
Pabrik tersebut berbeda dengan konsep pabrik orang Eropa, di mana pabrik batik umumnya berupa bangunan berdinding bambu tempat pencelupan kain berlangsung. Lalu, ada bangunan tempat menjemur kain yang sudah dicelup dan diwarnai di deretan batang bambu untuk menjemur.
Budaya dan filosofi batik dalam catatan Ponder mendarah daging bagi masyarakat Jawa. Untuk orang Jawa kelas ekonomi bawah, umumnya mereka membeli batik cap yang dibuat dengan mengecap pola dari batangan tembaga berpola yang dicelup ke lilin panas. Batik cap ini dibuat massal sehingga dapat menekan harga jual batik. Batik jenis ini di tahun 1930-an disebut batik tjap—tjapan atau batik cetak.
Selebihnya proses pembuatan batik cetak menyerupai batik tulis. Namun, batik cap hanya menggunakan dua warna untuk menekan biaya sehingga dapat dijual murah dan terjangkau rakyat jelata.
Awalnya pewarnaan batik, menurut Ponder, berasal dari pewarna alam asli di Jawa. Namun, pada tahun 1930-an, pewarna alam mulai digantikan pewarna yang disebut sepuhan. Semisal di wilayah Pekalongan, di pantai utara Jawa, pewarna alam mulai tergeser, demikian pula pola batik tradisional.
Kain Pekalongan pada tahun 1930-an memopulerkan pola bunga warna cerah, seperti gaya Eropa yang mudah dikenali. Gaya Pekalongan dengan pengaruh Eropa disebut bang-bangan sangat populer bagi kaum muda di Jawa, terutama di Jawa Barat masa itu.
Warna dominan kain batik di Jawa bervariasi di aneka tempat, semisal warna biru dan coklat populer di Jogja dan Solo. Kombinasi warna merah dengan coklat atau oranye populer di Jawa Barat dan jarang dipakai di Jawa Timur. Namun, secara umum, proses pewarnaan menarik untuk diikuti karena masyarakat Jawa menggunakan beragam pewarna alami dari kulit kayu, buah-buahan, daun, dan bunga-bungaan yang dicampur sebagai ramuan pewarna.
Beragam bahan pewarna alami berasal dari bahan-bahan seperti bengkoedoe yang akarnya digunakan untuk menghasilkan pewarna merah, secang yang batang kayunya dijadikan bahan warna merah, batang pohon bakau atau mangrove sebagai sumber warna hitam.
Adapun tanaman kunyit padi untuk bahan warna kuning cerah, buah nangka kering untuk sumber warna kuning, kongkoma, kesumba keling mirip rambutan sebagai bahan warna merah, bayam merah dan hibiscus merah sebagai sumber warna merah. Tanaman kesumba keling ditanam di pinggiran desa dan di sekitar perkebunan kopi di Jawa.
Sementara warna hijau dihasilkan dari getah daun telang, daun katuk, dan kore legi. Tanaman lain yang digunakan sebagai pewarna alami batik adalah bunga clitorea yang menghasilkan warna biru laut.
Yang paling menarik dalam catatan Harriet W Ponder adalah penggunaan pewarna indigo yang menghasilkan warna biru. Pewarna indigo di Asia dikenal sejak ribuan tahun. Eropa zaman Kekaisaran Romawi menyebut indigo sebagai pigmentum indicum atau pewarna India yang diduga menjadi asal nama indigo.
Nama Sanskrit dari indigo, menurut Ponder, adalah nili atau nilini yang berarti biru gelap dan diserap bahasa Portugis menjadi anil. Di Jawa, anil disebut sebagai nila yang menimbulkan dugaan, pewarna indigo diperkenalkan oleh migran dari India pada masa silam.
Ketika Kompeni Belanda datang ke Pulau Jawa pada tahun 1600-an, mereka segera melihat potensi ekonomi tanaman indigo. Dalam catatan ekspor VOC dari Jawa ke Eropa, tercatat di tahun 1631, nilai ekspor indigo dari Jawa mencapai 500.000 gulden.
Bahan indigo sempat dilarang pada zaman medieval atau abad pertengahan Eropa yang termakan isu bahwa indigo adalah pewarna iblis. Bahan ini dilarang di Perancis dengan ancaman hukuman mati, di Inggris zaman Ratu Elizabeth penggunaan indigo dibatasi, dan di Jerman, para pewarna kain di Nurmberg disumpah untuk tidak menggunakan indigo. Pada tahun 1737, barulah indigo diizinkan digunakan secara legal di Perancis.
Budidaya indigo semasa era tanam paksa atau cultuur stelsel sempat berkembang pesat di Pulau Jawa. Budidaya indigo merosot seiring bertumbuhnya industri gula yang membutuhkan pasokan tebu. Kebun tebu berkembang, kebun indigo pun perlahan menghilang di Jawa.
Sementara bahan kain di Jawa berasal dari industri pemintalan milik orang Tionghoa atau orang Jawa. Baru belakangan usahawan Belanda terlibat dalam bisnis pemintalan kain katun.
Kain katun yang dihasilkan tidak hanya untuk bahan baku batik, tetapi juga untuk sutra tiruan dan kain sarung. Harriet W Ponder menuliskan, industri kain ini menghasilkan setengah juta yard kain tiap tahun di Jawa.
Masyarakat Jawa menggunakan kain batik dan sarung sebagai busana sehari-hari. Kain sarung yang digunakan masyarakat dijahit tangan dengan rapi ataupun sudah berbentuk lingkaran tersambung dari pemintalan. Batik terus masih bertahan melintasi zaman.