Transformasi Desain dan Material Kebaya Tak Terelakkan
Transformasi desain dan bahan membuat kebaya terus berkembang. Meski demikian, prinsip bentuk tampilan kebaya tidak boleh terkikis.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dari sisi desain, transformasi kebaya tidak terelakkan sehingga mendorong perubahan tampilan secara perlahan. Namun, agar pelestarian kebudayaan tetap terjadi, prinsip bentuk kebaya tidak boleh dihilangkan.
Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, Suciati, saat menghadiri Kongres Berkebaya Nasional (KBN) 2021, Senin (5/4/2021), di Jakarta, mengatakan pandangan tersebut. Pakem berkain dan berkebaya yang telah populer diketahui masyarakat dimulai dari tampilan rambut bersanggul sampai tampilan kebaya. Sanggul terdiri dari macam-macam gaya, seperti sanggul Jawa dan sanggul Ciwidey. Tampilan kebaya juga bisa menggunakan gaya bukaan bagian depan khas kebaya Kartini, kebaya Kutubaru, dan kebaya Cowak.
Beberapa kebaya di nusantara relatif memiliki kesamaan prinsip bentuk. Modifikasi material bahan sampai desain boleh sepanjang tetap memegang prinsip atau ciri tampilan suatu pakaian dinamakan kebaya.( Suciati)
"Beberapa kebaya di nusantara relatif memiliki kesamaan prinsip bentuk. Modifikasi material bahan sampai desain boleh sepanjang tetap memegang prinsip atau ciri tampilan suatu pakaian dinamakan kebaya," ujar dia.
Putri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, mengatakan, di Yogyakarta, desain ataupun bahan yang dipakai untuk membuat kebaya berkembang. Di era Hamengkubuwono V, kebaya sudah memiliki segmentasi. Istri sultan, misalnya, mengenakan kebaya berbahan kain beludru polos, kerahnya panjang, ada tekukan atau tidak di kerah. Permaisuri sultan harus memakai kebaya berbahan kain beludru bermotif.
Perdagangan antar daerah dan negara asing turut mempengaruhi desain ataupun bahan yang dipakai membuat kebaya. Acara adat di keraton juga mempengaruhi. Dia mengenang, sejak usia tiga tahun, dia sudah memiliki banyak koleksi kebaya.
"Bagi tamu yang diundang atau berkunjung ke Keraton Yogyakarta, kami sampai membuatkan panduan kebaya," kata dia.
Bendara mengatakan, sebagai upaya pelestarian kebudayaan, di Yogyakarta, setiap Kamis Pahing dalam kalender Jawa, semua sekolah dan pegawai aparatur sipil negara mengenakan pakaian tradisional. Ini boleh mengacu kepada kebaya.
"Berdasarkan salah satu riset yang pernah saya baca, hanya empat persen warga memakai pakaian daerah paling tidak sekali dalam setahun. Jadi, arahan memakai pakaian tradisional setiap Kamis Pahing bertujuan melestarikan," tutur Bendara.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, pihaknya juga membuat kebijakan setiap hari Kamis berpakaian adat. Ini bertujuan agar warga di Jawa Tengah tidak melupakan kekayaan budaya Indonesia.
Dia memandang, produk pakaian tradisional Indonesia yang beraneka ragam mempunyai potensi industri. Dia pribadi tidak anti dengan desain baru. Dia bahkan sudah lama menginginkan punya beskap berbahan denim.
"Anak-anak muda yang pernah saya tanya sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan pakaian para pejabat publik, sebab mereka mengutamakan substansi layanan," kata Ganjar.
Desainer Musa Widyatmodjo mengatakan, sebagai desainer, dia melihat kebaya memiliki nilai artistik. Dia juga menilai kebaya mempunyai peran untuk identitas bangsa.
Apabila ingin menonjolkan peran sebagai identitas bangsa, maka tata krama tampilan berkebaya harus dijaga. Informasi pakem kebaya bisa digali. Apabila ingin berkebaya untuk kebutuhan busana adat atau daerah, informasi prinsip tampilan dapat ditanyakan ke pengurus adat.
"Kalau dipakai untuk bernyanyi di panggung, desain kebaya mesti artistik karena berperan sebagai kostum penunjang penampilan," ujar Musa.
Kebaya sebagai busana nasional termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Jenis-jenis Pakaian Sipil dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.
Sebelumnya, pada tahun 1940-an, kebaya dipilih Presiden Soekarno sebagai busana perempuan. Kala itu, Presiden Soekarno melihat kebaya sebagai simbol emansipasi kaum perempuan tokoh kebangkitan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika.
Pamong Budaya Ahli Muda Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hartati Maya Krishna mengatakan, ada masa kebaya populer di masyarakat selama tahun 1970-an. Lalu, ada masa kebaya seakan-akan hilang dari kehidupan sehari-hari karena alasan kepraktisan. Kebaya hanya dipakai saat hari-hari khusus.
"Padahal, di beberapa daerah di Indonesia, kebaya berkembang. UNESCO telah menyebut Indonesia sebagai negara kaya khasanah budaya. Kami rasa perlu gerakan-gerakan untuk mencitrakan kebaya yang lebih gencar," kata dia.