Kurikulum Perpaduan Intelektual-Emosional Penting untuk Cegah Radikalisme
Kurikulum yang disusun itu, antara lain, terkait metodologi pembelajaran yang baik, serta keseimbangan antara keterampilan keras (”hard skills”) dan keterampilan lunak (”soft skills”). Cerdas intelektual, juga emosional.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Forum Cinta Tanah Air yang dipelopori Pengasuh Pondok Pesantren Giri Kusumo Mranggen, Demak, Jawa Tengah, KH Munif Muhammad Zuhri, menyusun kurikulum untuk mencegah radikalisme dan intoleransi. Penyusunannya melibatkan pondok pesantren dan perguruan tinggi, serta direncanakan diterapkan di sekolah-sekolah di Jateng.
Pada Minggu (4/4/2021), sejumlah ulama dan cendekiawan yang tergabung dalam Forum Cinta Tanah Air bertemu untuk berdiskusi kelompok terarah (FGD) di kampus Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Hadir juga Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yang mengapresiasi dan mendukung penuh program tersebut.
Gagasan tersebut juga bagian dari menyikapi rentetan aksi teror yang pelakunya merupakan anak muda. Pertama adalah bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, pada Minggu (28/3/2021). Kedua adalah aksi penyerangan di Markas Besar Polri di Jakarta pada Rabu (31/3/2021).
Ganjar mengatakan, KH Munif Muhammad Zuhri atau biasa disapa Mbah Munif telah menyampaikan perkembangan baik terkait kurikulum yang disiapkan tersebut. ”Ini terobosan karena pendekatannya sangat soft (lembut) dan dengan cara mengobrol enak. Ponpes dan perguruan tinggi ini berkolaborasi,” katanya.
Kurikulum yang disusun tersebut, lanjut Ganjar, antara lain, terkait metodologi pembelajaran yang baik, serta keseimbangan antara keterampilan keras (hard skills) dan keterampilan lunak (soft skills). Tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional sehingga saat menemukan hal-hal berbeda tidak langsung mengamuk atau terbawa perasaan.
Ia menambahkan, saat formulanya sudah jadi, kemudian diuji, ia akan menerapkannya di seluruh sekolah, semua tingkat. ”Dengan demikian, bahasanya, kalau belajar itu ada gurunya dan isinya benar. Kalau enggak ada gurunya, seperti di media sosial, kan, tidak ada yang konfirmasi. Seolah-olah benar, lalu muncul ujaran kebencian, amukan, hingga tindakan,” lanjutnya.
Rektor UIN Walisongo Imam Taufiq, selaku pihak tuan rumah diskusi forum tersebut, menambahkan, kegelisahan dan kekhawatiran tentang isu-isu kekerasan serta radikalisme menjadi problem sekaligus tantangan bersama. Oleh karena itu, semua pihak meski berkolaborasi, di antaranya ponpes, pemerintah, juga perguruan tinggi.
Pembelajaran yang ramah dan santun perlu dikedepankan. ”Ini kolaborasi dengan pesantren yang memang 24 jam daily live activity. Setelah ini, akan keluar modul-modul bisa didiseminasi ke berbagai pihak, terutama sekolah-sekolah umum, yang ada dalam koordinasi pemerintah (pusat) dan pemda,” kata Imam.
Ia menambahkan, pendidikan mengajarkan kebersamaan, bukan perbedaan yang harus dijadikan obyek kekerasan atau tindakan kriminalitas. ”(Mengajarkan) toleransi dan pemahaman bersama. Semua mempunyai komitmen untuk bekerja memajukan bangsa. Jadi, ini PR bersama, dan harus melalui dunia pendidikan,” lanjut Imam.
Sebelumnya, Mbah Munif menyampaikan langsung gagasannya itu kepada Ganjar di Semarang. ia menceritakan perihal Forum Cinta Tanah Air. Nantinya, kurikulum yang disusun itu diharapkan dapat membekali generasi muda dengan keterampilan pengetahuan yang baik, juga agama dengan pemahaman yang benar, serta mengarah pada akhlak.
”Kegiatan forum ini kami inisiasi untuk menjadi wadah atau tempat komunikasi antara pondok pesantren dan perguruan tinggi. Sekaligus untuk menjembatani pemerintah dan masyarakat,” ujar Mbah Munif, seperti disiarkan pada kanal Youtube Ganjar Pranowo.