Aksi Ekstremisme Itu Semakin Dekat
Anak muda mesti difasilitasi dan diajak mengalami perjumpaan terhadap keberagaman. Keluarga ataupun satuan pendidikan, apa pun modelnya, tidak cukup hanya mengajarkan toleransi secara teks.
”
Setelah insiden bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021), Detasemen Khusus 88 Polri menangkap lima terduga teroris di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Kelima terduga ditangkap di beberapa tempat berbeda di Bima.
Empat terduga teroris di antaranya ditangkap di Kecamatan Mpunda dan Kecamatan Rasanae pada Minggu (28/3/2021). Lalu, keesokan harinya, Senin, seorang teroris lain ditangkap di Kecamatan Asa Kota, Kota Bima.
Berita tersebut membuat anggota staf Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (Institut DIAN)/Institute for Inter-Faith Dialogue in Indonesia (Interfidei), Ruwaidah Anwar, bersedih. Insiden bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar terjadi bersamaan dengan peringatan Minggu Palma bagi kelompok Nasrani. Ini meningkatkan kembali fobia Islam, padahal kelompok lintas iman bekerja keras menggiatkan keberagaman di masyarakat.
Baca juga : Anak Muda, Sumber Regenerasi Teroris
”Hal yang membuat saya semakin sedih adalah penangkapan teroris di Bima, asal saya. Madrasah dan masjid tempat saya belajar juga lokasinya di sekitaran situ,” ujarnya saat diskusi daring ”Mengenal Terorisme Lebih Dekat”, Sabtu (3/4/2021), di Jakarta.
Dalam ingatannya, di kota asalnya, pengalaman perjumpaan terhadap perbedaan, keberagaman, dan ajaran agama yang moderat masih minim. Salah seorang teman remajanya adalah anak seorang pemangku kepentingan.
Oleh orangtuanya, si anak itu tidak diperbolehkan lanjut ke sekolah publik. Sebagai gantinya, teman Ruwaidah ini harus belajar agama dari rumah ke rumah pemuka agama.
Sewaktu remaja, Ruwaidah mengaku pernah bersama delapan temannya membuat geng bernama Noordin M Top. Bersama kawan-kawannya kala itu, dia mengagumi para jihadis yang ditangkap. Dalam catatan buku harian sebagai remaja, segala hal tentang kekaguman ataupun pertanyaan mengapa jihadis diburu dia tulis.
Sejak menekuni ilmu filsafat dan tasawuf, ia berhenti mengikuti kegiatan-kegiatan yang menjurus pembibitan fundamentalisme, ekstremisme, dan terorisme.
”Kalau ditoleh ke belakang, saya sungguh ingin tertawa mengapa diri saya yang remaja itu bisa bertindak demikian,” ujar Ruwaidah yang tujuh tahun terakhir tinggal di Yogyakarta.
Bukan kejadian penangkapan lima terduga teroris awal pekan ini yang membuat Ruwaidah bersedih. Tahun 2019, saat kerusuhan di Mako Brimob, beberapa orang di Bima, NTB, terpapar gerakan itu. Orang muda seusia Ruwaidah juga ikut terlibat.
”Teman saya saat bersekolah dulu bersama keluarganya bahkan sudah terang-terangan mendukung pendirian negara Islam. Aksi terorisme semakin dekat dengan lingkungan saya,” kata Ruwaidah.
Stigma
Pengasuh Sekolah Keberagaman Titik Temu Makassar, Ainun Jamilah, memiliki cerita serupa. Sebelum studi sarjana, dia mengisi satu tahun waktu seusai sekolah menengah atas (SMA) mengikuti kelompok pengajian yang belakangan diketahui bertujuan membibit paham fundamentalis sampai ekstremisme pada anak muda.
Saat itu, dia merasa tengah dalam masa pergumulan batin dan pencarian jati diri. Di kelompok pengajian itu, dia bertemu dengan pengajar-pengajar yang selalu menanamkan agama untuk kebutuhan akhirat.
”Mereka menggunakan tema-tema yang sangat populis dengan kehidupan anak muda, seperti jomblo dan pernikahan. Kebanyakan peserta yang perempuan memang amat ditekankan itu. Pendekatan pengajar sangat personal sehingga mudah menciptakan kedekatan emosional dengan peserta perempuan,” kata Ainun.
Dia menceritakan berhasil menyelesaikan satu modul. Menginjak modul pengajian kedua mengenai ritual ibadah, ia mulai curiga. Sebab, ada berbagai ajaran yang diberikan tidak sesuai nilai-nilai ajaran keluarganya yang berlatar belakang pengikut Nahdlatul Ulama (NU).
Ainun akhirnya berhasil keluar dari kelompok pengajian itu. Lagi pula, ibunya sudah mengetahui aktivitasnya. Namun, kemudian, dia malah bergabung dengan sebuah majelis zikir. Kelompok ini berafiliasi dengan organisasi politik tertentu dan sempat mendukung insiden gerakan 212. Di markas kelompok itu terdapat pula laskar pemburu aliran sesat.
Bersyukurnya, sejak menekuni ilmu filsafat dan tasawuf, ia berhenti mengikuti kegiatan-kegiatan yang menjurus pembibitan fundamentalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kedua ilmu ini bisa melawan ketiga paham tersebut. Dia juga terlibat dalam kelompok Jalin Harmoni dan pelatihan yang dilakukan oleh Institut DIAN.
Baca juga : Lemahnya Ketahanan Ideologi Jadi Pemicu Terorisme
”Insiden bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar ataupun penangkapan kelima terduga teroris di Bima membuat perempuan bercadar mendapat stigma. Beberapa orang di antaranya mengalami persekusi. Padahal, tak semua perempuan bercadar terafiliasi dengan kelompok ekstremisme,” ujar Ainun.
Dia yang juga berhijab dan memakai cadar juga jadi berpotensi menjadi sasaran stigma negatif. Keluarganya mengharuskan dia untuk memakai masker ketika beraktivitas di luar menyuarakan antiterorisme di Makassar.
Anggota Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia, Linda Novianti, yang saat ini memakai hijab dan bercadar bercerita, atribut yang dikenakannya ini kerap membangkitkan stigma ekstremisme kepada perempuan yang memakainya. Di lingkungan tempatnya bekerja, di sebuah institusi pendidikan tinggi di Bandung, dia pernah mengalami diskriminasi.
”Sebelum ada insiden bom di Gereja Katedral Makassar, stigma seperti itu sudah berkembang,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya meneliti beberapa pesantren di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, Linda menemukan ajaran Islam yang eksklusif. Ini menyebabkan santri muda tidak memiliki pandangan toleransi terhadap perbedaan dan keberagaman.
Perjumpaan
Di luar pesantren, ajaran agama yang eksklusif juga berkembang di sejumlah institusi pendidikan publik, bahkan sejak jenjang dasar. Menurut Linda, hal inilah yang patut dikhawatirkan.
”(Aksi ekstremisme) semakin dekat dengan kehidupan kita. Melakukan deradikalisasi ataupun brainwashing ajaran agama yang inklusif mungkin cara yang pas melawan,” imbuhnya.
Dosen Ilmu Al Quran dan Hadis Institut Ilmu Al Quran An Nur, Yogyakarta, Arif Nuh Safri, berpendapat, anak muda mesti difasilitasi dan diajak mengalami perjumpaan terhadap keberagaman. Keluarga ataupun satuan pendidikan, apa pun modelnya, tidak cukup hanya mengajarkan toleransi secara teks.
Baca juga : Presiden Jokowi Minta Pemuda Muhammadiyah yang Terdepan Menjaga Nilai Keindonesiaan
”Sebelum insiden terorisme akhir-akhir ini, kejadian kerusuhan 2019, sudah ada anak masih duduk di taman kanak-kanak berani bilang, ’Bunuh Ahok’. Ini amat mengejutkan,” katanya.
Menurut Arif, menanamkan toleransi yang disertai dengan pengalaman perjumpaan kepada anak sejak usia dini penting dilakukan. Anak akan belajar bahwa toleransi bukan sebatas urusan membolehkan umat agama lain bebas beribadah, melainkan toleransi untuk perdamaian bangsa.