Sesuai Pakem atau Tidak, Tetaplah Berkebaya Sesuai Konteks
Pakem dan tidak pakem dalam berkebaya masih menjadi perdebatan di masyarakat. Itu tak perlu dibuat pusing karena berkebaya bisa disesuaikan konteks.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mempromosikan kebaya sebagai busana nasional tidak mudah dilakukan. Hal itu, antara lain, ditunjukkan masih adanya kebingungan akan pakem ataupun kesalahpemahaman dalam berkebaya di masyarakat. Ini tak perlu dibuat pusing karena berkebaya itu bisa disesuaikan dengan konteks.
Kebaya sebagai busana nasional termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Djenis-Djenis Pakaian Sipil dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.
Sebelumnya, pada tahun 1940-an, kebaya dipilih Presiden Soekarno sebagai busana perempuan. Kala itu, Presiden Soekarno melihat kebaya sebagai simbol emansipasi kaum perempuan tokoh kebangkitan Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika.
”Kita harus meletakkan seseorang yang berkebaya sesuai konteks,” ujar desainer Musa Widyatmodjo di sela-sela konferensi pers daring ”Kongres Berkebaya Nasional”, Kamis (1/4/2021), di Jakarta.
Dia mencontohkan, seorang perempuan memakai atasan kebaya, lalu menggunakan sepatu sneaker karena akan bepergian. Berkebaya dengan cara seperti itu sah-sah saja sebab sesuai fungsinya, yaitu berbusana untuk berkelana.
Contoh lain adalah undangan jamuan makan malam resmi yang mengundang perwakilan dari berbagai negara. Undangan itu mensyaratkan tamu perempuan berbusana nasional. Maka, menurut Musa, perempuan Indonesia seharusnya berkebaya mengikuti pakem-pakem budaya busana nasional yang ada.
Untuk mempromosikan kebaya sebagai busana nasional, desainer harus mempunyai ide kreatif menarik anak muda mau mengenal kebaya terlebih dulu.
”Ketika saya mendapat permintaan mendesain pakaian untuk pernikahan, calon pengantin kebetulan berusia muda dan dia ingin mengenakan kebaya di pernikahannya. Saya harus menjelaskan kepada dia terlebih dulu kebaya beserta pakem-pakemnya,” katanya.
Lebih jauh, lanjut Musa, untuk mempromosikan kebaya sebagai identitas bangsa Indonesia, cara lain yang dapat ditempuh adalah imbauan atau peraturan resmi. Misalnya, untuk acara kenegaraan, para perempuan pejabat yang mewakili Indonesia mesti berkebaya.
Generasi muda
Desainer Lenny Agustin berpendapat, anak muda cenderung menyukai hal serba cepat dan tidak mau repot. Oleh karena itu, untuk mempromosikan kebaya sebagai busana nasional, desainer harus mempunyai ide kreatif menarik anak muda mau mengenal kebaya terlebih dulu.
Berdasarkan pengalamannya, Lenny membuat kebaya bagi anak muda dengan material kain yang nyaman dipakai. Lantas, dia menambahkan aneka ragam kerajinan pada kain, seperti bordir.
”Ketika anak muda sudah tertarik dan nyaman mengenakan kebaya, saya ’bermain’ dengan macam-macam material kain. Saya secara tidak langsung mengedukasi mereka,” ujar Lenny.
Dia menambahkan, di media sosial, Lenny membuat gerakan memakai kebaya. Dia menampilkan kebaya dari karyanya dan teman desainer lainnya. Dia mempertahankan pakem bentuk dalam tampilan kebaya, seperti bagian kerah untuk kebaya kutu baru.
Menurut Ketua Umum Perempuan Berkebaya Indonesia Rahmi Hidayati, kebaya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1400-an. Perempuan Indonesia yang tadinya memakai kemben, lalu ditambah selendang menggelantung dari leher sampai ke dada. Kemudian, masyarakat mengenal kebaya putu baru. Kebaya encim berkembang dan dikenakan oleh perempuan Tionghoa peranakan.
Selain itu, di kalangan orang Belanda berkembang kebaya noni. Ciri khas kebaya noni terletak pada renda.
Sebagai produk kebudayaan, Rahmi mengatakan, promosi kebaya sebagai identitas nasional didukung oleh hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. UU ini mencakup arah pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. ”Kebaya memiliki ruang semakin berkembang,” tuturnya.
Keinginan dari Perempuan Berkebaya Indonesia yang ingin membawa kebaya sebagai warisan budaya tak benda UNESCO akan terus direalisasikan. Rahmi menceritakan, proses pengumpulan arsip sejarah dan data kajian ilmiah akan dilakukan dengan menggandeng pemerintah daerah. Sebelum didaftarkan ke UNESCO, kebaya mesti mendapatkan penetapan warisan budaya tak benda nasional.
Rahmi mengakui masih ada kebingungan ataupun kesalahan memahami kebaya sebagai busana nasional di masyarakat. Masyarakat masih perlu belajar membedakan pakem dan nonpakem kebaya.
”Saya pribadi suka bepergian, seperti naik gunung, lalu mendesain kebaya berbahan kaus agar menyerap keringat. Hal itu tidak masalah. Sebab, desain kebayanya sesuai fungsi dan konteks,” ujarnya.