Verifikasi Faktual dan Pengawasan Berkala Protokol Kesehatan Sangat Penting
Seruan agar verifikasi faktual kesiapan protokol kesehatan Covid-19 terus dilakukan oleh kalangan pendidik dan peduli hak anak. Pembelajaran tatap muka terbatas di sekolah tidak boleh mengabaikan kesehatan.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas perlu mengedepankan kesehatan dan keselamatan pendidik dan siswa. Oleh karenanya, verifikasi faktual dan pengawasan berkala kesiapan protokol kesehatan Covid-19 di masing-masing daerah mesti dilakukan.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas menjadi opsi yang wajib disediakan satuan pendidikan ketika pendidik dan tenaga kependidikan telah tuntas divaksinasi. Pembelajaran tatap muka terbatas diperbolehkan digelar tanpa harus menunggu mulainya tahun ajaran dan tahun akademik 2021/2022 pada Juli 2021.
Pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas ini wajib mengikuti prosedur protokol kesehatan yang ketat. Dalam PTM terbatas, dinas pendidikan dan kantor wilayah Kementerian Agama (Kemenag) wajib mengawasi pelaksanaan. Apabila ditemukan kasus Covid-19, PTM terbatas harus segera ditutup.
Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Mansur saat dihubungi dari Jakarta, berpendapat, tidak ada yang spesial dari penyesuaian terbaru SKB empat menteri. Misalnya, sekolah wajib menyediakan PTM terbatas, dengan tetap memberi opsi pembelajaran jarak jauh (PJJ), apabila memenuhi keseluruhan daftar periksa prokes Covid-19, adalah informasi yang memang sudah berlaku sejak awal tahun pelajaran 2020/2021 pada Juli 2020.
Hal terbaru adalah penambahan ketentuan pendidik dan tenaga kependidikan sudah divaksin tuntas. FSGI tetap berpandangan vaksinasi pendidik dan tenaga kependidikan tidak bisa menjadi dasar pembukaan sekolah karena tidak memenuhi kekebalan kelompok di sebuah satuan pendidikan.
Syarat buka sekolah tetap saja pemenuhan fasilitas kesehatan dan pemenuhan protokol kesehatan Covid-19, yang justru selama ini tidak dilakukan secara serius oleh pemerintah. Sekolah hanya dibiarkan tanpa pengawasan yang jelas dan berjenjang.(Mansur)
"Syarat buka sekolah tetap saja pemenuhan fasilitas kesehatan dan pemenuhan protokol kesehatan Covid-19, yang justru selama ini tidak dilakukan secara serius oleh pemerintah. Sekolah hanya dibiarkan tanpa pengawasan yang jelas dan berjenjang," kata dia saat dihubungi Rabu (31/3/2021) dari Jakarta.
Menurut Mansur, realita yang selama ini terjadi adalah dinas pendidikan berkoordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 untuk keperluan pemberian izin buka tidaknya sekolah. Itupun berdasarkan zona wilayah penyebaran Covid-19, bukan berdasarkan kesiapan protokol kesehatan di masing-masing sekolah.
Menanggapi kekhawatiran orangtua, dia bisa memahami mereka. Sebab, kebijakan pembukaan kembali sekolah dipatok pemerintah dari satu SKB ke SKB empat menteri lainnya. Sementara sejumlah orangtua melihat langsung kesiapan sekolah ataupun kebiasaan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang tidak semakin lebih baik.
Lebih jauh, Mansur menyampaikan, FSGI merekomendasikan pemerintah pusat hingga daerah melalui dinas pendidikan agar melakukan verifikasi faktual dan memberikan solusi langsung. Misalnya, anggaran khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan protokol kesehatan. Contoh lain yaitu menekankan kembali kepada sekolah agar memanfaatkan dana bantuan operasional apabila fasilitas protokol kesehatan belum mencukupi.
"Hingga sekarang, masih ada satuan pendidikan belum mau memenuhi fasilitas protokol kesehatan Covid-19 dari dana bantuan operasional sekolah, meski sudah diperbolehkan melalui surat edaran menteri," imbuh dia.
Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta Saur Panjaitan saat dihubungi terpisah, berpendapat, negara harus menjami semua siswa dan guru berangkat dari rumah ke sekolah, dalam sekolah, dan pulang dari sekolah ke rumah terjamin protokol kesehatan. Artinya, pemerintah pusat, kementerian/lembaga, sampai pemerintah daerah harus memiliki peran menjaga protokol kesehatan terlaksana dengan baik.
"Harus ada standar operasional prosedur tugas dari masing-masing kementerian/lembaga sampai pemerintah daerah. Dari pemerintah pusat sudah ada SKB empat menteri, lalu pemerintah daerah harus punya produk hukum menjalankan protokol kesehatan Covid-19," kata dia.
Menurut dia, realita yang selama ini terjadi, pemerintah pusat menyosialisasikan isi SKB empat menteri kepada daerah. Namun, hal itu tidak disertai komunikasi dua arah dari pemerintah daerah, seperti produk hukum turunan.
"Kalaupun daerah menerbitkan ketentuan turunan dari SKB empat menteri, belum ada uji publik. Akibatnya, masyarakat umum tidak tahu dan paham. Pada akhirnya, kesadaran masyarakat luas untuk menerapkan protokol kesehatan juga kurang terbentuk," tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Seto Mulyadi mengatakan, pihaknya bersama Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP) menyatakan menolak penyesuaian terbaru SKB empat menteri. Kedua organisasi mengimbau agar masyarakat untuk tetap bersabar dan menahan diri.
Pernyataan sikap tersebut mengacu kepada data Laporan Satgas Penanganan Covid-19. Per tanggal 28 Maret 2021 tercatat total 1.505.775 terkonfimasi kasus positif Covid-19. Dari jumlah tersebut, sebanyak 181.637 diantaranya adalah anak dengan sebaran sebesar 2,8 persen anak usia 0-5 tahun dan 9,4 persen anak usia 6-18 tahun positif Covid-19, sementara ada 3 persen anak usia 0-5 tahun dan 10,4 persen anak usia 6-18 tahun tengah menjalani rawat/isolasi.
Dari sumber data yang sama, dia menyebutkan, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan belum membudaya. Per 21 Maret 2021 tercatat bahwa dalam tujuh hari terakhir terdapat 68 dari 403 kabupaten/kota memiliki tingkat kepatuhan memakai masker kurang dari 60 persen. Lalu, sebanyak 25,3 persen restoran, 18,7 persen pemukiman, 17,4 persen tempat olahraga publik, 12,9 persen jalan umum, dan 10,5 persen terminal termasuk ke dalam wilayah layanan publik dengan kepatuhan memakai masker kurang dari 60 persen. Sementara tingkat kepatuhan menjaga jarak dan menghindari kerumunan untuk 59 dari 403 kabupaten/kota kurang dari 60 persen.
Seto menyampaikan, Asah Pena dan KerLiP menekankan pentingnya empat hak dasar dalam Konvensi Hak Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik, hidup dan berkembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang berlangsung, maka hak hidup dan berkembang anak seharusnya menjadi fokus utama.
"Membuka persekolahan untuk kembali melakukan tatap muka kami pandang sebagai pelanggaran yang sangat keras terhadap hak hidup dan berkembang anak," kata dia.