Literasi Media dan Sensor Film secara Mandiri Digencarkan
Sosialisasi pentingnya literasi dan sensor mandiri film ke masyarakat perlu digencarkan. Ini sejalan dengan semakin meluasnya peredaran film berbasis multiplatform.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
KOMPAS/MEDIANA
(Dari kiri ke kanan) Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Ketua Komisi I DPR Meutya Viada Hafid, dan Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardiyanto, Rabu (31/3/2021), di Jakarta, dalam kegiatan penandatanganan nota kesepahaman bersama antara Lembaga Sensor Film dengan 21 perguruan tinggi.
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Sensor Film kembali diingatkan agar tidak sebatas fokus bertindak melakukan penyensoran film. Di tengah kemudahan film beredar lintas platform, lembaga mesti memperluas peran literasi media kepada warga.
”Keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) penting. Saya mohon agar LSF bertindak bukan sebagai ’tukang potong’ yang malah membuat alur dan pesan film menjadi berantakan. Jangan sampai anggota LSF berlatar belakang orang-orang yang tidak paham perfilman,” ujar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat menghadiri penandatanganan nota kesepahaman bersama antara LSF dan 21 perguruan tinggi, Rabu (31/3/2021), di Jakarta.
Muhadjir mengatakan, hal tersebut sudah sering diingatkannya. Misalnya, menyangkut sumber daya manusia, kompetensi keahlian di bidang perfilman mesti dipenuhi.
Film dari luar negeri tidak salah berkembang di Indonesia. Namun, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya terkadang tidak sesuai dengan budaya.
Dia memandang, di sejumlah negara, film menjadi bagian entitas dan identitas kebudayaan. Oleh karena itu, film selalu mengandung pesan. Tidak ada satu pun negara besar yang tidak didukung oleh film. Dia mencontohkan Amerika Serikat dengan film Hollywood, China dengan dukungan film dari Hong Kong, dan India dengan film Bollywood.
”Karena mengandung pesan, film akan mudah diterima anak. Maka, LSF harus aktif. Pelaku sensor mandiri pun demikian sehingga harus aktif memberikan masukan,” katanya.
Ketua Komisi I DPR Meutya Viada Hafid yang hadir saat bersamaan mempunyai pandangan senada. Film berfungsi sebagai sarana komunikasi, alat hiburan, sampai propaganda. Dalam perspektif sosial, film dapat memperkaya wawasan, pengetahuan, dan pemahaman masyarakat.
Dia berpendapat, film dari luar negeri tidak salah berkembang di Indonesia. Namun, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya terkadang tidak sesuai dengan budaya.
”Film adalah bagian dari karya seni dan budaya untuk ketahanan budaya suatu negara. Negara punya tanggung jawab memantau film yang kini beredar dari berbagai platform berbasis internet,” ujarnya.
Dengan hadirnya multiplatform ataupun media baru, beragam pesan konten mudah menyebar. Tugas sensor tidak bisa hanya dilakukan oleh LSF. Masyarakat harus memiliki kesadaran mau melakukan penyensoran mandiri.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana studio bioskop yang kosong di Jakarta, Rabu (24/3/2021). Kendati bioskop sudah mulai beroperasi, sebagian masyarakat masih ragu datang karena khawatir dengan Covid-19.
Penandatanganan nota kesepahaman kerja sama LSF dengan perguruan tinggi diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas perfilman serta penyensoran dan sosialisasi budaya sensor mandiri semakin baik. Ruang lingkup kerja sama LSF dengan perguruan tinggi tersebut, antara lain penguatan regulasi dan kebijakan, advokasi dan pemantauan, serta penelitian dan pertukaran informasi. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah mempercepat gerakan sensor mandiri.
Contoh perguruan tinggi yang menandatangani nota kesepahaman kerja sama adalah Akademi Film Yogyakarta, Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.
Klasifikasi usia
Ketua Komisi III LSF Naswardi menjelaskan, kolaborasi dengan perguruan tinggi juga bertujuan memperkuat literasi ke masyarakat agar semakin sadar memilah konten sesuai klasifikasi usia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang LSF, ada empat klasifikasi usia penonton untuk film. Keempatnya adalah semua umur (SU), 13+ (di atas 13 tahun), 17+ (dewasa di atas 17 tahun), dan 21+ (dewasa di atas 21 tahun).
”Kehadiran multiplatform berpotensi memudahkan anak, khususnya menonton tidak sesuai dengan klasifikasi usia,” katanya.
Ke-21 perguruan tinggi tersebut sudah sesuai dengan sasaran literasi sensor mandiri LSF. Menurut Naswardi, klasifikasi usia merupakan mandat khusus dari Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Ketua Asosiasi Pengkaji Film Indonesia Tito Imanda saat dihubungi terpisah mengatakan, pembuat film menyambut arah perkembangan LSF yang sekarang semakin mengarah ke lembaga penggolong kelompok umur atau lembaga klasifikasi film. Langkah itu sudah tepat.