Anak Jadi Bergantung pada Gawai, Orangtua Dukung Pembelajaran Tatap Muka
Orangtua mendukung pembelajaran tatap muka secara terbatas karena kecemasan terhadap anak yang kian bergantung pada gawai. Namun, sebelum itu, harus ada kepastian agar sekolah menjadi zona aman dari paparan Covid-19.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketergantungan anak pada gawai selama menjalani pembelajaran jarak jauh menjadi alasan sejumlah orangtua mendukung kembali pembelajaran tatap muka meski pandemi Covid-19 belum berakhir. Mereka mencemaskan kebiasaan anak menggunakan gawai untuk belajar dan aktivitas lainnya membuat anak terus terpaku di depan layar.
Eneng (42), warga Petojo, Gambir, Jakarta Pusat, contohnya, mencemaskan kedua anaknya, Sheva (14) dan Zidan (13), yang terus berkutat dengan gawai hampir sehari penuh selama pandemi ini. Seperti pada Rabu (31/3/2021) pagi, sekitar pukul 06.00, kedua anaknya itu sudah memegang gawai untuk presensi belajar dengan guru di sekolahnya lewat aplikasi Google Classroom.
Seusai sekolah, kedua siswa dari SMP YP Ippi Petojo, Gambir, itu juga mengikuti bimbel tambahan lewat daring. Saat menjelang malam, mereka pun masih berkutat dengan gim atau menonton tayangan tertentu di Youtube.
Eneng mengungkapkan, di sela-sela kegiatan belajar menggunakan gawai itu ia kerap mendapati kedua anaknya bermain gim daring setiap kali gurunya belum siap mengajar. Selain itu, ia juga mendapati Sheva dan Zidan lebih banyak mengerjakan tugas daripada mendapatkan pelajaran dari guru.
”Kalau lihat rutinitas anak-anak yang menatap gawai terus-menerus, saya agak takut mereka makin ketergantungan (pada gawai) dan enggak fokus belajar. Saya harap pembelajaran tatap muka segera ada lagi, sekalipun itu mesti dengan protokol ketat,” kata Eneng, saat ditemui di Petojo.
Pekan ini, sejumlah sekolah di Indonesia mulai menguji coba pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sebelum berlangsungnya tahun ajaran baru 2021/2022 pada Juli mendatang. Hal tersebut berjalan atas kemunculan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menekankan, orangtua memegang peran utama dalam memutuskan keikutsertaan anak dalam PTM terbatas di sekolah. Satuan pendidikan mesti menghormati keputusan orangtua dan tetap menyediakan opsi pembelajaran daring.
Ery (44), warga Jelambar, Jakarta Barat, ini pun mendukung anaknya mengikuti uji coba PTM terbatas di sekolah selama itu berlangsung dengan protokol ketat. Ia mendukungnya karena selama menjalani PJJ, anaknya menjadi ketergantungan pada gawai.
Ia pun berharap PTM terbatas dapat mengatasi anak yang kurang serius belajar selama belajar di rumah. Sebab, pada kasus anaknya, Naura (9), sering kali merengek saat belajar dari rumah. Menurut Ery, anaknya mudah rewel saat belajar dari rumah karena kurang merasakan nuansa sekolah.
”Mungkin karena tidak pakai seragam dan enggak langsung bertemu teman-temannya, kurang merasakan nuansa sekolah, Naura jadi mudah merengek. Makanya selama pandemi ini, saya juga mengakali kemalasan dia dengan mengajak bangun pagi, olahraga pagi, dan lain-lain,” tutur Ery.
Saat mengikuti sosialisasi protokol kesehatan untuk PTM terbatas di SDN 09 Jelambar, tempat anaknya bersekolah, Ery mendengar adanya prosedur bahwa semua guru harus menjalani tes usap atau tes cepat Covid-19 terlebih dulu. Dia pun mengaku tidak ragu dengan proses PTM selama ada kepastian sekolah bisa menjadi zona aman dari penularan virus korona.
Di tempat lain, Dhina (43), warga Menteng, Jakarta Pusat, juga mendukung PTM terbatas karena anaknya justru lebih banyak kelayapan selama menjalani PJJ. Dia sulit mengontrol anaknya itu, padahal situasi pandemi justru mensyaratkan orang untuk mengurangi mobilitas.
”Daripada anak di rumah pergi main dan susah diatur, saya pikir lebih baik dia kembali ke sekolah. Mudah-mudahan makin banyak orang yang divaksin, jadi makin aman,” ucap Dhina.
Daripada anak di rumah pergi main dan susah diatur, saya pikir lebih baik dia kembali ke sekolah. Mudah-mudahan makin banyak orang yang divaksin, jadi makin aman. (Dhina)
Terkait PTM terbatas, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan mengingatkan, situasi pandemi saat ini masih tergolong dalam level waspada. Hal itu terutama karena angka rasio kasus positif (positivity rate) Covid-19 masih sekitar 12 persen yang masih jauh dari standar aman minimal 5 persen dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Potensi transmisi masih bisa terjadi, terutama karena tenaga pendidikan belum sepenuhnya divaksinasi. ”Anak juga belum tentu tahan, transmisi antar-anak bisa terjadi. Di rumah ada anak balita (anak berusia di bawah lima tahun) atau lansia (lanjut usia) apa tidak, orangtua sudah divaksin atau belum. Butuh banyak kajian untuk ini,” kata Aman (Kompas, 31/3/2021).
Menurut Aman, pembukaan sekolah pada Juli mendatang masih terlalu dini. Sekalipun tenaga pendidik dites dengan uji swab PCR (reaksi berantai polimerase), perlu dilihat lagi kesiapan pembukaan sekolah secara menyeluruh.