Tak Ada Ruang Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah
Perlawanan terhadap intoleransi dan radikalisme terus digalakkan oleh pihak sekolah kepada siswa, sekalipun pembelajaran digelar daring.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
AFP/INDRA ABRIYANTO
Petugas kepolisian melakukan pemeriksaan di lokasi ledakan bom di depan pintu gerbang Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Perlawanan terhadap intoleransi dan radikalisme terus digalakkan pihak sekolah kepada siswa, sekalipun pembelajaran digelar daring. Potensi gejolak dari siswa setelah pengeboman Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan, juga segera diredam.
Banyak kalangan mengutuk aksi terorisme yang terjadi di Gereja Katedral, Makassar, Minggu (28/3/2021). Tak terkecuali para guru yang khawatir aksi tersebut memicu intoleransi di kalangan siswa.
Wakil Kepala SMP Negeri 229 Jakarta Bidang Kesiswaan Saul Tanjung akan memberikan pembekalan rohani kepada siswa non-Muslim menyusul adanya aksi pengeboman gereja tersebut. Hal ini dilakukan guna meredam potensi kebencian.
”Kami akan sama-sama berdoa agar situasi tetap aman. Selain itu, kami sampaikan ke siswa untuk tidak membenci sesama. Tidak ada agama yang mendukung terorisme,” kata Saul yang juga sebagai Pembina Rohani Kristen SMP Negeri 229 Jakarta saat dihubungi, Senin (29/3/2021).
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Wakil Kepala SMP Negeri 229 Jakarta Bidang Kesiswaan Saul Tanjung sedang mengadakan pertemuan dengan para guru dan karyawan TI untuk mempersiapkan MPLS virtual pada Kamis (9/7/2020).
Menurut Saul, pembekalan rohani tersebut akan diberikan pada sesi kegiatan rohani nasrani yang rutin dilakukan setiap Selasa. Kegiatan ini diikuti setidaknya 26 siswa.
”Kami berikan Selasa pagi sebelum pembelajaran jarak jauh (PJJ) dimulai. Setelah kami sampaikan 1-2 ayat firman, kami akan sematkan pesan moral,” ujarnya.
Wakil Kepala SMP Negeri 101 Jakarta Bidang Kesiswaan Luqman Hakim juga akan mengadakan pertemuan dengan para siswanya dalam waktu dekat. Selain membahas persiapan ujian sekolah, pertemuan tersebut dilakukan untuk mengingatkan kembali mengenai ancaman radikalisme.
”Meskipun hanya sekilas, nanti akan saya sampaikan. Untuk mengingatkan kembali soal radikalisme. Bhinneka Tunggal Ika harus dijunjung tinggi,” katanya.
Selain menjabat sebagai wakil kepala sekolah, Luqman juga mengajar pelajaran Agama. Selama ini, radikalisme dan intoleransi telah menjadi isu yang kerap dia bahas di kelas. Menurut dia, hal ini penting karena siswa SMP cukup rentan dipengaruhi oleh paham-paham tersebut.
”Usia anak-anak SMP dan SMA masih sangat labil. Bahaya radikalisme ini juga sering saya sampaikan saat mereka wisuda dan akan berhubungan dengan dunia yang lebih luas,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Guru Agama sekaligus Wakil Kepala SMP Negeri 101 Jakarta Bidang Kesiswaan Luqman Hakim saat ditemui pada Senin (4/1/2021) siang.
Beberapa kali Luqman berdiskusi dengan siswa-siswanya yang berencana melanjutkan sekolah ke pesantren. Dalam hal ini, dia selalu meminta agar siswa mencari tahu latar belakang pesantren yang dipilih. Termasuk rekam jejak dari para kyainya.
”Saya juga menekankan untuk tidak ikut pengajian yang digelar diam-diam. Dulu ada beberapa anak yang saya panggil karena pandangannya terlalu ke kanan. Bahaya ini. Kalau sekarang, sudah tidak ada,” ujarnya.
Guru pendidikan agama merupakan agen strategis dalam moderasi beragama. Menurut Direktur Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid, guru pendidikan agama merupakan orang-orang berilmu. Dalam agama Islam, mereka diharapkan sebagai orang-orang yang mengajarkan kebaikan.
”Guru-guru pendidikan agama Islam mesti selalu menjadi penggerak moderasi beragama sampai ke masyarakat. Seluruh dunia sekarang menghadapi kekacauan, mulai dari isu disrupsi teknologi, pandemi Covid-19, sampai masalah lingkungan. Tugas guru pendidikan agama Islam memang tampaknya berat, tetapi sungguh berperan mulia,” ujar Yenny saat menghadiri Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Summit 2021, Sabtu (27/3/2021), di Jakarta (Kompas, 29 Maret 2021).
Waspadai media sosial
Kepala SMA Bunda Hati Kudus Agung Nugroho menilai, potensi munculnya kebencian dan kemarahan dari para siswa akibat peristiwa Bom Makassar cenderung kecil. Sebab, para siswa selama ini sudah dididik untuk menghargai pluralisme.
”Saya mengajak siswa untuk tidak memicu hal-hal yang memicu gejolak, khususnya di media sosial,” katanya saat ditemui.
Menurut Agung, ungkapan kemarahan siswa lewat media sosial dengan mendiskreditkan pihak tertentu dapat memicu kemarahan-kemarahan lain. Untuk itu, hal ini perlu diredam. Sejauh ini, dia melihat para siswanya cukup bijak merespons peristiwa tersebut melalui media sosial.
”Kami memantau lewat guru Bimbingan Konseling (BK), wakil kepala SMA bidang kesiswaan, dan majelis permusyawaratan kelas. Justru yang muncul adalah ungkapan keprihatinan,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Kepala SMA Bunda Hati Kudus Agung Nugroho saat ditemui di Jakarta pada Senin (29/3/2021).
Hal ini tidak terlepas dari pendidikan karakter yang sudah dibekalkan kepada siswa SMA Bunda Hati Kudus. Selama ini, siswa diajak menghargai pluralisme dengan cara membangun hubungan yang inklusif.