Penyiaran Digital Jangan Abaikan Kepentingan Publik
Era penyiaran televisi digital tetap perlu mengedepankan kepentingan publik. Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Penyiaran menurut rencana akan disahkan pada 2 April 2021.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja dan regulasi turunannya, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggaraan Penyiaran, menjanjikan kemudahan usaha penyiaran digital. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperhatikan dukungan dan kepentingan publik.
Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (RPM Kominfo) tentang Penyelenggaraan Penyiaran merupakan amanah dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Materi pengaturan dalam RPM tentang Penyelenggaraan Penyiaran meliputi enam hal. Pertama, uji laik operasi (ULO) perizinan berusaha penyiaran. Kedua, cakupan wilayah layanan dan sistem stasiun jaringan. Ketiga, ketentuan lembaga penyiaran publik lokal secara digital.
Pengaturan keempat dalam RPM itu menyangkut penyelenggaraan multipleksing, seperti isu sewa slot multipleksing, formula tarif, dan standar kualitas layanan. Pengaturan kelima tentang sistem monitoring penyelenggaraan penyiaran. Adapun hal terakhir mengatur tentang tata cara pengenaan sanksi.
Kemkominfo akan mengesahkan RPM Kominfo itu bersama empat RPM Kominfo lainnya pada 2 April 2021.
Setelah itu, Kemenkominfo akan mencabut lima peraturan Menkominfo (Permenkominfo), yaitu Permenkominfo No 18/2012, Permenkominfo No 27/2014, Permenkominfo No 18/2016, Permenkominfo No 5 Tahun 2018, dan Permenkominfo No 3 Tahun 2019.
Menkominfo Johnny G Plate menekankan, regulasi yang tumpang tindih mesti dipangkas. Tujuannya adalah menciptakan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif.
”Seluruh masukan publik akan kami pertimbangkan. Orientasi kebijakan (rancangan peraturan menteri) adalah kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan,” ujar Johnny saat membuka diskusi ”Serap Aspirasi dan Konsultasi Publik Penyusunan Lima RPM Kominfo sebagai Pelaksanaan PP No 5/2021 dan PP No 46/2021”, di Jakarta, Senin (29/3/2021).
Masa konsultasi publik RPM Kominfo tentang Penyelenggaraan Penyiaran akan berakhir tanggal 31 Maret 2021. Menurut rencana, Kemenkominfo akan mengesahkan RPM Kominfo itu bersama empat RPM Kominfo lainnya pada 2 April 2021.
Direktur Penyiaran Kemenkominfo Geryantika Kurnia mengatakan, salah satu keuntungan yang ditawarkan, baik dalam PP No 46/2021 maupun RPM Kominfo tentang Penyelenggaraan Penyiaran, adalah perpanjangan otomatis izin. Setiap lembaga penyiaran televisi harus memberikan laporan tahunan per 30 Juni. Apabila dari tahun pertama sampai kesepuluh tidak ada masalah, masa izin televisi bersangkutan otomatis diperpanjang.
”Sebaliknya, apabila kami menemukan permasalahan pada lembaga penyiaran televisi bersangkutan, kami tidak perlu menunggu sampai tahun kesepuluh untuk dicabut izinnya,” katanya.
Menurut dia, sebelum ada Undng-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, PP No 46/2021, dan RPM Kominfo tentang Penyelenggaraan Penyiaran, proses izin penyiaran harus melalui tahapan panjang. Misalnya, rekomendasi bersama.
Kini, hanya ada uji laik operasional sebagai pengganti evaluasi uji coba siaran (EUCS). Prosedurnya adalah lembaga penyiaran televisi mengajukan administrasi teknis dan program siaran.
Televisi digital multiplatform tidak perlu mengurus izin penyiaran. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut terangkum dalam RPM Kominfo tentang Telekomunikasi.
”RPM Kominfo tentang Penyelenggaraan Penyiaran mengatur penggunaan infrastruktur bersama. Struktur tarif dalam siaran televisi digital juga diatur dengan konsep batas atas sehingga mengantisipasi diskriminasi,” kata Geryantika.
Dia menambahkan, selama proses migrasi siaran televisi analog ke televisi digital berlangsung sampai 2 November 2022, tidak akan ada izin baru penyiaran televisi. Pemerintah berharap pelaku industri fokus menyelesaikan migrasi.
Kepentingan publik
Manajer Penelitian Remotivi Muhamad Heychael saat dihubungi terpisah berpendapat, sistem penyelenggaraan penyiaran multiplekser yang kini sudah diputuskan pemerintah berpotensi menambah konglomerasi. Apalagi, regulasi dari pemerintah membolehkan izin usaha dalam bentuk lain. Artinya, spektrum frekuensi bisa disewakan untuk kepentingan usaha di luar penyiaran, seperti telekomunikasi.
”Perhatian kami adalah bagaimana perlindungan kepada lembaga penyiaran-lembaga penyiaran yang tidak punya mux. Apabila mereka harus sewa, kami belum melihat pemerintah punya kebijakan detail,” tuturnya.
Dalam konteks kompetisi usaha yang adil, dia menyampaikan, sempat muncul wacana agar Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI mengakomodasi lembaga penyiaran televisi lokal dan komunitas. Jika wacana jadi dilaksanakan, hal itu tidak akan memperkuat LPP TVRI.
”Dengan menjadi penyelenggara multiplekser, TVRI sebenarnya bisa menghasilkan profit. Seandainya TVRI dibebankan tugas ’menggendong’ LPP televisi lokal ataupun komunitas, TVRI tidak akan memperoleh keuntungan,” tuturnya.
Migrasi siaran televisi analog ke televisi digital akan menghasilkan ke dividen digital. Menurut Heychael, dividen digital semestinya dioptimalkan untuk kepentingan publik. Misalnya, layanan penyiaran untuk kebencanaan.
Dengan sistem penyelenggaraan penyiaran yang sudah ditetapkan pemerintah seperti sekarang, konglomerasi kepemilikan lembaga berpotensi semakin luas. Jika ini tidak diantisipasi, dividen digital untuk kepentingan publik susah terpenuhi. Diversifikasi konten untuk kepentingan publik pun tidak tercapai.
Kejadian yang selalu terulang adalah waktu pelaksanaan uji publik atas regulasi yang pendek. Ini menyulitkan penilaian dan memberikan masukan.
”Penyiaran bukan sepenuhnya bisnis. Spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan diatur sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945,” kata Heychael.