Menopang Pekerja Film Tak Cukup Hanya dengan Bantuan Sosial
Ketika pembuatan dan peredaran film terganggu, hal itu mengakibatkan dampak sosial ekonomi terhadap kru kreatif beserta unit usaha lain yang menyokongnya.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Obyek wisata alam dilukis oleh para pelukis dari Purbalingga dan Banyumas pada dinding Bioskop Misbar Purbalingga, Jawa Tengah, Minggu (21/3/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Terganggunya produksi dan distribusi film karena pandemi Covid-19 memengaruhi kelangsungan hidup pekerja perfilman. Bantuan sosial yang digalang sesama pekerja ataupun yang bersumber dari pemerintah hanya bersifat sementara.
Dalam laporan ”Pemandangan Umum Industri Film Indonesia (2020)”, jumlah film Indonesia yang beredar di bioskop tahun 2018 dan 2019 adalah sama, yaitu 128 judul. Dengan jumlah judul sebanyak itu, jumlah penonton bioskop tahun 2019 sebanyak 51,9 juta orang atau naik 1,38 persen dari perolehan tahun 2018.
Sepanjang tahun 2019, terdapat penambahan 78 bioskop dengan 286 layar. Penambahan terjadi di 43 kota di 19 provinsi. Dengan demikian, pada akhir 2019, total terdapat 508 bioskop dengan 2.110 layar.
Pada tahun 2019 pula, ada 15 judul film yang beredar di bioskop dengan penonton di atas satu juta orang atau 57 persen dari total seluruh penonton.
Dengan pencapaian seperti itu, pendiri rumah produksi Kharisma Starvision Plus sekaligus Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Chand Parwez, Kamis (25/3/2021), di Jakarta, mengatakan, perfilman Indonesia sebenarnya dalam kondisi positif. Kontribusi sektor industri film ke produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp 15 triliun pada 2019. Di samping itu, pemerintah daerah juga menerima pemasukan berupa pajak hiburan.
Industri perfilman Indonesia seharusnya ’lepas landas’. Akan tetapi, pandemi yang mulai terjadi tahun lalu menyebabkan hanya tujuh judul film Indonesia beredar di bioskop dengan jumlah penonton 390.000 orang. Ini adalah kerugian besar bagi industri ataupun negara. (Chand Parwez)
”Industri perfilman Indonesia seharusnya ’lepas landas’. Akan tetapi, pandemi yang mulai terjadi tahun lalu menyebabkan hanya tujuh judul film Indonesia beredar di bioskop dengan jumlah penonton 390.000 orang. Ini adalah kerugian besar bagi industri ataupun negara,” tuturnya.
Hingga akhir Maret 2020, setidaknya terdapat sepuluh judul film yang ditunda penayangannya. Sebagai contoh, KKN di Desa Penari, Tersanjung The Movie,Jodohku Ke Mana?, Generasi 90- an:Melankolia, dan Bucin.
Skala kerugian finansial produksi antara satu film dan film lainnya tidak sama. Ini disebabkan oleh perbedaan anggaran produksi yang telah ditetapkan sejak awal di setiap proyek sampai dampak sosial ekonomi.
Hal yang menarik, Chand mengatakan, sektor industri perfilman terdiri atas sekitar 2.500 jenis usaha yang saling mendukung produksi sampai distribusi. Ketika tidak ada produksi, ribuan jenis usaha tersebut terdampak.
Basis data pekerja film di filmindonesia.or.id (FI) sejauh ini hanya dapat mencatat para pekerja yang namanya tercantum pada kredit utama film sebagai kru kreatif. Secara keseluruhan, sejak tahun 1998-2017, jumlah orang yang terlibat dalam basis data FI sebanyak 23.000 orang.
”Orang awam kadang hanya tahu artisnya, padahal ada kru kreatif, karyawan pemasaran, bioskop, pekerja katering, usaha kecil menengah di sekitar lokasi syuting, sampai penyewaan alat. Sopir yang antar-jemput juga bagian dari industri,” kata Chand.
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir saat dihubungi, Jumat (26/3/2021), di Jakarta, menceritakan, di Indonesia, pada Januari-Maret 2020, produksi-distribusi film masih normal. Film Milea:Suara dari Dilan masih memperoleh jumlah penonton yang banyak. Produksi masih berlangsung normal meski kasus Covid-19 pertama diumumkan. Namun, tak lama sesudah itu, pelaku industri perfilman mendapat imbauan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengurangi kegiatan.
Mengutip laporan ”Pemandangan Umum Industri Film Indonesia (2020)”, Pemerintah Indonesia dinilai gagap dan tidak satu suara dalam mengambil keputusan dan langkah-langkah yang sistematis untuk mencegah penyebaran penularan Covid-19. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tidak mewajibkan pemerintah lokal untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) karena PSBB hanya bisa diterapkan dengan persetujuan Kementerian Kesehatan.
Pada awal April 2020, hanya permintaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat terkait PSBB yang dikabulkan. Beberapa permintaan dari pemerintah kota/kabupaten ditolak, termasuk Rote Ndao (NTT), Sorong (Papua Barat), Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara), dan Gorontalo. Daerah Istimewa Yogyakarta yang kerap dianggap sebagai lokus seni budaya terkesan bersikeras menolak PSBB.
”Shooting film berhenti sejak ada surat imbauan dari Kapolri tanggal 26 Maret 2020. Kami yang semula masih bisa optimistis menjadi dilanda ketidakpastian. Teman-teman kru kreatif paling terdampak dan di antaranya ada yang beralih profesi untuk bertahan hidup,” kata Edwin.
AFP/JONATHAN NACKSTRAND
Sandra Fogel, seorang warga Swedia, menunggu untuk menonton film sendirian di antara kursi kosong di aula bioskop selama Festival Film Gothenburg, pada 30 Januari 2021 di Gothenburg, Swedia. Fogel mendaftar untuk menjadi salah satu orang yang diizinkan untuk menonton satu dari 70 film Festival Film Gothenburg, yang tahun ini sebagian besar berlangsung secara daring.
Sementara
Di kalangan sesama pekerja film timbul solidaritas untuk bersama-sama menggalang bantuan, seperti yang dilakukan kelompok Solidaritas Sinema dan Paguyuban Filmmaker Jogjakarta (PFJ).
Solidaritas Sinema menggalang dana dari para aktor, asosiasi pekerja film, dan organisasi lainnya. Mereka juga melakukan pengumpulan dana publik (crowdfunding) dengan mekanisme transfer tunai atau penjualan kaus. Cara kerja mereka diawali dengan mendata calon penerima melalui Google Form, lalu verifikasi berdasarkan produksi film terakhir.
PFJ merupakan wadah pertemuan pekerja film berbasis di Yogyakarta sejak 2013. Mereka memperoleh bantuan dari Pakualaman, konser amal Didi Kempot, dan menjalin kerja sama dengan Dinas Kebudayaan Yogyakarta untuk memperoleh dana produksi film sekaligus disisihkan untuk memberikan donasi.
Aprofi melalui Gerakan Aprofi Peduli juga mengumpulkan donasi melalui platform Kitabisa.com. Dana terkumpul sekitar Rp 80,6 juta dan dibagi menjadi bantuan tunai untuk yang disalurkan kepada 100 pekerja film harian, seperti pengemudi, pembantu umum, dan runner.
”Penggalangan dana bertujuan membantu bertahan hidup sementara,v kata Edwin.
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud juga turut membantu pekerja film terdampak melalui program Apresiasi Pelaku Budaya (APB) selama tahun 2020. Total terdapat 1.690 orang pekerja film media baru yang menerima bantuan APB.
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Judi Wahjudin, Sabtu (27/3/2021), di Jakarta, menjelaskan, pada tahun 2021 program APB tidak ada, tetapi dialihkan ke kegiatan-kegiatan yang bersifat fasilitasi dan kerja sama. Sebab, berdasarkan hasil evaluasi, program APB bersifat temporer dan nilai bantuan relatif tidak besar. Sementara para pekerja film tidak hanya butuh dukungan untuk kehidupan, tetapi juga kelangsungan berkarya.
Ragam kegiatan fasilitasi dan kerja sama adalah Fasilitasi Bidang Kebudayaan, Indonesiana Film, dan kerja sama dengan Lembaga Profesi Bidang Perfilman. Harapannya, hal tersebut bisa menambahkan spirit para pekerja film.
”Tentunya, apa yang kami dukung tidak bisa menyelesaikan semua masalah pekerja film. Keterbatasan ini perlu didukung oleh lembaga dan pemangku kepentingan lainnya,” tutur Judi.