Kepercayaan Lahirkan Kebebasan Berekspresi dan Kreativitas…
Buku berjudul “Bersyukur Tanpa Libur”, diluncurkan pada Minggu (28/3/2021) sore. Buku itu berisikan sembilan karya terakhir Arswendo, yang belum dipublikasikan dan dilengkapi dengan karya dari keluarga serta koleganya.
Oleh
tri agung kristanto
·5 menit baca
Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, tapi dengan melebur diri ikuti perkembangan zaman. (Arswendo Atmowiloto (1948-2019), Budayawan dalam buku Canting)
Wartawan senior, Mayong Suryo Laksono, sebagai orang yang pernah berada langsung di bawah kepemimpinan Budayawan Arswendo Atmowiloto mengakui, Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor tersebut, merupakan figur pemimpin yang sangat menghargai keunikan anak buahnya. Dia tak pernah mengarahkan wartawan dan tim kreatif di bawahnya, sesuai kemauan dan gayanya. Ada kepercayaan, yang membuahkan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, bahkan untuk seorang mahasiswa yang bergabung dalam timnya.
“Saya bergabung di Monitor, saat masih kuliah. Sebagian besar tim Monitor saat itu, merupakan awak redaksi Hai, sehingga mereka sudah mengetahui apa yang harus dilakukan. Meskipun belum jelas kapan tabloid, yang sebelumnya berbentuk majalah, itu terbit, tetapi kami semua bekerja bebas. Namun, sebenarnya pembagian tugas, tanggung jawab, dan target yang diberikan Pak nDo (panggilan akrab Arswendo) sangat jelas,”papar Mayong, yang pernah menjadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul “Bersyukur Tanpa Libur”, Minggu (28/3/2021) sore secara dalam jaringan (daring).
Buku baru itu berisikan sembilan karya terakhir Arswendo, yang belum dipublikasikan itu, dilengkapi dengan karya dari keluarga dan koleganya, Minggu itu diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). Judul buku itu berasal dari tulisan tangan Arswendo.
Selain keluarga dan Mayong, pembicara dalam diskusi itu, adalah penulis Leila S Chudori, dan praktisi kehumasan Pritta Kemal Gani. Selain itu, sejumlah tokoh, antara lain seniman Butet Kertaradjasa, pengusaha kreatif Yoris Sebastian, dan sutradara film Gina S Noer memberikan testimoni mengenai sosok Arswendo.
" Sembilan tulisan Pak Ndo (panggilan akrab bagi Arswendo) itu ditemukan tak sengaja, dalam disk yang berserakan, saat kami mau menuliskan biografinya. Tak disangka, Pak Ndo sudah membantu menyiapkan sebagian isi biografi itu," jelas Soni Wibisono, putra sulung Arswendo dalam diskusi yang dipandu Presenter Budi Adiputro.
Sembilan tulisan Pak Ndo (panggilan akrab bagi Arswendo) itu ditemukan tak sengaja, dalam disk yang berserakan, saat kami mau menuliskan biografinya.
Sembilan tulisan karya Arswendo yang baru ditemukan dan dibukukan itu terkait sesuatu hal yang pertama dalam hidupnya, yakni anjing, mesin tik, ibu, celana panjang, tato, mobil, rumah sakit, mendalang, dan pertemuan dengan makhluk halus.
" Sungguh saya bersyukur bisa menggunakan mesin tik. Saya merasa hidup lagi, merasakan menemukan nyawa ketiga. Nyawa kedua adalah doa," tulis Arswendo saat di penjara. Tahun 1990 Arswendo diadili, dan dihukum selama lima tahun penjara, karena tabloid yang dipimpinnya itu memuat angket yang dinilai menghina umat Islam. Monitor, yang semula berbentuk majalah dan tahun 1972 pertama kali diterbitkan oleh TVRI, pada tahun 1986 dikerjasamakan dengan Kompas Gramedia dan diterbitkan menjadi tabloid. Waktu ditutup tahun 1990, Monitor menjadi salah satu media cetak dengan oplah terbesar di Indonesia.
Sembilan tulisan Pak Ndo (panggilan akrab bagi Arswendo) itu ditemukan tak sengaja, dalam disk yang berserakan, saat kami mau menuliskan biografinya. Tak disangka, Pak Ndo sudah membantu menyiapkan sebagian isi biografi itu.
Dasar kejujuran
Mayong mengakui, sampai saat ini rasanya tidak ada wartawan di Indonesia yang bisa menandingi Arswendo dalam kreativitasnya melahirkan karya. Bukan hanya tulisan di media tempatnya dahulu bergabung, seperti Harian Kompas, majalah Hai, ataupun Monitor, tetapi juga puluhan buku, skenario, dan naskah drama. Bahkan, Arswendo bisa bekerja secara bersamaan dengan menggunakan dua atau tiga mesin ketik dan sebuah laptop.
Meski demikian, dia tak pernah memaksa anak buahnya mengikuti gayanya, karena setiap pribadi memiliki keunikan sendiri. Sebagai pemimpin, dia percaya anggota timnya akan memberikan yang terbaik. Jika ada masalah, barulah Arswendo akan turun tangan.
Bahkan, kepada seorang anak muda yang baru bergabung dalam timnya, Arswendo memberikan kepercayaan yang tinggi. Ia tak mendikte atau menggurui, tetapi menumbuhkan tanggung jawab.
“ Gaya kepemimpinan Pak Ndo sebenarnya, ya begitu. Karena kami bertemu hampir setiap saat, kami pun tidak menyadari kebesaran namanya di luar. Kantor pun sudah seperti rumah, sebab tak sedikit awak redaksi yang tidur di kantor. Kami bekerja dengan gembira,” imbuh Mayong.
Namun, Arswendo selalu menekankan kejujuran dari “pasukan”-nya, sebagai budaya yang dikembangkan di Kompas Gramedia, sebagai imbalan atas kepercayaan yang diberikannya.
Butet pun mengakui besarnya kepercayaan dari Arswendo, sebagai gaya kepemimpinannya, kepada awak redaksinya. Kejujuran menjadi pengikat dari kepercayaan itu. “Saya pernah ditugaskan ke Makassar, meliput Hari Pers Nasional (HPN). Saya diberi uang banyak, dan dibebaskan meliput apa, mau bikin tulisan seperti apa, dan mau ke mana saja. Jadi, saya bisa ke Toraja. Namun, Pak Ndo menegaskan tentang kejujuran. Apa pun yang saya keluarkan harus dilaporkan,”paparnya.
Kepercayaan yang melahirkan kebebasan untuk berekspresi itu juga dirasakan oleh Yoris dan Leila, yang sebenarnya tidak pernah menjadi anak buah langsung Arswendo. Pada masa itu, Yoris yang sedang magang di Hai pun merasakan suasana bebas yang memicu lahirnya kreasi “out of the box”, seperti tagline “Hanya Hai yang Bisa Begini”.
Budaya berpikir bebas untuk melahirkan kreativitas itu bermanfaat bagi Yoris dalam menekuni profesi di luar media, termasuk saat menjadi General Manager (GM) sebuah restoran internasional yang termuda di Asia, dan melahirkan tagline “I Love Monday”.
Menurut Yoris, gaya kepemimpinan dan berpikir kreatif dari Arswendo masih dirasakan sampai kini, terutama saat memimpin perusahaan yang bergerak di bidang usaha kreatif.
Saya pernah ditugaskan ke Makassar, meliput Hari Pers Nasional (HPN). Saya diberi uang banyak, dan dibebaskan meliput apa, mau bikin tulisan seperti apa, dan mau kemana saja. Jadi, saya bisa ke Toraja. Namun, Pak Ndo menegaskan tentang kejujuran.
Leila menambahkan, dia didatangi dan diminta bergabung dalam proyek penulisan yang dirancang oleh Arswendo, saat usianya baru 15 tahun. Saat itu, ia sudah menulis sebuah novelet atau novel pendek. “Pak Arswendo bersama mas Ardus M Sawega (pimpinan Hai, yang kemudian menjadi wartawan Kompas) datang ke rumah saya. Saya tak kenal, karena mereka gondrong. Untungnya, ayah saya mengenali,” kisahnya.
Sikap Arswendo yang mendatangi Leila, yang masih belia, bukan hanya menggambarkan ia percaya pada anak-anak muda, tetapi sekaligus menunjukkan ia pun mengikuti perkembangan zaman, dan melebur di dalamnya, seperti yang ia ungkapkan dalam novel Canting (1986), karyanya.
Ketika itu memang banyak anak muda, berusia belasan tahun, yang menghasilkan karya menarik dalam bidang penulisan dan penelitian. Selain membuat proyek penulisan bersama anak-anak muda berbakat, dan memberikan kesempatan pada pelajar sekolah menengah magang di majalah Hai, Arswendo juga mengundang anak-anak muda yang bergabung dalam Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) untuk berkreasi di media yang dipimpinnya.
Zaman berubah. Saat dalam penjara dan keluar dari penjara, kreativitas tak pernah mati. Pritta Gani merasakan hal itu, saat mengajaknya bergabung dengan Lembaga Studi Publik Relations (LSPR) yang dipimpinnya. Arswendo bukan hanya mengajar, tetapi juga menghidupkan teater dan gairah berseni di kampus, bahkan di seluruh Indonesia.
Semangatnya untuk berbagi, kebebasan, dan kejujuran dari Arswendo itu masih terasa hingga kini, melalui pojok Arswendo di perpustakaan LSPR London School dan ruang kreativitas yang terbangun.