Pandemi Covid-19 meruntuhkan aktivitas produksi film nasional. Para pekerja film yang bekerja tanpa standar gaji, asuransi, dan ikatan hukum terpaksa menganggur.
Oleh
Elsa Emiria Leba/Denty P Nastiti/Reny Sri Ayu/Sekar Gandhawangi/Budi Suwarna
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Rahmadia (tengah) berlatih aksi bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Rahmadia adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Rahmadia yang merupakan pemeran figuran dan pengganti aksi laga dan berbahaya untuk film ini mengakui turut terdampak pandemi Covid-19 yang memukul industri film di dalam negeri. Rahmadia pernah menjadi figuran dalam film laga The Raid.
Pandemi Covid-19 membuat para pekerja film mati kutu. Shooting hilang, penghasilan melayang. Para produser setiap hari menghitung kerugian, sementara pekerja film terus menguras tabungan untuk membiayai hidup. Ibarat film horor, hantu pandemi benar-benar menyeramkan.
Jumat (26/3/2021), belasan pemuda berprofesi sebagai pemeran pengganti (stuntman) hadir di sebuah studio di Depok, Jawa Barat. Mereka melancarkan pukulan, tendangan, dan gerakan pertarungan lainnya. Namun, para pemuda yang tergabung dalam komunitas Pinraha Stunt Indonesia itu tidak sedang melakukan adegan shooting, mereka hanya latihan. Harapannya, jika sewaktu-waktu ada tawaran main film layar lebar atau webseries, mereka sudah siap.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, jadwal latihan lebih banyak dibandingkan jadwal shooting yang dilakoni para anggota komunitas pengganti itu. Bahkan, empat bulan pertama setelah pandemi melanda Indonesia dan pembatasan sosial dilakukan, praktis mereka benar-benar menganggur. Padahal, sebelum pandemi setiap bulan mereka bisa terlibat dalam 5-6 proyek film bioskop, webseries, iklan, atau acara televisi.
”Itulah susahnya hidup di film. Kalau (shooting) berhenti, tidak ada pemasukan apa-apa. Sebisa mungkin saya macul, nukang, ngelas, semua saya kerjakan. Kalau tidak begitu, kayak orang bodoh, tidak kerja, tidak ada pendapatan,” tutur Rahmadia, anggota Piranha Stunt Indonesia, yang terlibat sebagai pemeran pengganti dan pemeran pendukung dalam film The Raid.
Kompas/Priyombodo
Muhammad Yazid (kanan) berlatih gerak bela diri untuk film laga di Studio Piranha Stunt Indonesia di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021). Muhammad Yazid adalah salah seorang pendiri Piranha Stunt Indonesia. Pandemi Covid-19 yang memukul industri film di Tanah Air berdampak pada para aktor pemeran figuran dan pengganti.
Hal senada dikatakan Muhammad Yazid. Dia mengaku, pendapatannya sebagai pemeran pengganti berkurang hingga 75 persen gara-gara pandemi. Ia dan kawan-kawannya harus bertahan hidup dengan uang tabungan yang dikumpulkan susah payah. ”Kami tertolong karena ada produksi film Gatot Kaca,” ujarnya.
Selama bertahun-tahun bekerja di dunia film, baru kali ini saya mengalami kondisi sangat berat. Waktu krisis 1998, saya cuma nganggur selama empat bulan, sekarang 10 bulan. (Didin Syamsudin)
Didin Syamsudin, yang berkecimpung di industri film sejak 1971, merasakan dahsyatnya pukulan pandemi. Ia menganggur sekitar 10 bulan terhitung sejak akhir 2019 ketika ia terlibat dalam shooting film Miracle. Ia baru dapat pekerjaan lagi pada pengujung September 2020. ”Selama bertahun-tahun bekerja di dunia film, baru kali ini saya mengalami kondisi sangat berat. Waktu krisis 1998, saya cuma nganggur selama empat bulan, sekarang 10 bulan,” katanya.
Situasi bertambah berat ketika anaknya terinfeksi Covid-19 dan meninggal. ”Tahun 2020 jadi tahun terberat buat saya sekeluarga,” ujar Didin yang beralih profesi menjadi tukang jahit dibantu seorang temannya.
Di Makassar, Sunarti Sain, Eksekutif Produser 786 Productions, gundah gulana lantaran tiga film yang ia produksi terpaksa ia tahan penayangannya. Keputusan itu diambil menyusul hasil buruk film De Toeng yang tayang Februari lalu ketika kasus pandemi melonjak tajam.
Film yang diangkat dari legenda horor asal Jeneponto itu hanya meraih 35.000 penonton atau sepertiga dari target 100.000 penonton. ”Modal tidak kembali, merugi tentu saja. (Saya) jadi tidak enak sama pemodal. Untuk film yang belum tayang, saya masih bingung menjelaskan kepada pemodal,” katanya.
Dalam situasi normal, lanjut Sunarti, rumah produksi yang menghasilkan film-film berlatar belakang budaya Bugis-Makassar dan suku-suku lain di Sulsel itu bisa memproduksi 3-4 film setahun. Sejak pandemi, hanya satu film yang diproduksi, yakni Ambo Nai Sopir Andalan.
”Memproduksi satu film saja rasanya agak memaksa. Kami usahakan biaya dibuat seefisien mungkin dan bekerja dengan protokol kesehatan ketat,” tambah Sunarti yang pernah sukses dengan film Uang Panai’, film Bugis-Makassar pertama yang menggetarkan jaringan bioskop besar dan meraih 500.000-an penonton.
Situasi serupa dihadapi Ponti Gea, pembuat film berbahasa Nias dan Batak. Ia terpaksa berhenti berkarya pada awal pandemi. Setelah beradaptasi dengan situasi pandemi, ia mulai membuat beberapa film pendek berdurasi 15-20 menit untuk diunggah di Youtube, seperti Covid-19 and The Fear (2020). Sayang, hasilnya mengecewakan. ”Yang ada kita keluar uang tanpa pemasukan. Kita produksi, tetapi tidak ada hasil karena bioskop tidak buka bahkan televisi pun tidak mau putar,” kata Ponti dari Nias.
Kegagalan itu, menurut Ponti, akibat penerapan protokol kesehatan yang membatasi kreativitas pembuat film. Pengambilan gambar hanya dilakukan di rumah. Jumlah pemain pun hanya empat orang. Film jadi kehilangan daya tarik buat penonton.
Kondisi Nias yang perlahan menuju zona hijau mendorong Ponti untuk memproduksi serial The Jungle Boys: The Hidden Treasure of the Island sejak Agustus 2020. Pengambilan gambar dengan protokol kesehatan ketat berakhir akhir Maret lalu. Ia lantas memasarkan film serialnya lewat Okeflix, sebuah layanan bioskop virtual baru dari Indonesia. Hasilnya, membuat ia kecewa. Sejak dirilis pada Februari lalu, tiket film itu baru laku 50-an dengan harga satuan Rp 4.000.
”Kalau dihitung-hitung, saya mungkin baru dapat sekitar Rp 100.000. Shooting belum selesai, saya sudah habis hampir Rp 600 juta karena harus membiayai tim yang terdiri atas 13 orang,” kata Ponti dengan tawa kecut.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pengerjaan sunting sebuah film yang tengah dalam tahap produksi di Belantara Films, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (2/3/2021).
Serbuan pandemi terjadi justru ketika industri film bioskop sedang bersinar terang. Film yang ditayangkan di bioskop pada 2018 dan 2019 masing-masing 128 dan 129 buah. Penontonnya melampaui angka 50 juta setiap tahunnya. Semua itu langsung lenyap disapu pandemi. Hanya tujuh judul film Indonesia beredar di bioskop dengan jumlah penonton 390.000 orang.
Pukulan pandemi dirasakan nyaris merata dari investor hingga pekerja film di struktur paling bawah. Pasalnya, mereka adalah pekerja lepas yang hanya bisa mendapatkan uang jika industri film berputar.
Sejak Oktober 2020, kegiatan shooting pelan-pelan bersemi lagi dan tawaran pekerjaan mulai menghampiri para pekerja film. Namun, situasi masih belum pasti lantaran belum ada tanda-tanda pandemi bakal segera berhenti.