Bekerja Tanpa Jaminan, Tragedi Pekerja Sinema
Pandemi Covid-19 menjadi babak tragedi bagi para pekerja film yang selama ini bekerja tanpa standar gaji, asuransi, dan ikatan hukum.
JAKARTA, KOMPAS-Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem industri perfilman nasional. Begitu pandemi tiba, banyak perusahaan film langsung tumbang karena produksi terhambat. Akibatnya, para pekerja film yang bekerja tanpa standar gaji, asuransi, dan ikatan hukum terpaksa menganggur.
Berhentinya produksi membuat para pekerja film tak mendapatkan penghasilan. Beberapa di antara mereka bertahan dengan banting stir menjadi petani atau tukang las, dan sebagainya sambil tetap menjaga optimisme agar perfilman nasional bangkit kembali.
Rahmadia dari komunitas pemeran pengganti Piranha Stunt Indonesia menuturkan, sebelum pandemi ia biasa terlibat dalam lima hingga enam proyek film sebulan. Namun, begitu ada pandemi, aktivitas aktor pendukung film The Raid ini praktis berhenti.
Itulah susahnya hidup di film. Kalau (syuting) berhenti, tidak ada pemasukan apa-apa. Sebisa mungkin saya macul, nukang, ngelas, semua saya kerjain. Kalau tidak gitu, kayak orang bodoh, tidak kerja, tidak ada pendapatan.(Rahmadia)
“Itulah susahnya hidup di film. Kalau (syuting) berhenti, tidak ada pemasukan apa-apa. Sebisa mungkin saya macul, nukang, ngelas, semua saya kerjain. Kalau tidak gitu, kayak orang bodoh, tidak kerja, tidak ada pendapatan,” ungkapnya, di Depok, Jawa Barat, Jumat (26/3/2021).
Lima bulan setelah pandemi, sutradara asal Nias, Ponti Gea memproduksi serial The Jungle Boys: The Hidden Treasure of the Island. Pengambilan gambar serial ini tetap memerhatikan protokol kesehatan dan akan berakhir pada akhir Maret 2021.
Karena nyaris semua bioskop konvensional lumpuh, Ponti memilih memasarkan film serial itu lewat layanan bioskop virtual. Namun, cara ini rupanya masih tidak bisa menggaet penonton seperti sebelum pandemi.
Sejak dirilis pada Februari lalu, The Jungle Boys baru menjual sekitar 50an tiket seharga Rp 4.000. “Kalau dihitung-hitung saya mungkin baru dapat sekitar Rp 100.000. Syuting belum selesai, sedangkan saya sudah habis hampir Rp 600 juta karena harus membiayai tim ada 13 0rang,” kata Ponti sambil tertawa.
Sunarti Sain, Eksekutif Produser 786 Productions saat ini juga gundah. Ada tiga film produksinya yang hingga kini terpaksa dia tahan dan tak ditayangkan. Puluhan miliar mengendap. Modal tak kembali.
Sebelumnya dia sempat menayangkan satu Film berjudul De Toeng. Film yang diangkat dari sebuah legenda horor asal Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tayang di bioskop pada Februari lalu, Sunarti harus menelan kekecewaan. Target 100.000 penonton hanya tercapai 35.000.
“Modal tidak kembali. Merugi tentu saja. Jadi tidak enak sama pemodal. Untuk film yang belum tayang, saya masih bingung menjelaskan kepada pemodal. Jika situasinya masih tetap seperti ini, saya ragu melepas film yang sudah diproduksi,” katanya.
Ketua Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) Gunawan Paggaru mengatakan, jaminan sosial hingga sekarang belum menyentuh pekerja industri film. Belum ada regulasi yang mengatur hubungan industrial dengan pekerja film yang sebagian besar adalah pekerja lepas.
“Belum ada perlindungan sepanjang sejarah industri perfilman. Pekerja tidak bisa mengakses BPJS Ketenagakerjaan karena mereka adalah freelancer (pekerja lepas). Ada yang perlu dibenahi agar hubungan industrial dengan pekerja industri film diatur,” kata Gunawan saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (25/3/2021).
Kondisi ini menempatkan pekerja film di posisi rentan saat pandemi Covid-19. Mereka kehilangan pekerjaan karena produksi film terpaksa dihentikan sementara. Pendapatan pun ikut hilang. Ketiadaan jaminan sosial memperburuk kondisi mereka.
Ada sekitar 7.000 pekerja industri film dan televisi yang menjadi anggota KFT. Sebanyak 4.500 orang terlibat aktif di produksi film dan televisi, lalu 2.500 orang di antaranya kehilangan pekerjaan karena produksi dihentikan saat pandemi. “Itu hanya yang terdata di organisasi,” kata Gunawan.
Begitu produksi film dihentikan, orang di level pekerja (seperti asisten dan pembantu umum) bisa bertahan hidup hingga seminggu dari upah yang didapat. Pekerja di level master (seperti kameramen dan penata artistik) bisa bertahan sekitar enam bulan, sementara level kreator (seperti sutradara, produser, dan penulis skenario) enam bulan hingga setahun.
Baca juga: Layanan OTT pada Peta Baru Film Indonesia 2021
Bioskop jadi andalan
Kritikus film Hikmat Darmawan berpendapat, selama ini jalur distribusi terbatas di bioskop sehingga film tidak bisa dipasarkan. Sementara itu, di luar negeri film bisa dipasarkan ke festival, bioskop khusus, atau televisi.
Saat ini, industri film bisa terjun ke beberapa platform over the top (OTT), seperti layanan streaming dan bioskop daring. Akan tetapi, memang harus diakui skema monetisasi OTT belum sebaik bioskop.
“Meskipun tidak untung sebesar bioskop, pembuat film bisa tetap produksi buat OTT untuk bertahan di kondisi seperti ini. Mereka bisa membuat produksi yang lebih murah dan memanfaatkan resources sederhana. Pembuat film juga bisa membuat film festival atau arthouse, itu bisa dipasarkan di luar negeri karena ada nilainya sendiri,” tutur Hikmat.
Strategi lainnya adalah dengan mendorong produksi film animasi Indonesia. Selain itu, pembuat film bisa melakukan restorasi film lawas dengan berbagai macam genre. Produksi film semacam ini bisa mendapatkan untung lewat OTT apabila biaya produksi bisa ditekan.
Hikmat menilai, di masa depan, keberadaan bioskop dan OTT akan integral satu sama lain. Industri bioskop akan kembali bangkit. Untuk saat ini, OTT adalah wahana untuk bertahan bagi para sineas sembari mencari cara monetisasi yang tepat.
Untuk itu, lanjutnya, masa pandemi ini adalah momen yang tepat bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan restrukturisasi industri perfilman dengan melakukan investasi strategis atau memberikan insentif di wilayah strategis untuk membangun infrastruktur. “Apalagi potensi pasar kita besar kalau asumsi saya Indonesia memiliki sekitar 80 juta penonton potensial,” katanya.
Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Chand Parwez menambahkan, perfilman Indonesia sebenarnya dalam kondisi positif. Kontribusi sektor industri film ke produk domestik bruto (PDB) mencapai sekitar Rp 15 triliun pada 2019. Di samping itu, pemerintah daerah menerima pemasukan berupa pajak hiburan.
"Industri perfilman Indonesia seharusnya \'lepas landas\'. Akan tetapi, pandemi yang mulai terjadi tahun lalu menyebabkan hanya tujuh judul film Indonesia beredar di bioskop dengan jumlah penonton 390.000 orang. Ini adalah kerugian besar bagi industri ataupun negara," ujarnya.
Sebelumnya, sebanyak 17 asosiasi profesi perfilman mengajukan surat terbuka kepada pemerintah tentang nasib industri perfilman dan kreatif. Para insan film mengajukan lima permintaan. Pertama, stimulus distribusi film dengan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Baca juga: Penayangan Eksklusif di Platform ”Streaming” Gantikan Semarak di Bioskop
Kedua, kampanye “Kembali Menonton di Bioskop” yang berkoordinasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan. Ketiga, keringanan pajak. Keempat, upaya memberantas pembajakan film. Kelima, percepatan vaksinasi bagi pekerja industri film.
“Kami butuh dukungan pemerintah. Pandemi membuat kita kembali ke titik nol setelah industri film sempat naik beberapa tahun terakhir,” kata Ketua Indonesian Cinematographer Society (ICS) Anggi Frisca, Jumat.(LSA/SKA/MED/DNA/REN/HRS)