Guru Agama Punya Andil Penting dalam Moderasi Beragama
Guru pendidikan agama memegang peran strategis menguatkan moderasi beragama di kalangan peserta didik. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai kebaikan kepada murid maupun masyarakat.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru pendidikan agama merupakan agen strategis dalam moderasi beragama. Mereka bukan sebatas pendidik yang mengajarkan wawasan keilmuan, melainkan membentuk karakter untuk kehidupan.
Founder Wahid Foundation Yenny Zannuba Wahid mengatakan, guru pendidikan agama merupakan orang-orang berilmu. Dalam agama Islam, mereka diharapkan sebagai orang-orang yang mengajarkan kebaikan dan menjauhi hal-hal buruk.
Dia menceritakan, Amerika Serikat dalam deklarasi kemerdekaannya menyebut the pursue of happiness atau mengejar kebahagiaan. Sementara dalam Islam, Yenny mengatakan terdapat ungkapan menggapai kebahagiaan lahir dan batin.
Metodologi atau strategi mengajar lebih penting dibandingkan hanya mengedepankan bahan ajar. (Lukman Hakim Saifuddin)
Hal itu bisa dicapai jika masyarakat mampu mengamalkan ilmu dengan baik dan sedekah. Islam juga mengatakan pentingnya kesetaraan antarsesama umat.
Di sejumlah negara, dia mengamati, moderasi beragama mulai digeliatkan. Namun, banyak pula promosi moderasi beragama di negara lain baru sebatas promosi di kalangan elit. Sementara di Indonesia, praktik itu telah lama diserukan.
”Guru-guru pendidikan agama Islam mesti selalu menjadi penggerak moderasi beragama sampai ke masyarakat. Seluruh dunia sekarang menghadapi kekacauan, mulai dari isu disrupsi teknologi, pandemi Covid-19, masalah lingkungan, sampai emosional. Tugas guru pendidikan agama Islam memang tampaknya berat, tetapi sungguh berperan mulia,” ujar Yenny saat menghadiri Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Summit 2021, Sabtu (27/3/2021), di Jakarta.
Menteri Agama (Menag) Periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, guru pendidikan agama mengemban amanah membangun kesadaran moderasi beragama untuk siswa sejak usia dini. Guru pendidikan agama Islam, khususnya, mesti mampu menyampaikan pesan esensial dari Islam.
”Inti agama Islam adalah melindungi kemanusiaan, membangun toleransi, mampu menghormati keberagaman, tidak memaksakan kehendak, menghindari kekerasan, dan menjaga budaya lokal,” katanya.
Lukman menjelaskan, Islam adalah agama yang damai. Kedamaian mensyaratkan cinta. Oleh karena itu, dia berharap para guru pendidikan agama selalu memiliki cinta sejak dalam pikiran.
Menjadi individu yang moderat, lanjut dia, harus berada di tengah. Dia mengibaratkan seperti tiga orang berjalan beriringan. Orang kedua berjalan di tengah dan harus memahami orang pertama ataupun ketiga.
”Saya berharap kepada guru untuk mengedepankan kaidah. Metodologi atau strategi mengajar lebih penting dibandingkan hanya mengedepankan bahan ajar,” imbuh Lukman.
Aksi nyata
Menag Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan, moderasi beragama merupakan perekat semangat beragama dan komitmen berbangsa. Moderasi beragama menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis demi Indonesia maju.
Diseminasi moderasi beragama membutuhkan sinergi. Jika sinergi terwujud, moderasi beragama memberikan pengaruh positif ke kehidupan masyarakat sehari-hari, sektor pendidikan, keamanan, politik, dan kelangsungan negara.
Di sektor pendidikan, mendesain moderasi beragama harus terjadi di jenjang pendidikan formal, informal, dan nonformal. Bahan ajar diisi esensi nilai agama.
”Untuk menguatkan moderasi beragama, kami telah mengembangkan empat modul. Salah satu modul menyoal integrasi moderasi beragama pada pendidikan agama Islam. Kami harap para guru pendidikan agama Islam tidak berhenti pada kegiatan simbolik, tetapi aksi nyata untuk siswa,” kata Yaqut.
Ketua Umum AGPAII Mahnan Marbawi menyampaikan, AGPAII telah berdiri sejak 14 tahun lalu. Kini, kepengurusan AGPAII menyebar di 253 kabupaten/kota. Berbagai upaya mendukung visi moderasi beragama dari pemerintah, AGPAII telah menyelenggarakan berbagai program.
Sebagai contoh, AGPAII dan The Asia Foundation menjalankan program pencegahan tindak ekstremisme. Contoh lain adalah program guru pelopor moderasi beragama dari sekolah.
PPIM UIN Syarif Hidayatullah melalui laporan survei bertemakan ”Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru di Indonesia (2018)” menemukan, sebanyak 21 persen guru yang disurvei tidak setuju bahwa tetangga yang berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan. Lalu, 56 persen guru tidak setuju bahwa non-Muslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Sampel survei adalah 2.237 guru Muslim di semua jenjang (Kompas, 26/12/2020).