Tayangan Pernikahan Pasangan Selebritas dan Perdebatan Kepentingan Publik
Polemik penayangan acara pernikahan pasangan selebritas di televisi terestrial bisa menjadi langkah awal mengevaluasi keberpihakan media massa penyiaran terhadap kepentingan publik.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Persiapan pernikahan pasangan selebritas Aurel Hermansyah-Atta Halilintar yang disiarkan di salah satu stasiun televisi swasta mengundang perdebatan. Selain durasi penayangan yang dianggap berlebihan, konten seperti itu dinilai tidak masuk dalam definisi kepentingan publik ruang penyiaran di Indonesia.
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) mengkritik Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tidak tegas menindak televisi swasta yang menayangkan momen itu. KPI Pusat hanya melayangkan surat peringatan kepada pihak stasiun televisi pada 17 Maret 2021.
Kejadian seperti itu bukan kali pertama. Tujuh tahun lalu, KPI Pusat juga hanya mengeluarkan surat teguran bernomor 2415/K/KPI/10/14 untuk tayangan langsung pernikahan pasangan selebritas Raffi Ahmad dan Nagita Slavina selama dua hari berturut-turut, 16-17 April 2014.
Penayangan pernikahan pasangan selebritas di stasiun televisi secara langsung dengan durasi berlebihan, dalam catatan anggota Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Deddy Risnanto, telah terjadi satu dekade lebih. Tahun 2001 terdapat tayangan pernikahan Eko Patrio-Viona dan tahun 2008 muncul pula siaran pernikahan pasangan Bunga Citra Lestari-almarhum Asraf Sinclair.
”Bahkan, pernikahan anak tokoh masyarakat pun disiarkan di stasiun televisi swasta, seperti acara pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Rubi Aliya Rajasa (2011) dan Gibran Rakabuming Raka-Selvi Ananda (2015),” ujarnya dalam diskusi Konten Media Penyiaran Tanggung Jawab Siapa?, Rabu (24/3/2021) petang.
Deddy menyampaikan, penayangan konten pernikahan pasangan selebritas atau tokoh masyarakat menghasilkan iklan. Namun, masuk tidaknya konten itu dalam definisi kepentingan publik, katanya, harus ditelaah secara kritis.
”Definisi kepentingan publik mengacu ke siapa? Kalau di industri televisi, acuan pelaku industri masih pengukuran Nielsen. Hingga sekarang, pengukuran Nielsen menjadi patokan utama para stasiun televisi,” katanya.
Di media sosial, pasca-menyatakan sikap, akun KNRP dihujani komentar pro dan kontra. Ada warganet mengatakan lebih baik menonton konten pernikahan pasangan selebritas daripada sinetron Indonesia. Ada pula warganet yang menyarankan agar ganti saluran televisi apabila tidak suka menonton pernikahan. Warganet lainnya meminta KNRP tidak menyalahkan acara pernikahan pasangan selebritas, tetapi mendorong KPI untuk menyeleksi acara yang lebih tidak berfaedah.
Manajer Penelitian Remotivi Muhamad Heychael mengatakan, pro-kontra warga tersebut menandakan ada masalah dalam memahami regulasi dan cakupan kepentingan publik dalam penyiaran.
Definisi kepentingan publik selalu dikaitkan dengan jumlah penonton atau rating. Definisi ini menyalahi landasan filosofis penyiaran sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. (Muhamad Heychael)
Definisi kepentingan publik selalu dikaitkan dengan jumlah penonton atau rating. Definisi ini menyalahi landasan filosofis penyiaran sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Penayangan langsung acara pernikahan pasangan selebritas ataupun tokoh masyarakat bukan hanya melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dia menilai kasus itu juga mengkhianati keseluruhan prinsip-prinsip UU No 32/2002.
”Ada masyarakat sedang menghadapi bencana, tetapi tidak disiarkan. Ini kepentingan publik yang terabaikan,” kata Heychael.
Ketua Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran Eni Maryani menduga, banyak warga tidak paham definisi kepentingan publik dan hak mereka. Dia juga menduga banyak warga tidak tahu fungsi KPI dan P3SPS.
Jika membaca komentar-komentar warganet di media sosial secara cermat, dia menilai masyarakat hanya paham mereka butuh konten televisi yang bagus. Konten pernikahan pasangan selebritas dinilai lebih baik dari tayangan sinetron dan konten lainnya di televisi.
Mengacu pada UU Penyiaran, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Eni berharap, kasus penayangan pernikahan pasangan selebritas atau tokoh masyarakat menjadi jalan untuk mengevaluasi konten-konten siaran lainnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro, Lintang Ratri, saat dihubungi, Kamis (25/3/2021), menjelaskan, KPI membuat program evaluasi konten program setiap semester dan bekerja sama dengan sepuluh perguruan tinggi negeri di Indonesia. Namun, hanya beberapa program acara televisi yang dipilih. Metode riset seperti itu diragukan validitas dan reliabilitasnya.
”Padahal, UU No 32/2002 mengamanahkan keberagaman konten siaran dan kepemilikan. Namun, pada akhirnya, publik selalu disalahkan atas buruknya tayangan televisi dengan mengatakan bahwa konten yang ada adalah selera publik,” tutur Lintang.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat Adiyana Slamet menceritakan, dalam kasus tayangan pernikahan pasangan selebritas Aurel Hermansyah-Atta Halilintar, KPID Jawa Barat menerima keluhan dari masyarakat. Internal KPID Jawa Barat sempat menyelenggarakan rapat pleno untuk mengevaluasi pelanggaran sesuai P3SPS.
Rapat berlangsung sebelum KPID Jawa Barat mengirim surat rekomendasi ke KPI Pusat agar menindak tegas stasiun televisi swasta bersangkutan. KPID Jawa Barat juga menyarankan agar KPI Pusat membentuk tim investigasi khusus.
”Kami ingin porsi tayangan proporsional dan tidak melupakan amanah porsi konten lokal,” katanya.