Masalah guru honorer dan distribusi guru yang tidak merata menunjukkan guru belum tertata dan terkelola dengan baik. Perekrutan guru PPPK diharapkan menjadi momentum untuk menata dan mengelola guru dengan lebih baik.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
DOK RICKY FERNANDO HUTAPEA
Siswa SD Negeri di Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, saat hari pertama masuk sekolah, Senin (15/7/2019). Banyak sekolah kekurangan guru setelah keluarnya surat keputusan Bupati Simalungun yang menghentikan guru yang belum berpendidikan S-1.
Pemerintah merekrut satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) mulai 2021 untuk mengatasi kekurangan guru aparatur sipil negara (ASN) di sekolah negeri. Langkah ini sekaligus juga untuk menyelesaikan masalah guru honorer yang selama ini menjadi tumpuan dalam mengatasi kekurangan guru.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan, hingga tahun 2020 kekurangan guru ASN di sekolah negeri mencapai 1.020.921. Dengan memperhitungkan jumlah guru yang pensiun saja, hingga 2024 kekurangan guru ASN di sekolah negeri akan bertambah 291.838.
Jumlah guru honorer di sekolah negeri yang sebanyak 742.459 orang tidak akan mencukupi kebutuhan itu. Karena itu, perekrutan 1 juta guru PPPK juga terbuka bagi sarjana pendidikan yang telah mengikuti pendidikan profesi guru (PPG), tetapi belum mengajar, atau PPG pra-jabatan.
Dalam pelaksanaannya, muncul polemik terkait desakan adanya afirmasi yang adil bagi guru honorer serta ketersediaan anggaran untuk gaji dan tunjangan bagi 1 juta guru PPPK. Alasan anggaran juga yang membuat pemerintah selama beberapa tahun terakhir menghentikan sementara (moratorium) perekrutan pegawai negeri sipil, termasuk guru, yang akhirnya ”melahirkan” banyak guru honorer.
Perekrutan guru honorer karena kebutuhan guru tak terbendung lagi. Setiap tahun, puluhan ribu guru pensiun, selain itu juga ada penambahan sekolah ataupun kelas baru untuk menampung jumlah siswa yang terus bertambah seiring pertambahan penduduk.
Dengan memperhitungkan penambahan sekolah/kelas baru, Pemerintah Provinsi Banten, misalnya, membutuhkan tambahan sekitar 11.000 guru ASN. Kekurangan guru selama ini dipenuhi oleh 7.922 guru honorer. ”Pengadaan guru sangat krusial. Kalau tidak diatasi, bisa berdampak buruk pada pendidikan,” kata Komarudin, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Banten dalam rapat dengan komisi X DPR, Selasa (23/3/2021).
Kekurangan guru, berdasarkan data Kemendikbud, terjadi di semua daerah. Namun, menurut Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Solehudin dan Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Hafid Abbas, jumlah guru sebenarnya mencukupi, hanya saja distribusinya tidak merata sehingga ada daerah-daerah yang kekurangan guru, terutama daerah-daerah terpencil.
Jika jumlah guru sekitar 4 juta dan jumlah sisa sekitar 50 juta—di sekolah negeri dan swasta—rasio guru dan siswa di Indonesia sekitar 1:12-13. Ini, menurut Hafid, rasio yang ideal karena standar internasional 1:21-22. ”Sayang, negara tidak hadir menempatkan guru-guru ini dengan baik,” kata Hafid dalam rapat di Komisi X DPR, 18 Maret lalu.
KEMDIKBUD
Perbandingan guru yang diangkat dan pensiun.
Pembagian wewenang
Pembagian kewenangan pusat dan daerah, pengaturan mengenai guru di banyak peraturan yang seringkali berbeda satu sama lain, serta penempatan guru yang belum berbasis sistem merit (kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar) menjadi akar masalah pengadaan dan distribusi guru. Solehudin mengatakan, selama ini guru-guru PNS di daerah terpencil bisa dengan mudah mengajukan pindah penugasan. Insentif bagi guru di daerah terpencil yang tidak sebanding dengan tantangan yang dihadapi di daerah seringkali menjadi alasan.
Baru-baru ini, misalnya, sembilan guru mangkir mengajar di pulau terpencil di Kepulauan Riau (Kompas.id, 16 Maret 2021). Bukan untuk membenarkan sikap para guru tersebut, melainkan kondisi serupa jamak terjadi di daerah-daerah terpencil lainnya. Di Papua, misalnya, menurut Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Christian Sohilait, guru dihadapkan pada masalah keamanan, kondisi geografis yang sulit, juga kemiskinan.
Karena itu, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda berharap perekrutan guru PPPK ini dapat menjadi momentum untuk menata dan mengelola guru dengan lebih baik. Bukan hanya terkait distribusi, terlebih menyelesaikan masalah guru honorer yang telah menjadi bagian penting pendidikan selama ini.
Kami berharap masalah guru honorer tuntas pada tahun ini. Karena itu, harus ada percepatan dengan memberikan semacam afirmasi (kepada guru honorer). Demikian juga soal anggaran, harus jelas.
”Kami berharap masalah guru honorer tuntas pada tahun ini. Karena itu, harus ada percepatan dengan memberikan semacam afirmasi (kepada guru honorer). Demikian juga soal anggaran, harus jelas,” kata Syaiful.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN memang mengharuskan pengangkatan ASN melalui sistem seleksi. Meskipun begitu, pengabdian guru honorer selama ini hendaknya juga dijadikan pertimbangan. Bagaimanapun mereka telah menjadi bagian penting dalam pendidikan di Tanah Air selama ini, dan pemerintah bertanggung jawab atas keberadaan mereka.
KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO
Sebanyak 3.095 guru dan pegawai tidak tetap di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, menggelar aksi damai untuk menuntut kesejahteraan dan pengakuan dari pemerintah kabupaten, Rabu (4/10/2017) di Alun-Alun Cilacap, Jawa Tengah.
Langkah ini, menurut pakar pemerintahan dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono, diikuti dengan pengelolaan pendidikan oleh pemerintah pusat. Polemik anggaran untuk gaji dan tunjangan guru PPPK merupakan implikasi dari pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam urusan pendidikan.
”Di negara mana pun, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kalau kewenangan guru dan tenaga kependidikan diserahkan kepada daerah, bagaimana dengan daerah yang tidak mampu, yang pendapatan asli daerahnya tidak banyak. Akan terjadi standar yang berbeda karena kemampuan ekonomi (daerah) berbeda. Ini akan berakibat pada kesenjangan pendidikan antardaerah,” tutur Teguh.