Sinkronisasi Keahlian SMK yang Terus Digaungkan
Kebijakan mengenai keselarasan bidang keahlian atau "link and match" sekolah menengah kejuruan dengan dunia usaha/dunia industri terus digaungkan pemerintah. Keunggulan dan kondisi kewilayahan bisa dimanfaatkan.

Murid SMK mengencangkan sekrup pada mesin pendeteksi Covid-19 Genose C19 yang telah dirakit di Teaching Factory SMK SMTI, Umbulharjo, Yogyakarta, Rabu (3/3/2021).
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar episode Sekolah menengah Kejuruan (SMK) Pusat Unggulan. Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, Rabu (17/3/2021), di Jakarta, menjelaskan kebijakan itu bertujuan menjawab tantangan pembenahan kondisi SMK agar selaras dengan kebutuhan dunia usaha/dunia industri atau disingkat DUDI.
SMK yang sebelumnya pernah jadi penerima bantuan program SMK Center of Excellence (CoE) dapat ikut kembali. SMK lain yang belum pernah mengikuti program bantuan serupa juga bisa berpartisipasi.
Kemendikbud membuka target penerima bantuan sebanyak 895 SMK. Pemerintah menyediakan dana bantuan fisik Rp 1,4-4 miliar, sedangkan bagi SMK yang pernah ikut program SMK CoE akan diberikan dana Rp 200 juta. Selain dana, insentif pemerintah yang lain yaitu mengajak perguruan tinggi vokasi agar ikut mendampingi.
Arah SMK pun belum sepenuhnya disesuaikan dengan arah pembangunan daerah dan cenderung bergantung pada arahan pusat. Dan, daerah sangat bergantung kekuatan aktor politik.
Untuk mencapai tujuan tercipta keselarasan (link and match), Nadiem menyebut ada delapan subprogram yang akan wajib diikuti SMK peserta. Sebagai contoh, kurikulum disusun bersama, pembelajaran berbasis proyek nyata, dan peningkatan jumlah guru atau instruktur dari DUDI.
"SMK yang sudah mengikuti program ini mesti mengimbaskan ke SMK lainnya. Jadi, visi link and match benar-benar terwujud. Keselarasan SMK dengan DUDI tidak boleh cuma tanda tangan nota kesepahaman di atas kertas sebab kalau hal itu terjadi, link and match terus tidak akan terwujud," tegas dia.
Sejumlah pihak, termasuk pemerintah, meyakini, ketidakselarasan keterampilan yang diajarkan di SMK dengan kebutuhan DUDI menjadi penyebab utama angka pengangguran berlatar belakang SMK cenderung tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk lulusan SMK mendominasi dibanding tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 11,24 persen. Setahun berikutnya, Agustus 2019, TPT SMK masih dominan yaitu sebesar 10,42 persen. Kemudian, pada Agustus 2020, TPT SMK naik menjadi 13,55 persen dan masih menjadi TPT dominan dibanding jenjang pendidikan lainnya.

Sumber: Data olahan Puslitjak Balitbangbuk Kemendikbud
Upaya meneropong realitas kesesuaian spektrum keahlian SMK dengan kebutuhan DUDI sebenarnya kerap dilakukan oleh pemerintah. Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud, Sudiyono, di sela-sela seminar daring "Kebijakan Berbasis Bukti untuk Memperkuat Kemerdekaan Belajar dan Ketahanan Budaya di Masa Pandemi”, 7 Desember 2020, mencontohkan, tahun 2019, jumlah lulusan SMK yang menganggur terbanyak berasal dari bidang teknik otomotif (373.442 orang), teknik komputer dan informatika (246.091 orang), teknik mesin (221.368 orang), serta akuntansi dan keuangan (207.606 orang).
TPT SMK tertinggi tahun 2019 menurut bidang keahlian yaitu teknik instrumentasi (26,19 persen), kesehatan hewan (25,22 persen), teknik komputer dan informatika (19,67 persen), farmasi (19,07 persen), dan keperawatan (15,01 persen).
Dengan masih memakai basis data Sakernas BPS tahun 2019, Sudiyono menyebutkan ada lima sektor usaha yang secara nasional paling banyak menyerap lulusan SMK. Pertama, sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan motor (3,816 juta orang), industri pengolahan (3,495 juta orang), pertanian, kehutanan, dan perikanan (1,379 juta orang), sektor penyediaan akomodasi dan makan minum (1,254 juta orang), dan transportasi dan pergudangan (957.499 orang).
Baca juga: Pembenahan Sekolah Menengah Kejuruan Mesti Menyeluruh
Sekretaris Jenderal Ikatan Guru Vokasi Indonesia (IGVI) Rudi Nofindra, Jumat (19/3), di Jakarta, berpendapat, mengatasi permasalahan link and match keahlian lulusan SMK dengan DUDI semestinya berangkat dari daerah. Sebab, SMK berdiri di daerah, bahkan sampai pelosok desa.
"Idealnya, spektrum keahlian yang mau dikembangkan dan diajarkan di SMK selaras dengan potensi DUDI di daerah sekolah bersangkutan. Ini langkah awal," ujar dia.
Rudi membenarkan sudah ada program pemerintah untuk tujuan sinkronisasi bidang keahlian di SMK dengan prioritas potensi unggulan wilayah dan tenaga kerja. Pemerintah biasanya mengirim undangan dengar pendapat ke individu guru dan instansi, seperti dinas pendidikan.
Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo terdahulu pernah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Inpres ini menjadi landasan sinkronisasi bidang keahlian di SMK kala itu.

Guru SMKN 4 Semarang, Jawa Tengah, mengecek mesin di ruang otomotif sekolah tersebut, Kamis (4/2/2021). Kebijakan pembelajaran daring guna mencegah penularan Covid-19 masih diterapkan di sekolah-sekolah di Jateng, termasuk SMK. Ruang praktik yang biasanya digunakan para siswa kini sepi.
Dalam buku "Panduan Sinkronisasi Bidang Keahlian di SMK dengan Prioritas Potensi Unggulan Wilayah dan Tenaga Kerja (Kemendikbud, 2017)", dipaparkan gambaran kesesuaian prioritas unggulan provinsi dengan bidang keahlian di SMK daerah bersangkutan. Misalnya, provinsi Kalimantan Barat memiliki prioritas unggulan pertambangan, jasa, dan perikanan. Lalu, ragam bidang keahlian SMK yang sesuai yaitu energi dan pertambangan, pariwisata, dan kemaritiman. Ragam bidang keahlian SMK di provinsi itu yang tidak sesuai adalah teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan dan pekerjaan sosial, agribisnis dan agroteknologi, bisnis dan manajemen, seni dan industri kreatif, serta teknologi dan rekayasa.
Rudi menyampaikan, dari Kemendikbud juga secara berkala menambah, mengurangi, ataupun mengubah bidang sampai paket keahlian di SMK. Ini biasanya dituangkan dalam wujud surat keputusan direktur jenderal ataupun surat edaran direktur yang membawahi pembinaan SMK.
"Hanya saja, sosialisasi sampai ke bawah (para guru) seringkali tidak maksimal. Substansi gambaran makro yang diinginkan tidak sampai ke kami," kata dia.
Peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah, berpendapat, seperti jenjang pendidikan secara umum, tata kelola SMK sudah di daerah tetapi kebijakan masih sentralistik. Di sisi lain, daerah sangat bergantung pada kekuatan aktor politik di wilayah itu.
Baca juga: Sekolah Menengah Kejuruan Perlu Lebih Kontekstual dengan Kebutuhan Industri
Permasalahannya, struktur kurikulum sepenuhnya dibangun pemerintah pusat. Ruang untuk kelokalan sangat minim. Jika merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No.330/D/D5/KEP/KR/2017 misalnya, dari segi kompetensi dan mata pelajaran terdapat beberapa muatan mulai dari muatan nasional (A) Muatan Kewilayahan, Dasar Bidang Keahlian (C1), Dasar Program Keahlian (C2), dan Kompetensi Keahlian (C3). Merujuk pada konteks itu, Muatan Kewilayahan menjadi sangat relevan jika ingin dikembangkan sebagai bagian untuk membantu siswa memahami potensi wilayahnya. Namun, apabila merujuk pada struktur kurikulum, mata pelajaran pada Muatan Kewilayahan adalah pelajaran Seni Budaya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, bukan pada potensi lokal berbasis pada kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat di daerah.
Kewenangan pengelolaan SMK pada provinsi, merujuk pada UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, belum sepenuhnya optimal. Arah SMK pun belum sepenuhnya disesuaikan dengan arah pembangunan daerah dan cenderung bergantung pada arahan pusat. Dan, daerah sangat bergantung kekuatan aktor politik.
"Kalaupun ada langkah-langkah sinkronisasi atau relevansi bidang keahlian SMK, hal yang mesti dikritisi adalah sejauh mana peran pemerintah daerah dan DUDI daerah," kata Anggi.
Satu komando
Praktisi Pendidikan Kejuruan Bagiono Djokosumbogo saat dihubungi Selasa (23/3), menceritakan, ketidakselarasan bidang keahlian SMK dengan kebutuhan DUDI bukan isu baru. Sebab, pendidikan kejuruan sudah berkembang di Tanah Air sejak zaman kolonial Belanda. Di era Orde Baru melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita), pembangunan kebijakan sekolah kejuruan diikutsertakan. Upaya memajukan sekolah kejuruan masih kerap kali memakai pendekatan pendidikan atau suplai.
"Padahal, lanskap perekonomian dan kondisi DUDI amat penting disertakan. Dalam konteks permasalahan pengangguran lulusan SMK, isunya bukan sebatas perlu upaya sinkronisasi bidang keahlian dengan DUDI, melainkan juga pertumbuhan industri yang tidak bagus," tegas dia.
Di beberapa negara, vokasional sudah menjadi bagian strategi ekonomi sehingga tersistem mulai dari Jerman sampai Malaysia.
Inpres No 9/2016 mengamanatkan kementerian/lembaga punya peran masing-masing untuk mendukung gagasan pembenahan SMK. Bagiono menilai hal itu sebenarnya positif, tetapi tidak satu komando. Akibatnya, permasalahan ketidakselaran bidang keahlian SMK dengan kebutuhan DUDI masih muncul dan TPT lulusan SMK masih dominan.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Anton J Supit, vokasional merupakan bagian dari strategi perekonomian. Oleh karena itu, pendidikan vokasional yang di dalamnya menyangkut SMK semestinya dibuat satu sistem terpadu.
"Buat dulu definisi ajeg vokasional. Ketika sudah ada definisi pasti, sistem vokasional terpadu dibentuk. Keberadaan sistem berarti ada komando dan regulasi link and match yang terintegrasi," tutur dia.
Negara lain
Koordinator Kemitraan Pendidikan Kejuruan Industrie-und Handelskammer (IHK) Trier (Kadin Jerman) di Indonesia, Andreas Gosche, saat dihubungi Senin (22/3), menceritakan, sistem pendidikan vokasional di Jerman sudah terbangun sejak 1950. Untuk menciptakan keselarasan bidang keahlian, pelaku DUDI dilibatkan penuh.
Siswa lulusan sekolah menengah pertama yang tertarik masuk ke sekolah kejuruan harus mencari perusahaan. Dinas pekerjaan ataupun Kadin setempat ikut membantu dan memberikan layanan konsultasi.

Murid SMK menyiapkan katup yang akan dipasang pada mesin pendeteksi Covid-19 Genose C19 di Teaching Factory SMK SMTI, Umbulharjo, Yogyakarta, Rabu (3/3/2021).
"Perusahaan menghitung kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas keahlian pekerja. Ini baik untuk menjaga tidak ada kelebihan suplai tenaga kerja. Perusahaan juga sejak tahun awal terlibat dalam memberikan pembelajaran ke siswa," ujar dia.
Sekitar 50-70 persen anak muda di Jerman memilih masuk pendidikan vokasional. Setiap tahun selalu ada kampanye tentang kebanggaan pekerjaan profesi yang keahliannya diperoleh dari jenjang vokasional.
Upaya pemerintah melibatkan DUDI, lanjut Anton, perlu disambut positif. Apalagi, pemerintah sudah berkomitmen melibatkan DUDI dalam komite vokasi.
Di beberapa negara, vokasional sudah menjadi bagian strategi ekonomi sehingga tersistem mulai dari Jerman sampai Malaysia. Karena tersistem dengan baik, keterserapan lulusan sekolah kejuruan di DUDI tinggi. Pemerintah Indonesia bisa mengambil inspirasi dari pengalaman negara-negara tersebut.
"Mungkin tidak mencontoh utuh salah satu negara. Namun, pemerintah Indonesia menyesuaikan," imbuh Anton.
Baca juga: Pemerintah Kembali Gulirkan Gagasan Modifikasi Kurikulum SMK
Terlepas dari masih ada ketidaksempurnaan dalam kebijakan link and match bidang keahlian SMK dengan kebutuhan DUDI, Bagiono menekankan agar gagasan link and match terus digencarkan. Pengalaman pelaksanaan kebijakan-kebijakan dari era pemerintahan terdahulu semestinya jadi refleksi. Jika memungkinkan, kebijakan lama dan masih relevan dapat dilanjutkan.
Dia mencontohkan Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional dan Majelis Pendidikan Kejuruan Provinsi. Gagasan di balik pembentukan dua Majelis itu adalah melibatkan kelompok DUDI dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk kebutuhan link and match.
"Kebijakan Kemdikbud "SMK Pusat Unggulan" positif. Meski demikian, pengimbasan dari SMK yang sudah dilatih harus dikawal dan dipantau efektif tidaknya," tuturnya.
Menurut Bagiono, pelatihan kewirausahaan untuk siswa SMK mesti terus digeliatkan. Porsi lulusan yang memutuskan jadi pekerja atau buruh berkisar 72,9 persen dan wirausaha 27,1 persen. Sementara porsi lulusan SMA yang menjadi pekerja/buruh sekitar 65,6 persen dan berusaha sendiri/wiraswasta 34,4 persen.
"Hal itu sebagai solusi juga untuk mengatasi pengangguran di kalangan lulusan SMK. Kalau industri tidak bertumbuh, tidak bisa menyerap pekerja, tidak mungkin memaksakan lulusan SMK menjadi pekerja," imbuh dia.
Pendiri Forum Peduli Pendidikan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia, Marlock menggencarkan gagasan "SMK Mbangun Desa". Melalui gagasan ini, desa yang kini mengelola dana desa didorong berkolaborasi dengan SMK. SMK pun bisa membangun desa. Lulusannya dapat menjadi wirausaha dan membuka lapangan kerja sehingga perekonomian desa jadi maju.
"Jumlah SMK di Indonesia lebih dari 14.000 instansi. Sekitar 80 persen SMK swasta terletak di perdesaan. Jadi, SMK mesti turut memutar roda perekonomian desa," tutur dia.