Kisah Antropolog Inggris Mengunjungi Tanah Batak pada 1930-an
Antropolog Inggris dari Universitas Cambridge, Geoffrey Solomon Gorer, menceritakan kesannya terhadap tanah Batak yang dikunjunginya dalam beberapa pekan di Sumatera pada 1930-an.
Pedalaman Sumatera Utara pada dekade 1930-an baru saja ”terbuka” setelah Perang Batak berakhir dengan penaklukan pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat Batak yang bermukim di sekitar Danau Toba dan dataran tinggi di sekitar Bukit Barisan dan wilayah dekat pesisir barat Sumatera Utara.
Antropolog dan peneliti Inggris dari Universitas Cambridge, Geoffrey Solomon Gorer, dalam buku Bali and Angkor: A 1930’s Pleasure Trip Looking At Life and Death, terbitan tahun 1936, menceritakan kesannya terhadap tanah Batak yang dikunjunginya dalam beberapa pekan di Sumatera.
Geoffrey Gorer, yang juga sahabat penulis George Orwell yang tersohor dengan karya Burmese Days, menjelaskan, ada beberapa suku dengan tahapan peradaban yang berbeda di Pulau Sumatera. Penduduk Sumatera tahun 1930-an sebanyak 8 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 45 orang tiap mil persegi.
Gorer melakukan perjalanan melintasi bagian tengah Sumatera untuk mengunjungi suku Batak dan Minangkabau. Dia mendengar tentang keberadaan suku Aceh yang belum berhasil dikuasai Belanda sepenuhnya. Masa itu, orang Aceh disebutnya bebas bepergian dengan membawa pisau tanpa sarung–yang dimaksud adalah rencong.
Gorer menyebut sering terjadi penyergapan oleh kelompok orang Aceh terhadap rombongan orang Eropa. Orang Aceh disebutnya masih memelihara dan menghormati gajah yang menjadi bagian dari ritual kehidupan masyarakat Aceh. Dia mencatat, ada satu peristiwa orang Eropa berusaha mengapalkan gajah dari Aceh ke Eropa. Sekelompok orang Aceh menyerbu mereka dan membebaskan gajah yang sudah siap diangkut ke kapal.
Dari catatan tersebut, Geoffrey Gorer langsung membahas masyarakat Batak yang disebutnya menghuni dataran tinggi di tengah Pulau Sumatera di belakang Kota Medan di sekitar Danau Toba. Masyarakat Batak tersebar dalam kelompok-kelompok kecil.
Sebagian besar dataran tinggi tanah Batak dinilai cocok untuk bermukim warga Eropa karena memiliki udara yang segar. Meski demikian, ada bagian dataran di tanah Batak yang gersang.
Hingga awal abad ke-20, tanah Batak tidak banyak dikenal dunia luar. Secara fisik, orang Batak memiliki beberapa ciri tampilan wajah Eropa, lalu punya hidung yang lebih lurus dan pipih dibandingkan ras Mongoloid lainnya. Namun, Geoffrey Gorer menilai sulit menjelaskan ciri kulit orang Batak karena disebutnya perilaku kehidupan masyarakat waktu itu tidak terlalu menjaga kebersihan tubuh.
Orang Batak disebutnya bertubuh pendek gempal dan bersikap curiga serta tidak bersahabat kepada orang Eropa. Perempuan Batak berbusana kain hitam yang ditenun sendiri yang membungkus tubuh dari leher, pergelangan tangan, dan kaki. Perempuan Batak juga memiliki penutup kepala dari kain digelung yang panjanganya mencapai 4 yards, terlihat seperti bantalan besar.
Semasa itu, kerajinan perak Orang Batak dikenal luas, terutama anting-anting penghias telinga sebesar 6 inci (15 sentimeter). Para perajin perak Batak juga membuat kalung dan cincin yang indah.
Seni arsitektur Batak membangkitkan kekaguman Geoffrey Gorer yang menyebutnya menggunakan bambu sebagai bahan utama konstruksi rumah adat dan menggunakan atap dedaunan yang dikeringkan di Pulau Samosir.
Dia mencatat satuan rumah adat berupa panggung setinggi satu setengah meter memanjang berukuran 60 kaki x 30 kaki atau 18 meter x 9 meter. Demikian pula lumbung keluarga dibangun terpisah dari rumah panjang. Bagian kolong rumah adat dijadikan tempat menyimpan hewan peliharaan.
Tangga diletakkan di depan pintu rumah adat tersebut. Di dekat bangunan induk terdapat balkon dengan dinding batu setinggi 6 meter tempat kaum perempuan mengerjakan urusan rumah tangga.
Geoffrey Gorer mencatat keunikan dan keindahan atap rumah adat Batak yang dibuat melebar dan menyempit dengan bagian atap terpanjang mencapai 4,5 meter. Pada rumah-rumah adat Batak di Kabanjahe, dia mencatat adanya ornamen bentuk hewan, manusia, dan ornamen lain. Pola pewarnaan palang kayu hitam-putih di rumah yang ada di Kabanjahe dinilainya mirip dengan gaya Tudor di Inggris.
Jenis atap rumah adat lainnya adalah gaya atap yang bersusun beberapa tingkat indah. Atap memiliki pinggang di bagian tengah yang lebih sempit dari atap bagian atas dan bawah. Selain itu, ada rumah pertemuan dan juga gudang dengan berbagai hiasan bangunan lebih eksentrik dari gaya Roccoco di Eropa.
Kesan lain dicatat saat mengunjungi rumah adat di Pulau Samosir. Rumah adat di Pulau Samosir lebih kecil dibandingkan dengan Kabanjahe. Seluruh bangunan dibuat dari kayu dan memiliki dekorasi dan ornamen yang lebih indah dengan ukiran unik yang memiliki gaya Tionghoa.
Geoffrey Gorer mendapati kuburan batu atau sarkofagus di Pulau Samosir yang besar dan bentuknya ganjil. Pada bagian kepala sarkofagus terdapat manekin kecil dengan kepala yang besar tidak proporsional dengan hiasan kepala yang rata. Lutut diukirkan menyentuh dagu dan tangan menangkup. Bagian puncak sarkofagus memuncak dengan ujung menjulang di atas manekin.
Bagian mendatar atau tutup peti mati batu tersebut terukir wajah besar yang menakutkan. Di ujung lain sarkofagus terukir manekin kecil dan simbol kelamin lelaki atau phallus.
Selain keahlian dalam seni konstruksi dan arsitektur bangunan, menenun, dan pandai besi serta kerajinan perak, suku Batak dinilai ahli dalam mencatat dengan aksara gambar. Geoffrey Gorer mencatat adanya sejumlah manuskrip Batak yang dituliskan di kulit kayu yang dilihatnya di Museum Batak.
Menurut dia, para antropolog memperkirakan adanya hubungan suku Batak dengan suku-suku di daratan Asia. Di wilayah barat daya China, di sekitar Provinsi Yunnan-Provinsi Guizhou hingga timur laut India terdapat suku-suku yang memiliki kemiripan budaya dengan suku-suku di Nusantara.
Lebih lanjut, Gorer menerangkan, para antropolog memperkirakan penghuni awal Pulau Sumatra adalah ras Negroid yang diduga berasal dari Australia. Namun, kelompok masyarakat Negroid tersebut lenyap dengan kedatangan masyarakat Melayu Tua. Kelompok Melayu Tua tersebut, menurut dia, memiliki kaitan dengan suku Bangsa Khmer–mayoritas penduduk Kerajaan Kamboja saat ini.
Suku Batak hingga peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, menurut Gorer, masih berkuasa penuh di tanah Batak. Perkembangan teknologi mesin bakar dan industri karet mendorong kolonialis Eropa merangsek ke pedalaman Sumatera timur, yakni tanah Batak.
Belajar dari kegagalan pendekatan dengan kekerasan, Belanda mengizinkan misionaris menyebarkan agama Kristen ke tanah Batak. Gereja dan sekolah misi pun berkembang di tanah Batak.
Geoffrey Gorer mencatat, secara umum, orang Batak yang tidak memiliki pendidikan sekolah pun cukup cerdas dalam bermain catur. Kegiatan bermain catur ditemuinya di sana-sini.
Sebagian besar hunian masyarakat Batak berada di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Sekitar Brastagi dikelilingi perbukitan dengan hutan lebat dan air terjun terlihat di sekitar tebing-tebing perbukitan. Pada sekitar pepohonan lebat yang menjulang tinggi tergantung sulur liana, aneka pohon palem, dan beragam jenis pisang tumbuh subur.
Sementara di permukaan tanah tumbuh subur ragam bunga ipomea berwarna biru, bunga balsam, bunga impatient (warna merah), anggrek putih, anggrek coklat tumbuh menggantung di pepohonan, bunga jingga yang tumbuh menjalar di rerumputan. Aneka bunga tersebut membentuk warna-warni indah di dataran tinggi tanah Batak.
Gunung Sibayak menjulang tinggi menjadi latar pemandangan di tanah Batak. Sementara di dekat Danau Toba, air berkilau biru diapit padang rumput terjal di tebing mengelilingi danau, terlihat indah seperti fjord di Norwegia. Setelah menembus Samosir, Geoffrey Gorer melanjutkan perjalan turun ke pantai barat ke Kota Sibolga di sisi Samudra Hindia sebelum meneruskan petualangan beranjangsana ke Tanah Minangkabau.