Perkembangan teknologi membawa pengaruh besar bagi generasi muda. Sebagian besar mengakses informasi melalui internet sehingga mudah terpapar berbagai informasi negatif, termasuk intoleransi dan ekstremisme.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sikap dan pandangan generasi muda terhadap isu intoleransi dan ekstremisme berbasis agama dalam beberapa tahun terakhir mengalami pergeseran. Saat ini, sebagian besar anak muda menolak secara tegas terhadap berbagai tindakan kekerasan bermotif agama. Bagi mereka, tindakan kekerasan tidak mencerminkan ajaran agama.
Anak muda berpandangan bahwa pelaku tindakan kekerasan bermotif agama disebabkan pemahaman keagamaan pelaku yang tidak mendalam. Kebhinnekaan dan saling menghormati menjadi nilai penting di mata pemuda dalam membangun identitas nasionalisme.
Hasil Survei “Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan” oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Jaringan Gusdurian, yang diluncurkan, Selasa (23/3/2021), menemukan kebanggaannya amat tinggi sebagai warga Indonesia dan kepercayaannya yang tinggi terhadap Pancasila sebagai pemersatu bangsa mencegah kerentanan intoleransi.
Survei dilaksanakan pada 16 November-18 Desember 2020 di 30 kecamatan yang tersebar di enam kota besar (Surabaya, Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Pontianak) dengan 1.200 responden. Populasi survei adalah pemuda (laki-laki dan perempuan) berusia 18-30 tahun.
”Responden pada survei ini mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang taat beragama. Ketaatan tidak hanya dibangun di atas kesadaran ritualistik, tetapi pada aspek-aspek kemanusiaan yang lebih universal. Ketaatan positif inilah yang membangun identitas keagamaan generasi muda pada survei ini. Identitas keagamaannya kurang disandarkan pada hal-hal yang bersifat simbolik eksklusif,” ujar Ahmad Zainul Hamdi, koordinator penelitian.
Responden pada survei ini mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang taat beragama. Ketaatan tidak hanya dibangun di atas kesadaran ritualistik, tetapi pada aspek kemanusiaan yang lebih universal.
Survei tersebut juga menemukan pembentuk utama terhadap pemahaman dan kesadaran keagamaan anak muda adalah orangtua dan guru mengaji atau guru agama. Survei menunjukkan adanya pergeseran positif terhadap isu-isu intoleransi, yakni ada perkembangan ke arah sikap dan pandangan yang lebih toleran di kalangan anak-anak muda.
Meski demikian, ada lima kelompok yang bisa diidentifikasi rentan menjadi intoleran, yaitu pelajar/mahasiswa, pegawai swasta, pedagang/wiraswasta, ibu rumah tangga, dan pemuda yang tidak bekerja. Media sosial menjadi sumber utama berkomunikasi dan mencari informasi, serta tokoh-tokoh Islam yang menjadi idola adalah mereka yang ”eksis” di media sosial yang diperlakukan seperti tidak ubahnya selebritas yang menginspirasi.
Pergeseran positif
Secara umum, kata Achmad Zainul, temuan survei menunjukkan ada pergeseran positif pada sikap dan pandangan generasi muda terhadap isu intoleransi dan ekstremisme berbasis agama jika dibandingkan dengan temuan survei yang sama yang dilakukan INFID tahun 2016.
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengemukan, setelah melakukan survei pada 2016, tahun 2020 INFID melakukan survei yang sama di enam kota untuk melihat apakah ada kesamaan atau perbedaan. Karena pada survei tahun 2016 terungkap kurang dari 5 persen responden bersemangat mendukung intoleransi dan ekstremisme, bahkan dengan kekerasaan.
”Mungkin secara persentase itu tidak besar. Namun, kalau angka-angka statistik diterjemahkan ke dalam keadaan nyata, jumlahnya jutaan. Survei kali ini melihat apakah ada perbedaan ataukah kesamaan, atau tetap, sejauh mana trennya,” ujar Sugeng.
Survei tersebut, lanjut Sugeng, juga dapat menjadi gambaran mikro kondisi Indonesia tahun 2024, bahkan tahun 2030, apakah pemilih Indonesia yang sebagian kaum muda akan memilih dan percaya kepada politik identintas dan dipengaruhi politik primordial, atau akan tetap percaya dan yakin pada kebangsaan, kemajemukan, dan persatuan Indonesia.
Dari survei 2020, direkomendasikan untuk memperjelas dan menyebarkan secara kuat narasi moderasi beragama dan toleransi kepada anak-anak muda antara lain dengan melahirkan dai-dai muda yang moderat, inklusif, toleran, dan terus-menerus menyuarakan perdamaian dengan penampilan gaul dan bahasa yang bisa nyambung dengan anak muda.
Selain itu, perlu ada kerja sama dengan lembaga pendidikan, terutama terkait kegiatan keagamaan di sekolah, untuk memastikan bahwa narasi pendidikan keagamaan di sekolah mempromosikan moderasi beragama, nilai-nilai toleransi, dan perdamaian.
Hadir juga pembicara Suraji (Program Manager Jaringan Gusdurian), Ninik Rahayu (Tenaga Profesional Lemhannas), Muhammad AS Hikam (pengamat politik dan penasihat INFID), dan Ika Ningtyas (Sekjen Aliansi Jurnalis Independen).
Pada diskusi tersebut Ninik mengaitkan temuan survei itu dengan Surat Keputusan Bersama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Surat keputusan itu ditetapkan pada 3 Februari 2021.
”Secara individu, generasi muda beranggapan penggunaan simbol agama dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam memakai pakaian seragam dan atribut kekhasan agama tertentu, kurang dianggap sebagai bentuk ketaatan beragama,” kata Ninik.
AS Hikam menilai jika dikaitkan dengan tren ancaman terorisme global, menguatnya ancaman terorisme, sebenarnya tidak lagi hanya motivasi ideologi tetapi sudah berkaitan juga dengan alasan-alasan yang terkait dengan kelas atau struktur ekonomi dan keadilan. Karena itu, dia berharap ada survei-survei lanjutan dari INFID.