Kekerasan Seksual hingga kini menjadi fenomena gunung es. Maka, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual semakin mendesak, menyusul meningkatnya kasus kekerasan seksual di tengah masyarakat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dukungan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus meningkat. Kehadiran payung hukum yang lebih komprehensif untuk penanganan kekerasan seksual, termasuk untuk pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku sangat diperlukan.
Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan segera meneruskan proses legislasi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Setelah Badan Legislasi DPR pada 9 Maret 2021 lalu menyetujui RUU Penghapusan Kekerasan masuk dalam salah satu daftar program legislasi nasional (Proglenas) Prioritas 2021, rapat paripurna diharapkan segera berlangsung, agar RUU tersebut segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang.
Harapan ini mengemuka dalam Unjuk Bincang daring dengan tema “Menakar Arah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Memberikan Perlindungan, Penanganan dan Pemulihan bagi Korban Kekerasan Seksual" yang digelar oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jumat (19/3/2021).
Semoga DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas Prioritas 2021. RUU ini telah banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung juga terus memberikan perhatian terhadap isu penanganan kasus kekerasan seksual.(Veni Siregar)
“Semoga DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas Prioritas 2021. RUU ini telah banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung juga terus memberikan perhatian terhadap isu penanganan kasus kekerasan seksual,” ujar Veni Siregar, Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan.
Taufik Basari, Anggota Baleg DPR mengungkapkan proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akhirnya disepakati menjadi usulan Baleg. Sebelumnya, sejak 2020 status pengusulnya berubah-ubah dari anggota awalnya usulan anggota DPR dari Partai Nasdem, sempat diusulkan oleh Komisi VIII, kemudian menjadi usulan bersama Partai Nasdem, PDI-P, dan Partai Kebangkitan Bangsa, terakhir menjadi usulan Baleg.
“Dengan menjadi usulan dari Baleg, maka status RUU ini menjadi lebih kuat, benar-benar menjadi milik bersama, dan itu bagus. Hal yang positif dengan perubahan status pengusul, potensi untuk dibahas melalui panitia kerja di Baleg jadi lebih besar,” ujar Taufik.
Mengapa pembahasan di tingkat Baleg dinilai lebih tepat? Karena isu kekerasan seksual terkait dengan isu lintas sektor, komisi, dan terkait berbagai isu mulai dari perempuan, anak, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. “Sekarang tahap yang ditunggu adalah paripurna, setelah paripurna tahapnya adalah hasil keputusan badan musyawarah untuk menunjuk alat kelengkapan dewan mana yang akan membahas RUU ini,” ujar Taufik.
Harapan DPR segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga diungkapkan pembicara lain dalam acara tersebut yakni Siti Aminah Tardi (Anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan), Ali Khasan (Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), dan Tatat (Program Manager INFID).
Tatat mengungkapkan, Studi Kualitatif dan Kuantitatif tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dilakukan INFID pada 2020 menunjukkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan para korban terus meningkat. Bahkan, sebanyak 90 persen responden setuju bahwa tidak perlu menghukum korban apabila melukai pelaku karena membela diri, selanjutnya 65 persen responden setuju tidak perlu menghukum korban yang menyebarkan foto/rekaman/chat bukti kekerasan seksual. Selain itu, 49,6 persen responden setuju tidak perlu menghukum korban yang hamil karena kekerasan seksual dan menggugurkannya.
“Rekomendasi dari kajian tersebut adalah mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan melibatkan partisipasi publik. Selain itu, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus dilakukan secara komprehensif dan holistik,” ujar Tatat.
Siti Aminah menyatakan Komnas Perempuan mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU karena RUU ditujukan untuk mencegah segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, menindak pelaku, serta mewujudkan lingkungan bebas dari kekerasan seksual.
"Mengapa ini menjadi sangat penting? Ketika bicara penghapusan kekerasan sebenarnya kita tidak bicara tindak pidana saja, tetapi bagaimana melakukan pencegahan di hulunya, membangun nilai-nilai kesetaraan dan antikekerasan, maupun menyiapkan sarana prasana untuk meminimalisir terjadinya kekerasan. Maka diperlukan upaya sistematis melalui program pencegahan,” ujar Aminah.
Ali Khasan menyatakan kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting karena hingga kini kasus kekerasan seksual masih menjadi fenomena gunung es, dan yang terlihat hanya puncaknya atau permukaannya saja.
“Sedangkan permasalahan yang sebenarnya itu jauh lebih besar daripada yang terungkap. Padahal korban bisa mengalami penderitaan fisik dan psikis, dan belum ada upaya pencegahan yang mengatur secara komprehensif. Jadi inilah pentingnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Ali.