Perjuangan Perempuan Pembela HAM Diangkat Jadi Film Dokumenter
Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) ada di tengah masyarakat, tetapi perjuangan mereka sering dianggap sebagai perlawanan. Film terkait hal ini menggambarkan intimidasi dan kriminalisasi yang mereka hadapi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kendati bertahun-tahun berjuang membela hak-hak masyarakat di wilayahnya, hingga kini kiprah perempuan pembela hak asasi manusia tidak banyak diketahui publik. Oleh karena itu, kampanye atas kerja-kerja dan perjuangan perempuan pembela hak asasi manusia sangat penting agar mendapat mendapat dukungan dari pemerintah dan masyarakat.
Dalam rangka Hari Perempuan Internasional 2021, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) dan Institut for Women Empowerment (IWE) dengan dukungan dari Pemerintah Kanada membuat film dokumenter dan menggelar lomba film/video pendek tentang perempuan pembela HAM di Indonesia. Ini bertujuan untuk mengetengahkan persoalan yang dialami Perempuan Pembela HAM (PPHAM) di Indonesia dan mengampanyekan hak para PPHAM kepada publik.
Mereka dituding sebagai sumber masalah, provokator, sehingga berurusan dengan polisi, bahkan menjalani proses hukum. Selama ini bukan mendapat perlindungan, PPHAM justru dikriminalisasi.
”Film menjadi media yang sangat penting untuk mengampanyekan persoalan yang dialami PPHAM agar masyarakat menjadi tahu dan pemerintah memperjuangkan PPHAM sebagai bagian penting dari kebijakan,” ujar Direktur Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) Damairia Pakpahan dalam acara Pemberian Award dan Pemutaran Film PPHAM, Jumat (19/3/2021).
Pada acara tersebut, 13 film dokumenter diputar secara daring. Film tersebut menampilkan profil perempuan-perempuan pembela HAM yang konsisten berjuang di daerahnya.
Film dokumenter tersebut mengangkat profil Masnuah (PPHAM sektor nelayan dari Persaudaran Perempuan Nelayan Indonesia), Rosnida Sari (PPHAM sektor akademisi yang memperjuangkan hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama), Yertin Ratu (PPHAM isu antikorupsi dan reforma agraria), Martheda Esterlina Selan (PPHAM sektor masyarakat adat dan sekaligus tenaga pendidik), Ninik Kusniati (PPHAM isu kekerasan berbasis jender), dan Ernawati (PPHAM isu demokrasi, hak-hak asasi manusia dan perempuan).
Ada sejumlah harapan dari para perempuan pembela HAM yang disampaikan dalam video dokumenter tersebut. ”Sebagai perempuan pembela HAM saya berharap pemerintah memberikan perlindungan kepada saya dan kawan-kawan dalam melakukan aktivitas sosial di lapangan,” ujar Yertin Ratu yang berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan, dalam film dokumenter tersebut.
Selain itu, profil dari Jumiyem (PPHAM sektor Pekerja Rumah Tangga), Nurul Aini/Paini (PPHAM sektor lingkungan hidup dan hak atas tanah), Lilis M Usman (PPHAM sektor perburuhan), Rasminah (PPHAM sektor anak dan pemberdayaan perempuan melawan perkawinan anak), Yuyun Agustina (PPHAM sektor lingkungan hidup dan bencana), Syamsiah (PPHAM sektor disabilitas) dan Sultinah (PPHAM sektor perburuhan melawan pelecehan seksual di tempat kerja).
Pembuatan film yang dilakukan dengan lokakarya selama Januari-Februari 2021 juga untuk memberikan kesempatan pada organisasi masyarakat sipil memproduksi film yang memotret persoalan yang dialami PPHAM.
”Para PPHAM mengalami sejumlah ancaman, seperti diancam diperkosa, didatangi orang-orang tak dikenal, distigmakan sebagai perempuan perusak rumah tangga orang, dianggap sok tahu agama, hingga mau dilempar dengan parang,” kata Damairia.
Para PPHAM bahkan mengungkapkan bagaimana mereka dituding sebagai sumber masalah, provokator, sehingga berurusan dengan polisi, bahkan menjalani proses hukum. Selama ini bukan mendapat perlindungan, PPHAM justru dikriminalisasi.
”Suara perempuan daerah tidak pernah didengar di nasional, bahkan suara perempuan dibungkam,” ujar Emilia, salah satu aktivis perempuan dari Palembang.
Sylvana Apituley, mantan komisioner Komnas Perempuan, bahkan mengingatkan semua untuk melihat persoalan-persoalan perempuan pembela HAM di Papua, yang sangat lekat dengan stigma separatisme sehingga rentan mengalami kekerasan berlapis baik dari keluarga, komunitas, maupun negara. ”Perlu dipikirkan mekanisme perlindungan seperti apa yang berbasis perlindungan pada pembela HAM,” kata Sylvana yang mencontohkan perjuangan Mama Yosepha, perempuan pembela HAM di Papua.
Tiga pemenang
Dari 18 video dokumenter yang dikirimkan para peserta, dewan juri yang terdiri dari Luviana (Konde.co), Theresia Sri Endras Iswarini (komisioner Komnas Perempuan), Farhad Shameel (YPII), dan Raihana Diani (IWE) memilih tiga pemenang. Ketiga pemenang yakni Gina Nurohmah (pemenang pertama) dengan judul Perjuangan Alexa, Lena Sutanti (pemenang kedua) dengan judul Kisah Perjuangan dari Pegunungan Kendeng, dan Doni Chairullah (pemenang ketiga) dengan judul Giving Voice to the Voiceless.
Selain ketiga pemenang tersebut, juri juga menetapkan perhatian khusus (special mention) kepada dua karya film lain, yakni Perempuan Pembela HAM di Papua karya Tim Perempuan dan Anak, LBH Papua serta Tantangan Perempuan Pembela HAM di Era Digital karya Luh Made Kristianti, Shevierra Damadiyah, dan Irfan Marzuki.
Dalam acara tersebut, para perempuan pembela HAM menyuarakan aspirasi mereka, terutama mendesak pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan masa kini.
Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Agung Putri Astrid memberikan apresiasi terhadap pembuatan film dokumenter dan lomba yang diselenggarakan. Ia berharap film tersebut bisa diputar juga di lingkungan Kementerian PPPA.
Dia sepakat, pengalaman PPHAM harus terus disuarakan untuk membangun kesadaran masyarakat. ”Film ini akan membantu kami menyuarakan di internal kementerian/lembaga tentang apa yang dilakukan teman-teman di lapangan juga adalah bagian dari gerakan pengarusutamaan jender,” ujar Agung Putri.
Hadir juga dalam acara itu Veryanto Sitohang (komisioner Komnas Perempuan), Asisten Deputi di Kementerian PPPA Nyimas Aliyah, pembuat video dan film dokumenter, serta perwakilan PPHAM di Indonesia.