Ditjen Dikti Ubah Pedoman Operasional Beban Kerja Dosen
Sejalan dengan implementasi kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memberlakukan pedoman operasional baru beban kerja dosen.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah pedoman operasional beban kerja dosen agar berjalan linear dengan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Ganjalan administrasi dosen akan direduksi melalui perubahan itu.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam dalam taklimat media, Kamis (18/3/2021), di Jakarta, mengatakan hal tersebut. Di luar reduksi beban administrasi dosen, masih ada perbedaan-perbedaan lain antara pedoman operasional beban kerja dosen (PO BKD) tahun 2010 dan tahun 2021. Sebagai contoh, PO BKD 2010 menitikberatkan capaian luaran kegiatan dosen berbasis proses, sedangkan PO BKD 2021 berbasis outcome minimal.
PO BKD 2010 menekankan kinerja dosen dibatasi 16 satuan kredit semester (SKS) per semester. Sementara PO BKD 2021 kinerja dosen tidak dibatasi hanya 16 SKS per semester karena adanya penghargaan kinerja lebih.
PO BKD 2010 tidak mengapresiasi layanan dosen kepada mahasiswa, sedangkan PO BKD 2021 memberikan apresiasi kegiatan layanan dosen kepada mahasiswa sebab pemerintah juga telah meredefinisi SKS dari jam belajar menjadi jam berkegiatan.
PO BKD 2010 mengarahkan kewajiban khusus diberlakukan hanya untuk jenjang jabatan fungsional profesor. Sementara dalam PO BKD 2021, kewajiban khusus diberlakukan untuk dosen semua jabatan fungsional.
”Karena perubahan PO BKD sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, capaian kinerja BKD berkontribusi langsung ke pencapaian indikator kinerja utama (IKU) yang dibebankan ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus memberi penghargaan kepada dosen yang mampu menyelesaikan beban lebih dan memberi sanksi bagi dosen yang tidak bisa memenuhi,” tegas Nizam.
Secara teknis, dia menjelaskan, sistem data BKD terintegrasi dengan sistem lainnya yang dimiliki Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, seperti Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi. Memasukkan dokumen pencapaian sampai penilaian BKD akan dilakukan secara daring.
PO BKD 2021 diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nomor 12/E/KPT/2021. Perguruan tinggi diharapkan segera menyesuaikan PO BKD 2021 paling lambat akhir semester ganjil tahun akademik 2021/2022.
”Kami akan menindaklanjuti perubahan BKD dengan terus berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,” imbuhnya.
Rektor Universitas Katolik Parahyangan Mangadar Situmorang saat dihubungi terpisah berpendapat, beban kerja administratif dosen adalah salah satu isu. Isu besar di balik itu dan tidak kalah beratnya adalah regulasi berlebih (overregulation) dan penyeragaman aturan perguruan tinggi negeri dan swasta, mulai dari bentuk universitas, politeknik, dan akademi.
Situasi tersebut menyebabkan tidak adanya otonomi perguruan tinggi. Pemerintah (Kemendikbud, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) cenderung ingin mengatur semua hal dalam organisasi pendidikan tinggi.
Dia mencontohkan tuntutan publikasi di jurnal internasional bereputasi lalu disitasi oleh Scopus dengan topik berdampak tinggi. Untuk naik pangkat dan mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen ataupun tunjangan guru besar, ada dosen-dosen tertentu yang terjebak sebatas mengejar angka kredit. Mereka bisa mengorbankan kualitas pengajarannya, tetapi juga mengakali penelitiannya, termasuk kemungkinan plagiasi atau bayar jurnal abal-abal.
”Lebih buruk lagi, banyak persoalan riil di masyarakat yang tidak bisa segera diatasi dengan bantuan akademisi atau ilmuwan. Banyak juga dampak penelitian dosen yang tidak bisa dirasakan oleh masyarakat,” ujarnya.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Dhia Al-Uyun memandang, feodalisme kampus masih menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi. Sebab, secara internal, kenaikan pangkat dosen juga harus memenuhi fase-fase rapat senat fakultas sampai peer review yang memperhitungkan senioritas yang memberi andil besar terhadap bagus tidaknya karya.
Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Ahmad Baedowi, saat dihubungi terpisah, berpendapat, Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seharusnya direvisi, terutama menyangkut pasal dan penjelasan tentang beban kerja dosen. UU mengenai guru semestinya dipisah dan menjadi bagian integral dari sistem tata kelola. Begitu pula dengan dosen.
Dosen harus dibedakan dari status perguruan tingginya. Hal ini tidak diatur tuntas dalam UU No 14/2005. Sebagai gambaran, dia menceritakan ada perguruan tinggi swasta yang mutunya buruk dan ada pula kampus yang suka meminjam dosen dari perguruan tinggi lainnya. Institusi pendidikan tinggi seperti itu tidak fokus pada pembinaan dosen secara berkelanjutan.
”Beban kerja dosen harus dikurangi. Salah satu caranya adalah dengan melakukan kaji ulang kurikulum perguruan tinggi seluruh Indonesia,” ujar Ahmad.
Dia menambahkan, hal yang juga mendesak diperbaiki adalah sistem tata kelola kemampuan akademik dosen. Misalnya, harus ada minimal persyaratan penugasan riset dan penulisan karya ilmiah.